Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Idealisme

Aku sering berpikir, apa asyiknya mengejar sebuah idealisasi. Ketika hidup menjadi begitu sempit untuk dijalankan, bukankah memikirkan yang muluk di ujung langit sana, sama seperti bunuh diri yang dilakukan perlahan-lahan. Kita kehilangan kesempatan untuk dapat menikmati hidup dengan lebih layak. Penghargaan yang semestinya kita dapatkan, juga terbuang dengan percuma, hanya untuk mengejar sebuah ide yang entah kenapa terus merongrong kita seumur hidup. Pertanyaan-pertanyaan sederhana, bagaimana anda hidup, apa yang anda lakukan untuk itu, atau mau jadi apa anda sepuluh tahun kedepan, bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Bukan karena pertanyaan tersebut susah, tapi ketika ide yang tercetus di dalam dada itu terbesit, sontak seluruh jiwa dan raga menyadari, betapa absurdnya menjawab pertanyaan yang tidak penting itu.

Bagi sebagian orang, dengan keluasan rezeki yang ia terima, perjalanan menuju idealisasi itu begitu mulus, manis dan santai. Ia tidak lebih dari sebuah tamasya ringan ke jagad liar yang belum pernah tersentuh, kemudian pulang dengan penuh kemenangan bagaikan Marco Pollo yang disambut gempita di Venisia. Atau para penjelajah Eropa pertama yang bermandikan kemilau emas. Tapi apakah itu idealisasi? Mana yang merupakan idealisasi, jabatan yang diduduki Newton sebagai presiden Royal Society, atau usahanya yang tiada henti dalam mempelajari matematika dan natural history? Kealpaannya untuk menikah, dan paparan radiasi merkuri di dalam tubuhnya, hanya untuk mempelajari rahasia alchemist, itukah yang disebut idealisasi? Atau mungkin kita menyebutnya sebagai sebuah harga, balasan, dan imbalan atas apa yang ingin ia capai dan cita-citakan.

Aku terpikir tentang cinta, saat kita bicara mengenai impian yang hendak diraih. Terpikir dengan impian-impian orang yang merasa diri mereka telah berhasil mewujudkan cita-cita yang didamba. Dari celotehan, pengakuan di televisi, semua orang merasa bahwa kemampuannya untuk hidup layak dan membahagiakan keluarga sebagai ideal yang telah dicapai. Jakarta Dream, yang bertutur tentang pergi merantau, mengadu nasib di ibu kota, berpeluh keringat, mengejar penghidupan, meniti jenjang-jenjang sosial yang semakin lama semakin tinggi. Mengumpulkan harta, pulang mudik penuh wibawa, membagi-bagi sangu kepada sanak saudara, berpenampilan ramah penuh syukur. Dan kembali dengan berjuta pengharapan dari masyakat sedesa. Apakah itu juga sebuah idealisasi? Menjadi kaya dan terpandang, mengubah nasib keluarga, menjadi tumpuan, rasa puas dan bangga. Semua yang terangkum dalam satu kata yang menyihir, sukses. Apakah sukses sebuah idealisme?

Ah, mungkin aku terlalu naif, membedakan dua realitas ini. Anggap saja aku masih hidup di abad pertengahan dahulu, dimana manusia meninggalkan segala yang ia cintai demi sesuatu yang lebih luhur daripada segala term yang kita namakan keduniawiaan. Dan saat ini, semua yang kita sebut sebagai pencapaian duniawi, telah naik derajatnya menjadi jihad. Apakah hidup sedemikian sulitnya, hingga membeli mobil dan rumah mewah dapat disebut berjihad? Dan bila kita telah memenuhi kebutuhan tersebut, disaat itulah kita merasa berhak dengan simbol-simbol agama. Surban, kopiah, haji. Jadi, carilah dunia dan akan kau temukan akherat di sana. Tapi akal picikku yang lain berkata, apakah mengejar idealisasi sehingga melupakan kemewahan itu, jauh lebih baik daripada memiliki sebuah rumah? Bukankah, penghujatan kita terhadap Tuhan atas segala kemiskinan dan kesusuhan karena mengejar sebuah ide, lebih buruk daripada mengakui bahwa tujuan hidup itu adalah menjadi sukses. Dan kita kembali terkotak, kepada penghayatan minimal yang penuh keikhlasan dengan pemikiran mendalam yang dilandasi rasa curiga. Bukankah hidup bahagia di dunia jauh lebih baik daripada menderita, sedang di akherat kelak kedudukan kita pun tidak ada bedanya? Mungkin itulah yang kini kurasakan.

Bahwa ide itu bagaikan virus yang menular dan selalu menghantui. Sebuah mimpi buruk yang membuatku selalu gelisah saat melihat tayangan Kick Andy. Hingga suatu saat kuberpikir, apa gunanya mendalami agama saat ini?

Posting Komentar untuk "Tentang Idealisme"