Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pasar & Logika: Apa itu Mentalitas Businessman?

Sebuah email mampir ke inbox saya. Isinya mengenai kabar gembira keberhasilan penjualan produk dari seorang rekan kerja. Semula ia sangat terpukul dengan pembatasan jatah produk yang masuk ASKES. Maklum saja, selama ini kontribusi produk ASKES termasuk besar dalam menopang pencapaian sales areanya. Dengan adanya kebijakan ini tentu saja terjadi penurunan demand yang signifikan. Alkisah, setelah melakukan check & recheck ke sejumlah outlet, jadilah ia menemukan fakta yang mengejutkan. Ternyata, penjualan produk ASKES-nya mengalami kebocoran.

Produk ASKES sendiri, sebenarnya merupakan produk reguler biasa yang telah diberi diskon yang lumayan tinggi dari pihak ASKES. Tujuannya agar obat yang bersangkutan dapat terbeli murah oleh peserta ASKES. Proses penjualannya pun khusus melalui apotekapotek tertentu. Biasanya, apotek tadi mengirimkan surat pemesanan sejumlah tertentu yang telah disetujui oleh distributor ke perusahaan farmasi. Dalam hal ini perusahaan farmasi mengonfirmasi pesanan tersebut dan jadilah proses transaksi. Atas dasar surat pemesanan tadi, perusahaan farmasi kemudian mengklaim diskon dari setiap proses transaksi tadi ke PT. ASKES. Besarannya bervariasi, tapi ratarata sebesar 60%. Besar sekali bukan. Nah, kebocoran barang biasanya terjadi di tingkat distribusi. Modus operandinya adalah menambahkan jumlah barang dari yang sebenarnya dipesan. Jadi bila jumlah barang yang dipesan 40 boks, tinggal menambahkan angka satu didepan jadilah, 140 boks. Hasilnya, barang yang keluar dari gudang 140, tapi yang diklaim ke PT. ASKES hanya 40 saja. Pintar kan, penjualan salesman meningkat dan demand terasa naik, tapi waktu diklaim ternyata sedikit sekali. Jadilah perusahaan farmasi yang merugi.

Rupanya, hal itulah yang terjadi di area rekan saya tersebut. Dan pihak Headquarter sepertinya telah mencium gelagat yang buruk di sana. Makanya, untuk beberapa bulan yang lalu, pemesanan produk ASKES mengalami penjatahan, agar tidak terjadi lagi kebocoran. Setelah melakukan check & recheck sekali lagi, memang setelah penjatahan, penjualan pun menurun. Akan tetapi, setelah itu berangsurangsur mulailah penjualan produk serupa yang tidak masuk ASKES, reguler, meningkat. Dari hanya satu dua boks, lama kelamaan menjadi limabelas boks. Betapa senangnya rekan saya tersebut. Dengan gembira, ia mengucapkan banyak terimakasih ke pihak manajemen karena justru dengan pembatasan tadi, penjualan produk regulernya meningkat pesat. Jelas sekali, bahwa selama ini dirinya telah dibohongi mentahmentah oleh oknumoknum tertentu. Surat elektronik tersebut ia kirim ke atasannya langsung, yang lalu mem-forward ke sales manajer. Di sini, surat pengakuan tadi diforward secara luas ke seluruh akun email perusahaan se-Indonesia, tak terkecuali akun email saya.

Dan seperti biasanya, satu email terkirim, langsung berbalas dengan emailemail susulan yang lain. Bahkan ada balasan dari Manajer produk untuk mentraktir makan kawan saya itu atas keberhasilan dan kemauannya untuk menulis keberhasilannya tadi melalui media email. Semua berjalan sebagaimana mestinya, sampai saya mendapati email susulan dari bos saya. Seperti biasa, isinya tasyji'. Tapi ada satu hal yang menarik, beliau menggunakan kata analisa, seharusnya analisis, dan menulis. Dengan tidak sengaja, muncul gagasan di benak saya, mengenai hubungan antara analisis dengan sikap positif. Ini tentunya tak terlepas dari tanggapan Sonny yang mengatakan bahwa gagasangagasan saya itu pesimis, sehingga menurutnya saya lebih cocok menjadi intelektual daripada businessman yang selalu bersikap positif. Dengan begitu, ia telah menandai perbedaan dua macam mentalitas: mentalitas ilmuwan yang pesimis dan mentalitas businessman yang positivis (harap bedakan dengan positivisme). So, apa masalahnya?!

Kata analisis diambil dari kata inggris, analysis. Kata analysis sendiri ternyata bukan berasal dari kata Inggris asli, ia juga penyerapan dari kata Yunani, analyein, gabungan kata ana (kembali atau berulang) + lyein (memecah, dalam bahasa Inggris malah diartikan to loosen, bisa berarti melonggarkan, membebaskan dari aturan). Dalam literatur medis, akhiran lysis bermakna pemecahan atau penguraian, seperti lipolysis yang berarti penguraian lemak menjadi glukagon. Penguraian menandai sebuah pembagian antara fungsifungsi tertentu yang hendak diurai. Ia menandai sebuah fase reduksi atau pengurangan antara unsurunsur yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Dalam satu hal ia menandai sebuah periode dokonstruksi filosofis, karena melepaskan unsurunsur pembangun untuk mengetahui esensi dari suatu. Lawan dari analisis adalah sintesis, yang merupakan penyatuan unsurunsur inti yang telah ditemukan dari proses analisis untuk kemudian disatukan menjadi ideide baru. Dalam proses berfikir, analisis mewakili sebuah periode pesimis, sedangkan sintesis masuk kedalam periode positif. Dalam kalam, teologi, analisis adalah kata 'la ilah' dan sintesisnya adalah kata 'illa Allah'.

Menarik sekali, pernyataan bos saya yang menghubungkan proses analisis dengan porsi kerja yang positif. Dan bila dibandingkan penandaan mentalitas businessman yang positif, berarti terdapat fase pesimis dalam pola pikir yang seharusnya positif. Bila demikian, bisakah seorang yang positif bersikap pesimis? Atau, bisakah businessman itu bersikap pesimis? Masih kurang jelas? Bisakah pemikiran pesimis itu menjadi bagian dari pemikiran positif? Well, saya sangat berhatihati di sini agar tidak terjadi kesalahan persepsi.

Begini, Pemikiran businessman memang seharusnya bersifat positif, karena dengan begitu ia akan memandang segala sesuatu sebagai prospek. Hal ini penting, karena dengan begitu ia akan menemukan peluangpeluang yang tidak mungkin dilihat oleh orang yang tidak melihatnya dalam kerangka prospektif. Satu kisah yang sering dituturkan mengenai dua orang penjual sepatu yang tiba di Papua sana. Penjual sepatu yang berpikir negatif, akan berpendapat bahwa pasar di Papua tidak prospek karena orangorang di sana tidak ada yang memakai sepatu. Adapun penjual yang positif akan berpendapat bahwa pasar di Papua adalah prospektif karena belum ada seorang pun yang memakai sepatu. Perhatikan dua frase yang saya garisbawahi tadi. Keduanya mengisyaratkan peluang yang tertutup dan peluang yang terbuka. Katakan ini baru pemikiran dasar belaka. Setelah dianalisis, didapati fakta bahwa penyebab orang papua tidak memakai sepatu adalah karena faktor budaya, kultur, sosial dan finansial. Kemudian fakta tadi dianalisis dengan matriks yang menuju kepada kesimpulan bahwa kemungkinan menjual sepatu di Papua adalah 0,5%.

Coba lihat kedua proses berpikir tadi. Fase pemikiran dasar tanpa disertai analisis ilmiah, dan fase pemikiran lanjutan yang telah melibatkan perangkat ilmiah. Saya menamakannya dengan fakta dasar dan fakta ilmiah. Pertanyaan saya, bagaimana seharusnya seorang businessman berpikir. Apakah ia hanya memperhatikan fakta dasar saja tanpa memperhitungkan fakta lanjutan, ataukah sebaliknya? Atau ia akan membuat sebuah sintesis dengan melakukan penetrasi yang berkesinambungan. Karena hanya 0,5% kemungkinan yang ada, maka tenaga yang ia curahkan ke pasar tadi tidak lebih dari 5% saja. Kirakira, keputusan mana yang menunjukkan bahwa orang tersebut termasuk kedalam tipe businessman sejati? Mungkin anda mau membantu saya mendefinisikan mentalitas businessman ini?

Posting Komentar untuk "Pasar & Logika: Apa itu Mentalitas Businessman?"