Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menengok Kebelakang


Mungkin bukan kesembronoan belaka yang membawaku menuju tanah Ciputat, ada berlipat tradisi dan kenangan yang menyeretku ke sana. Aku ingin sebuah kontinuum antara aku yang lalu, yang masih berpeci dan tak pernah tahu apa itu "backstreet" dengan aku di masa datang yang sering kugambarkan dengan hingarbingar intelektualitas. Kulihat di sana guruku yang pertama, Cak Nur, menghabiskan sarjananya di IAIN. Jadi kupikir, kenapa tidak saya pergi ke sana. Saat itu, sebelum kukenal luas, ketertarikan terhadap intelektualitas hanya sebagian saja yang kuingat. Bahwa kumencintai kerumitan, hanyalah sebuah awal dari pengembaraan. Dan memang ia begitu menggugah, seperti kabut misteri yang teronggok tanpa daya hendak dicumbu. Dan jurnal-jurnal Islamika yang masih terasa di hidungku, baris-baris hurufnya yang tersusun rapih, beralaskan lembaran kertas putih yang cukup tebal, tanpa ukiran, tanpa manik-manik. Ia begitu indah dipandang, begitu sederhana, laksana arsitektur minimalis. Aku terpikat.

Barangkali juga ketertarikan saya terhadap jurnal-jurnal itu tak lebih dari kesadaran estetik semata, tapi justru disitulah saya menemukan dunia yang lain. Dunia yang membawaku ke alam imajinasi, apa yang terdapat dibalik keindahan itu? Adakah ia pikiran-pikiran teragung yang begitu rupawan? Apakah, apakahku ini sebuah keharusan? Lalu mulai kubaca, kunikmati, dan kutelusuri. Kadang kutaktahu, kadang kutakmengerti, tapi tak pernah jua kubertanya. Karena aku hanya ingin membacanya, menikmatinya, dan mengagumi setiap detilnya, kuingin memeluknya. Dan malam-malam dingin di tanah perdikan itu kulihat ia membukakan pintunya untukku, menyapaku dengan penuh kecemerlangan. Aku gembira. Besoknya, kumengerti dan kupaham apa yang hendak ia katakan padaku. Kusadar, ada jalan yang menantiku di sana.

Kala itu 1999, Suharto telah tumbang, dan sebuah buku terselip rapih dibawah tumpukan kertas absen serta buku teks matematika untuk SMP. Aku antusias sekali mengajar. Anak-anak ini, memang bukan tandingan mereka yang duduk di kelas B atau C di Gontor pusat. Mereka hanya santri kacangan yang tersingkir dari pusaran pusat yang terus menggurita. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat tangan-tanganku menggambar bidang-bidang persegi di papan hitam. Mereka mengantuk. "Ustadz, tolong ceritakan sesuatu. Saya sudah pusing belajar!" rengek seorang. Kuhanya tersenyum. Sesuatu? Apakah sesuatu yang menarik? tanyaku. "iya" jawab mereka. Lalu kuambil buku itu dan duduk dihadapan anak-anak ingusan ini. Kataku, apa itu Ada? Dan semua seakan sublim ke samudera waktu. Diam-diam kutersenyum ke balik Dunia Sophie, pikirku, selamat datang di dunia filsafat.

Semua yang tampak dari jauh selalu indah, bahkan gedung-gedung IAIN itu kupikir begitu elok dan angkuh. Tapi setelah masuk hanya kelapukan yang kutemui. Ruang kuliah yang kotor, mahasiswa yang memakai baju kampungan, dan bangku-bangku kayu itu. Apa benar Cak Nur lahir di sini? Geli juga membayangkan perasaan saya saat itu. Tapi dimana lagi  kuliah dengan uang tigaratusribuan per semester. Ah, Filsafat. Aku hanyalah mahasiswa kacangan di sini. Di sini, di kampus kacangan, yang takkan pernah dipandang orang sebagai kampus. Dari kemegahan Gontor yang perdikan, aku tiba di IAIN yang kampungan. Aku shock culturiil.

1 komentar untuk "Menengok Kebelakang"

  1. masih mending tuh,
    UNAND itu tidak hanya kampung
    tapi juga udik

    aktivisme ada dan seada-adanya

    intelektualisme? NOL BESAR !!!

    Lagian UIN kan di Jakarta, bs ditopang komunitas

    BalasHapus