Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Klise

Darimana datangnya cinta? Apakah bisa kita menamakan hasrat untuk memiliki sesuatu sebagai asal-usul dari cinta? Bukankah menyamakan cinta dengan kepemilikan itu sebagai sesuatu yang egois. Seperti mengatakan, aku ingin baju itu karena baju itu cantik. Dan aku ingin memilikinya karena aku ingin ia menjadi bajuku. Maka cinta pun sinonim dengan kepemilikan.

Tapi bukankah orang yang saling mencintai itu merasa saling memiliki satu sama lainnya. Tatkala kamu melihat orang yang kamu cintai membutuhkan sesuatu, maka dengan senang hati pula kau akan membantunya, bahkan tanpa harus diminta. Ekspresi kepemilikan dengan demikian terletak pada keinginan untuk menjaga. Jika kembali kepada baju, mungkin kesadaran tersebut sangat mirip dengan sikap kita dalam merawat baju tersebut. Mencucinya jika kotor, mensetrikanya agar rapih, dan menyimpannya dengan tepat agar tidak dirusak serangga. Dan ketika saatnya tiba, kau akan memakai baju itu dengan bangga dihadapan semua orang.

Benarkah itu? Lalu apa yang akan dikatakan oleh baju kepadamu? Apakah ia merasa senang diperlakukan seperti itu? Seandainya ia bisa bicara, apakah ia akan berterima kasih atas caramu memperlakukannya. Mungkin ia ingin tampil lecek, agak longgar dan memberimu kenyamanan daripada kepantasan. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh baju. Kalau kau mencintaiku, kenapa kau tutup mulutku. Menyandera keinginan dan hasratku, lalu mengatakan hasratmu sebagai satu-satunya hasrat yang pantas untuk ditampilkan.

Untungnya, cinta kita pada seseorang tidak mirip dengan cinta kita terhadap baju, walaupun terkadang cara kita memperlakukannya sama seperti cara kita memperlakukan barang yang kita punyai. Kita mempersepsi orang yang kita cinta dalam perspektif dan pola pikir kita semata. Kita membuat mereka yang kita cintai laksana objek, dan menjadikan cinta laksana aturan-aturan yang mengikat, yang hanya menguntungkan kita semata. Itukah cinta? Bagaimana jika kita mengatakan, aku mencintai kamu dan dengan begitu aku hanya ingin melihatmu bahagia, entah dengan cara apa kebahagiaan itu datang, dan dalam kondisi apa ia berlaku.

Mungkin terdengar klise. Mungkin juga agak menyedihkan. Ketika cinta tidak serta merta tumbuh di antara kedua pihak. Jika ia hanya menghampiri yang satu, dan meninggalkan yang lain. Membuat gundah yang satu dan membuat yang lain bingung, terbengong-bengong, atau bahkan tersinggung. Bisakah kita menggunakan ke-klise-an tadi untuk kondisi seperti ini, atau malah berlalu pergi dengan patah hati, meninggalkan segala yang kau bangun terbengkalai, karat kemudian lapuk?

Ah, aku tidak tahu darimana datangnya cinta atau apa itu cinta, tapi jika ia datang kembali, bisakah kau dengan senang hati singgah diujung sana. Memberitahu yang satu dan menghampiri yang lain, karena bangunanku masih utuh berdiri hingga nanti.

Posting Komentar untuk "Klise"