Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Arkeologis Puasa dan Ramadhan dalam Al-Quran dan Sejarah

Kenapa berpuasa? Pertanyaan ini secara alamiah akan muncul saat kita membaca ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan perintah untuk berpuasa. Dari enam serial ayat yang mengandung perintah untuk melakukan ibadah tersebut, lima diantaranya merupakan ayat-ayat penalti. Yakni ayat-ayat yang mengatur hukuman bagi seseorang yang telah melakukan kesalahan. Dua diantara ayat penalti ini berhubungan dengan ritual haji (Q. 2:196; 5:95), dua lainnya berkaitan dengan hubungan sosial: hubungan suami-istri (Q. 58:4) dan janji (Q. 5:89), serta satu berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan (Q. 4:92). Yang menarik, perintah berpuasa dalam kelima ayat tersebut selalu menjadi alternatif terakhir, dari satu atau dua opsi pertama yang jauh lebih sulit yang secara umum berkaitan dengan uang dan makanan. Yakni mengeluarkan sedekah dalam jumlah tertentu, membebaskan budak, atau memberi makan orang-orang miskin. 

Dari statistik Quran ini, kita dapat menarik hipotesis pertama kita, bahwa tindak berpuasa pada awalnya adalah suatu bentuk hukuman primordial, bagi seseorang yang tidak memiliki sarana apa-apa untuk menebus kesalahan yang ia perbuat. Ia adalah hukuman fisik orang pertama, yakni hukuman yang berasal dari kesadaran diri sendiri, untuk membedakan dengan hukuman fisik orang kedua, seperti hukuman potong tangan, dan cambuk, yang memerlukan keberadaan orang kedua sebagai eksekutor pelaksanaan hukuman tersebut. Atau hukuman non fisik, macam denda membebaskan budak, dan memberi makan orang miskin, yang semuanya bersandar pada uang dan harta yang dimiliki si terhukum. Singkat kata, dalam jenis hukuman primordial ini, subjek diposisikan sebagai orang yang paling lemah, yang tidak mampu menebus kesalahan yg diperbuat selain melalui disiplin diri sendiri.


Di sini kita melihat tindak berpuasa sebagai sebuah reflux, gerak balik, dari mengurangi apa yang kita miliki, menjadi membatasi hak asasi yang tidak bisa digugat, makan dan minum. Gerak balik dalam berpuasa ini menandakan sebuah keterikatan yang bersifat sangat pribadi. Yakni keberadaannya yang sangat subjektif, karena hanya bergantung kepada kesadaran pribadi semata. Dalam gradasi hukuman, berpuasa adalah sebuah batas terakhir yang menentukan apakah seseorang masih setia dengan institusi sosial tempat ia hidup ataukah tidak. Yang menarik, apabila kita hilangkan atribusi hukuman pada tindak berpuasa, kita justru melihat sebuah perubahan, dari tindak hukuman terendah, menjadi tindak kesetiaan tertinggi. Pada agama-agama kuno misalnya, ada tradisi bagi para calon pendeta untuk berpuasa sebelum naik peringkat menjadi pendeta utama. Dalam hal ini, puasa dianggap sebagai sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin karena posisi puasa yang istimewa itulah, ayat tentang doa (Q. 2:186) diselipkan ditengah-tengah ayat tentang pewajiban puasa di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan "Puasa itu milikku (Tuhan) dan hanya Aku jua yang akan membalasnya". Puasa adalah tindak beribadah yang sangat istimewa.

Namun jawaban paling jelas atas pertanyaan, "kenapa kita puasa?", hadir di ayat pertama dalam rangkaian ayat yang berisi perintah untuk puasa: Bahwa tindak berpuasa telah lama diwajibkan dalam agama-agama yang hadir terlebih dahulu dari Islam (Q. 2:183). Kita akan menemukan pembuktian pernyataan ayat tersebut dalam tradisi keagamaan umat beragama lain. Pemeluk agama Yahudi misalnya, berpuasa selama 25 jam, pada hari kesepuluh Tishrei atau yang dikenal dengan hari Yom Kippur, setiap tahunnya. Demikian juga pemeluk agama Kristen Timur, yang berpuasa selama 40 hari sebelum perayaan paskah. Di sini kita mencapai kesimpulan, bahwa meskipun tindak berpuasa adalah suatu bentuk ibadah yang istimewa, tapi ia bukanlah hal yang baru untuk dilaksanakan. Berpuasa telah menjadi tradisi dan praktek keagamaan yang lama dilakukan oleh umat beragama lain, meski dengan aturan yang berbeda-beda..

Jika Tuhan telah lama mewajibkan puasa, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa Ramadhan? Kenapa kita, sebagai umat Islam diwajibkan untuk berpuasa di bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini? Apa yang istimewa dari bulan Ramadhan? Apabila kita bandingkan Ramadhan dengan bulan ke-11, 12, 1, dan 7 dalam penanggalan Hijrah---secara berturut-turut kita kenal sebagai bulan Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab, kita akan menemukan fakta bahwa dalam kelender Arab pagan, maupun Islam sekalipun, Ramadhan tidak memiliki status sebagai bulan haram. Bulan haram sendiri adalah institusi Arab pra-Islam yang dilembagakan untuk meredam pertumpahan darah yang kerap terjadi di jazirah tersebut. Pada bulan-bulan ini, setiap bentuk kekerasan dan peperangan dilarang. Festival keagamaan kuno, seperti umrah pada bulan Rajab pun dilakukan, demikian pula festival haji besar yang berlangsung pada Dzul Hijjah, dan bangsa Arab untuk sementara menikmati status sebagai bangsa beradab.

Tidak seperti penanggalan Hijriah yang bersandar sepenuhnya kepada perubahan bayang-bayang bulan, kalender lunar, pada masa Nabi bangsa Arab menggunakan penanggalan lunisolar guna menentukan datangnya bulan-bulan haram tersebut. Penanggalan lunisolar ini adalah penanggalan hibrid yang menggabungkan penanggalan bulan yang bersandar pada perubahan bentuk bulan dengan penanggalan matahari yang bersandar pada perubahan musim. Karena jumlah hari dalam penanggalan bulan lebih sedikit dari jumlah hari berdasarkan penanggalan matahari, maka dibutuhkan penambahan hari untuk menjaga sinkronitas kalender bulan dengan kalender matahari. Maka pada tahun-tahun tertentu, selisih hari pun ditambahkan. Membuat jumlah hari pada Muharram berlipat ganda, dan tiga tahun kemudian penggandaan dilakukan di bulan Safar, dan tiga tahun kemudian ditambahkan pada bulan yang datang selanjutnya. Menyebabkan pergeseran bulan tidak dapat dielakkan. Imbas dari kekacauan perhitungan kalender ini adalah perubahan posisi Rajab, dari seharusnya bersesuaian dengan awal musim semi, menjadi berada pada awal musim gugur. Membuat institusi haram kehilangan kepastiannya, sehingga tradisi perompakan yang biasa dilakukan diluar bulan haram tidak mendapat hasil yang besar.

Salah satu bulan haram terpenting adalah Muharram, ia bertepatan dengan Tishrei yang menjadi bulan suci bangsa Yahudi. Dalam penanggalan Yahudi yang juga menganut sistem lunisolar, Tishrei bertepatan dengan masa panen raya yang biasanya jatuh pada bulan September dan Oktober. Hari kesepuluh Tishrei dirayakan oleh bangsa Yahudi sebagai masa berpuasa untuk memperingati turunnya 10 perintah Tuhan kepada Musa atau biasa dinamakan sebagai Yom Kippur, Hari Pertobatan. Pada mulanya, perintah puasa bagi umat Islam dilakukan bersamaan dengan Hari Raya umat Yahudi tersebut. Jejak dari perubahan waktu berpuasa umat Islam ini bisa kita baca dari redaksi ayat 2:183-4 yang memperkenalkan perintah untuk berpuasa tanpa petunjuk khusus tentang waktu tertentu untuk melakukannya. Dalam banyak literatur, kedua ayat ini secara tidak langsung merujuk pada puasa 10 Muharram yang saat itu mengikuti perayaan Yom Kippur. Pengenalan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa, baru hadir di ayat 2:185, yang merevisi term hari-hari tertentu, ayyam ma'dudat, pada Yom Kippur menjadi kewajiban berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Dikemudian hari, 10 Muharram mengalami modifikasi makna dikalangan muslim Syiah, menjadi hari untuk memperingati kematian Hussein pada perang Karbala. 

Enam bulan setelah Muharram, ada Rajab yang merupakan satu-satunya bulan haram diluar 3 bulan haram yang saling berurutan. Ia hadir pada awal musim semi, sekitar Maret, dan berkorelasi dengan salah satu hari raya Yahudi dan Kristen. Dalam banyak peradaban kuno, awal musim semi atau akhir musim dingin selalu menjadi hari besar yang dirayakan. Dalam peradaban Cina, kita mengenal Imlek yang merayakan saat pergantian musim itu dan awal masa bercocok tanam. Dalam kalender Yahudi, awal musim semi ini dikenal dengan nama Nisan, didalamnya ada perayaan Passover, yang memperingati keluarnya Musa dari Mesir. Passover dikemudian hari mengalami modifikasi makna oleh umat Kristen menjadi hari penyaliban dan kenaikan Isa ke langit, atau lebih dikenal sebagai perayaan Paskah. Kedudukan perayaan-perayaan besar di luar dunia Arab ini pada akhirnya mempengaruhi mereka dalam mempersepsi Rajab yang dirayakan didalamnya ibadah umrah, sekaligus menjadi festival pasar tahunan bangsa Arab.

Sebagaimana kita saksikan bersama, bahwa setiap bulan haram dalam penanggalan Arab pagan tadi berkorelasi dengan festival keagamaan di luar Islam, terutama Yahudi, maka Islam sebagai agama baru yang datang belakangan, membutuhkan redefinisi dan independensi dari anasir-anasir asing tersebut. Proses redifinisi ini sebenarnya telah bermula sejak pelembagaan shalat lima waktu yang secara definitif membedakan pola beribadah umat Islam dari pola peribadatan pagan Arab dan Yahudi. Proses selanjutnya yang juga penting adalah perubahan arah kiblat dari Yerussalem ke Makkah, menegaskan pemutusan total terhadap unsur-unsur Yahudi. Proses ketiga, yang tidak kalah pentingnya, dengan demikian adalah pelembagaan Ramadhan sebagai bulan berpuasa khusus umat Islam, diikuti dengan penghapusan penanggalan lunisolar, menjadi penanggalan lunar. Perubahan waktu ini menjadi sangat signifikan, karena bulan-bulan Islam yang baru tidak lagi terkait dengan kalender musim dan secara virtual mengelilingi bulan konvensional, membuat institusi bulan haram kehilangan makna sekulernya yang sangat tergantung pada ekonomi agraris wilayah-wilayah sekitar.

Apabila umat Yahudi berpuasa untuk merayakan turunnya 10 perintah Tuhan kepada Musa, dan umat Kristen berpuasa sebelum merayakan kebangkitan Isa ke langit, maka puasa pada bulan Ramadhan merupakan perayaan atas turunnya Quran untuk pertama kalinya. Kata Ramadhan sendiri, yang bermakna dasar memanas, menjadi begitu istimewa karena satu-satunya bulan yang namanya disebutkan dalam Quran. Sebagai sebuah perayaan, commomeration, maka praktek shalat malam yang dahulu pernah diwajibkan, diperkenalkan kembali pada bulan tersebut, meski dalam bentuk yang telah termodifikasi, menjadi shalat tarawih: secara literal berarti shalat dengan banyak istirahat. Tarawih dalam memori sebahagian sahabat jelas merupakan nostalgia akan masa-masa pewajiban shalat malam yang begitu berat dan sempat membuat mereka mengantuk di siang hari (Q. 73:20). Model berpuasa pada saat 10 Muharram juga mengalami perubahan saat Ramadhan. Jika sebelumnya umat Muslim berpuasa selama sepuluh hari menjelang hari besar itu dengan sangat ketat. Yakni tidak diperkenankan untuk berhubungan seks di malam hari, maka pada Ramadhan, kegiatan tersebut diperkenankan sebagai bentuk keringanan selain karena jumlah hari untuk berpuasa yang tiga kali lebih panjang dari sebelumnya (Q. 2:187).

Pada tahun kesepuluh Hijrah, sebelum perayaan Haji Wada, redefinisi ritual dalam Islam telah tuntas bersamaan dengan turunnya ayat mengenai pelarangan nasi' atau penambahan hari dalam kalender tahunan (Q. 9:36-7). Islam sejak saat itu telah berjalan diatas kalender lunar baru yang terlepas sepenuhnya dari kalender musim pagan Arab yang kacau dan kalender lunisolar Yahudi, demikian juga Kristen. Disinilah kita bisa memahami makna dari ayat terakhir yang turun pada saat haji Wada (Q. 5:3), bahwa Tuhan telah melengkapi agama Islam dan merestuinya sebagai agama yang sah. Dalam arti agama yang mandiri dan bukan cabang atau sekte dari agama Yahudi maupun Kristen.

Selamat berpuasa, semoga Tuhan menerima ibadah kita semua.

Posting Komentar untuk "Jejak Arkeologis Puasa dan Ramadhan dalam Al-Quran dan Sejarah"