Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Shake it Don't Stir

Malam Sabtu kemarin, dapat kecelakaan kecil di jalan raya. Motor saya menabrak pengguna jalan. Untung laju motor pelan tidak lebih dari 50 km/jam, alhasil orang yang saya tabrak itu tidak mengalami luka yang serius. Setelah samasama terkapar di tengah persimpangan, dan dibantu warga setempat, saya dan dia sudah samasama bisa berdiri lagi. Dan saya tanyakan, apa kamu baikbaik saja? Dia menjawab iya. Setelah meminta maaf dan membetulkan kondisi helm yang lumayan rusak, baru melanjutkan perjalanan pulang kerumah sekitar pukul 22.35.

Well, cerita tidak berhenti di situ. Baru beberapa meter, rasa sakit mulai mendera. Ternyata, dari tadi saya banyak juga mengeluarkan darah. Ditilik dari kondisi luka yang saya terima, kemungkinan besar saya jatuh tersungkur. Helm half face lumayan berjasa melindungi kepala saya dari benturan dengan aspal, tapi ia alfa melindungi mulut saya. Dampaknya, rasa nyeri yang menyebar dari pangkal gigi seri atas, bibir yang bengkak dan sedikit mimisan. Rasanya sama seperti kena jotos orang, perasaan saya sudah lama tidak berkelahi tapi sensasi perkelahian masa kecil hadir kembali lewat lukaluka akibat kecelakaan ini. sepanjang malam hampir tidak bisa tidur karena menahan sakit dan di hari berikutnya, giliran tubuh yang terasa ngilu. Ternyata telunjuk kanan saya bengkak dan itu sudah menjaga saya untuk tidak pergi jauhjauh dari tempat tidur. Akhir pekan yang sempurna.

Senin pagi nyeri di gigi sudah reda, kini giliran mulut saya terserang sariawan kelas berat. Mungkin akibat demam karena memar, bisa juga ada bakteri yang masuk saat kecelakaan itu. Jadilah izin sakit ke bos. Sebenarnya pula, kondisi saya sudah sangat fit. Tapi berhubung pekerjaan saya berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi secara verbal, dan kebetulan saya hampir tidak bisa berbicara sedikitpun, susah juga menyebut kalau saya sudah siap untuk kembali kerja. Jangankan berbicara, makan dan minum pun butuh perjuangan.


***

Kalau ada hal yang membuat saya benarbenar repot adalah, sifat panik dan rasa penasaran. Dan kebetulan duaduanya hadir bersamaan pada saat itu. Pertama, setelah peristiwa naas itu, saya segera mampir ke apotek terdekat dan membeli obat pereda nyeri, kombinasi antara natrium diclofenac + vitamin neurotropik. Kebetulan juga ini obat produksi pabrik tempat saya bekerja dan saya lumayan tahu isinya. Diclofenac termasuk obat golongan AINS (Anti inflamasi Non Steroid) untuk nyeri dan vitamin neurotropik untuk mempercepat efek kerja dari diclofenac. Yang jadi masalah, ternyata saya lupa membeli antibiotik. Maka di rumah saya malah bingung, kenapa lukaluka saya tidak segera sembuh. Jadilah, seisi rumah panik, terutama ibu saya. Akhirnya malah, dicekoki dengan lidah buaya dan kumurkumur larutan antiseptik albothyl. Tujuannya cuma satu meringankan efek demam dan mengurangi bengkak di bibir.

Dua hari tidak mempan, hingga saya teringat dengan satu elemen penting itu. Ternyata juga di Makassar dahulu saya pernah mengidap sariawan yang cukup parah, atas anjuran teman saya yang kebetulan sarjana apoteker, saya membeli antibiotik yang dia sarankan. Sampai di kamar kost, ia malah tertawa. Kenapa, ternyata saya malah membeli obat generik, padahal seharihari saya menjual obat paten. Duh, saya benarbenar tidak mengerti mengenai antibiotik. Dan ternyata kejadian serupa terulang lagi kali ini. Saat saya suruh adik membeli antibiotik, ia malah balik bertanya, apa namanya? Apa ya? Ternyata saya lupa membuka MIMS, katalog obat yang beredar di Indonesia. Bilang saja untuk sariawan kataku, pinisilin, ampicillin, ya, amoxicillin. Saat saya bicara itulah, muncul ide untuk membuka MIMS di otak saya. Padahal buku tersebut ada di rak, kenapa pula saya jadi lupa.

Kebiasaan saya untuk mencobacoba sesuatu sebelum benarbenar angkat tangan dan menyerahkan masalah kepada yang lebih ahli sepertinya telah menjalar saat saya sakit. Entah kenapa tidak terbesit ide sekalipun untuk berobat ke dokter, padahal kerjaan saya setiap hari ya pergi ke dokter. Dan kalau sakit, biasanya hanya istirahat dua tiga hari, habis itu sembuh. Kalau butuh obat, kadang tanya teman saya, membukabuka katalog dan pergi beli obat sendiri. Hal yang sama juga saya lakukan kalau ada barang di rumah yang rusak dan tidak berfungsi. Reaksi saya, ambil obeng, buka skrup dan otakatik. Banyak yang teratasi dengan cara ini, tapi kebanyakan malah rusak. Bisa jadi itulah yang membuat saya berkenalan dengan bendabenda.

Pernah suatu ketika, komputer kawan saya rusak. Berkalikali saya pencet tombol on off-nya tidak nyala. Karena berniat membantu, saya meminta izin untuk membuka casingnya. Setelah saya lihat buku manual, mulailah membongkar seluruh isi komputer. Kabelkabel saya lepas, soketnya juga, memori, kipas bahkan prosesornya, saya lepas semua dan pasang kembali. Ternyata tidak bisa. Saya coba dua kali lagi, tetap tidak bisa. Karena lelah dan patah semangat, malah isitirahat sebentar. Sambil menutup mata dan mencoba merangkairangkai uruturutan yang benar, muncullah ide di kepala, jumper. Ternyata saya sama sekali belum menyentuh benda itu. Dan bangunlah saya mengulangi proses yang benar dan tidak lupa memindahkan jumper ke posisi terbalik, jadilah komputer kawan saya ini menyala kembali. Pfuff.. Waktu ditanya, sudah berapa kali bongkar pasang komputer, saya cuma menjawab, baru kali ini. Dia malah tertawa terbahakbahak.

Hal serupa saat laju motor saya tersendatsendat, ternyata perputaran rodanya seret. Dan dengan percaya diri saya pun mulai mengotakatik setelan roda belakang. Ternyata lebih dari tiga jam belum selesai. Untungnya juga saya berhasil mengembalikan ke kondisi semula dan rodanya pun kini jauh lebih lancar dari setelan bengkel. Jadilah saya lebih percaya kepada pendapat pribadi saya daripada menyerahkan urusan itu kepada orang lain. Untuk halhal tertentu seperti makanan, kalau tingkat ketelitian saya sedang memuncak, kadang saya malah mengintervensi begitu dalam. Garam dan mecin-nya sedikit saja, kasih kecap ala kadarnya, tambahkan sedikit sayuran dan jangan digoreng terlalu lama. Atau saat di Makassar, dengan percaya diri saya bilang bahwa bumbu gadogadonya terlalu manis dan tidak pake asem. Temanteman pada tertawa, karena saya begitu ngotot mengintervensi si penjual gadogado. Huh, belum tahu ya mereka bahwa itu makanan favorit saya sejak sebelum masuk TK. Tentu saja saya tahu, mana gadogado yang berkualitas dan mana yang tidak. Seandainya saya diperbolehkan minum martini atau cocktail, mungkin saya akan bilang, shake it don't stir sambil menirukan mimik James Bond di atas meja bar. Hihihihi..


***


Ringkas cerita, akhirnya saya pergi ke dokter untuk mengobati sariawan yang akut ini. Setelah dicek, ternyata obat yang diberikan sama seperti obat yang saya beli. Antbiotik, vitamin c, dan obat oles antiseptik. Tuh kan, pendapat saya benar. Apa bedanya, pergi ke dokter, Ponari dan "Do It Your Self" ala saya. Barangkali yang tidak mungkin saya dapat kalau melakukan DIY adalah secarik kertas izin sakit untuk dua hari. Lumayanlah pikirku. So, mana yang penting? Legalitas ataukah kualitas? License to kill?! Ho, shake it don't stir!

Powered by ScribeFire.

5 komentar untuk "Shake it Don't Stir"

  1. Ada yg kesel gw offline ngblog tp msh suka berFB. Knp pula dia pusing :)

    Gw udah lama curiga gaya gravitasi di Pulau Jawa ini lebih rendah ktmbg Sumatera. Di Padang, berat gw 76kg. Kok terdistorsi jd 65kg. Waktu sklh dulu berat gw gak bs melewati angka psikologis 60km. Gw bhkn prcy bhw gw ditakdirkan kurus ceking.
    Disono gw bs naek motor smp 85km/j meski stdnya 65km/j. Blkgn 60km/j aja sulit tcapai. 50km/j di jln beton.

    Bokap gw sll wanti2 jgn pk helm half face apalagi helm kecil u jarak jauh. Sepupu gw blg pk sweater & sarung tangan jg penting. Spt-ny turun ke jln disini berarti turun ke medan perang. Alhamdulillah smp skrg belum prnh nabrak & ditabrak. Kalo nyaris sih sering. Coba aja jkt pny MRT arah kemana aja. Mungkin naek motor ga menarik lg :)

    Setahu gw kalo luka yg pertama dilakukan, ya sterilisasi dr kemungkinan infeksi. Luka dibersihkan & antibiotik. Kecuali kalo lo pny jarban akut :p

    Anyway, turut prihatin. Bocah, lain kali ati2

    BalasHapus
  2. himawan..ente banyak banget ceritanya..heheh..bagus lah..itung-itung sejarah pengalaman pribadi.
    ente lebih baik dari ana...ana skrng jarang menulis ..malas mungkin. tapi ane benar2 jealous karena ente produktif menulis berbagai hal.
    ane pengen juga aktif menulis kembali..mudah2an ane bisa..
    thanks sobat
    oya...dari tulisan ente..point yang bisa saya ambil adalah percaya pada pendapat sendiri dan tidak menyerahkan pada orang lain. saya setujub banget tuh.

    BalasHapus
  3. Hmmm, sometimes, but always we need somebody else wan. Saya sebenarnya juga tipe orang yang ga' mau nyusahin orang, biasa lah orang jawa, pakewoh, tapi untuk urusan rumah tangga dan anak saya benar-benar mengandalkan istri. Try to have "soulmate"! we'll realize that we are not alone.

    BalasHapus
  4. @ Sonny, bocah mana yang kesel sama kamu Son? Mungkin garagara ga kamu perbolehkan naik motor diatas 60 km/ jam ya? Jarban kayaknya ga punya tuh, tapi gocapan, wuihh... Banyak!

    Thank.

    @ Mulyadi, hehehe... saya kadangkadang ga percaya diri loh. Makanya nulisnya di blog. :D

    @Hendri, soulmate = istri? Benernih? bagus dong kalo begitu. Doain aja ya, kan belum punya soulmate. :)

    BalasHapus
  5. Nice blog.. Thanks for the sharing.

    BalasHapus