Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepak Bola & Rasionalitas

Kalau ada yang bertanya, apakah saya menyukai pertandingan sepak bola? Well, terus terang, saya bukan salah satu penggemar fanatiknya. Mungkin karena saya tidak menyukai permainan yang benar-benar menguras tenaga tersebut. Kemampuan berlari saya sangat rendah, jadi di posisi manapun saya berada mungkin tidak akan bermanfaat bagi kesebelasan tempat saya bermain. Lagi, sebagai seorang bocah, kulit saya mudah sekali terluka, entah karena lapangan di sekitar tempat tinggal saya tidak steril dari bebatuan dan semak berduri, juga karena sejak kecil saya memang tidak pernah memiliki sepatu sepak bola. Jadi, ada beberapa alasan psikologis dan teknis yang mencegah saya menyukai permainan tersebut secara personal.

Tapi apa betul cinta atau hobi berkaitan erat dengan kedua unsur tersebut? Kalau kita mencintai sesuatu, perlukah alasan psikologis atau teknis untuk mendukungnya. Katakan, dirimu mencintai seorang perempuan, tapi secara psikologis kamu merasa tidak mampu untuk hidup dengan gaya hidup dan pemikiran perempuan itu. Atau barangkali, terdapat jurang teknis yang memisahkan kalian berdua, apa yang akan kamu lakukan? Hanya mengagumi. Dan sebatas itu saja bukan. Karena kita sadar, betapa tidak mungkin diri kita menggapai jurang yang teramat lebar itu. Dan kira-kira seperti itulah perasaan saya terhadap sepak bola. Tentu saja saya seorang realis, bagi saya tidak mungkin kita menyukai sesuatu tanpa benar-benar terlibat “sampai kotor” dengan obyek dari hobi yang kita cintai itu.

Ya, industri media rupanya telah mempermak wajah persepakbolaan saat ini. Ia menjadi sebuah wacana yang menarik pikiran orang kepadanya. Bukan sebagai pemain, pelaku, tapi sebagai penonton dan pemuja. Dan disinilah ledakan wacana terjadi. Souvenir, baju, pernak-pernik, bahkan poster dan gambar sang idola. Sepak bola telah berubah dari sebuah permainan di atas lapangan yang membutuhkan tenaga besar, kepada mimpi di layar kaca yang memperlihatkan karakter individu sejumlah pemain “mega bintang”. Tidak usah berkeringat untuk menjadi pecinta sepak bola, cukup sediakan layar besar, berikut sofa yang nyaman dan empuk ditemani oleh cemilan. Maka kita menemukan hiruk pikuk stadion berpindah ke ruang keluarga. Dan jadilah sebuah laga gladiator modern yang penuh dengan dramanya yang khas. “sepak bola itu mirip bola, bulat dan susah untuk diprediksi. Tidak ada yang rasional dalam sebuah pertandingan, semuanya mungkin saja terjadi.”

Statistik Tatsumi
Setidaknya itulah kesan yang saya dapatkan dari wacana sepak bola. Bahwa irasionalitas berjaya di sana. Tapi, itu dulu. Sebelum muncul dua hal yang sangat menarik bagi saya. Tentang sebuah pertandingan, cara bermain dan bagaimana membangun sebuah kesebelasan yang tangguh. Ini jelas sebuah masalah umum yang dihadapi oleh setiap organisator. Dan saya rasa ada perkembangan yang sangat menarik dari suatu disiplin–kalau kita boleh menamakannya demikian, persepakbolaan saat ini. Well, saya lebih menyukai membicarakan “how to”-nya sepak bola daripada bergosip ria tentang para bintang yang muncul di sana.

Pertama adalah, sebuah manga berjudul Giant Killing. Film animasi buatan Jepang yang mengisahkan kebangkitan ETU–East Tokyo United, yang larut dalam keterpurukannya sebagai tim kelas bawah. Mengingatkan kita akan film populer Tsubasa? Itulah tanggapan saya pertama kali, sebelum saya sadari bahwa sejak episode pertama, film serial itu telah memberikan sebuah perspektif baru dalam memandang sepak bola. Bahwa permainan yang bagus berasal dari materi pemain yang bagus pula. Lantas bagaimana cara memilih seorang pemain bagus agar dapat masuk kedalam starting eleven? Menurut Tatsumi, si tokoh protagonis dalam film tersebut, silahkan adakan sebuah lomba lari 30 meter antar dua orang. Catat raihan waktu setiap pelari, kemudian ulangi lagi dan lagi selama 45 menit, hingga semua peserta kelelahan, kemudian jumlahkan. Tampak sederhana bukan? Hasilnya, mereka yang memiliki catatan waktu lari terbaiklah yang layak menjadi pemain inti sebuah kesebelasan.

Tapi kenapa harus berdasarkan catatan waktu , atau statistik kecepatan tungkai kaki setiap pemain. Kenapa bukan kepada skill dribbling dan passing individual? Barangkali Tatsumi hendak mengajarkan sepak bola sebagai sebuah permainan tim. Dimana setiap pemain berfungsi layaknya organ yang bergerak dinamis dan presisi. Maka setiap individu yang mampu berlari cepat dapat menurunkan tempo permainan mereka. Sebaliknya, mereka yang tidak dapat berlari cepat, tidak akan mampu mengimbangi kecepatan pemain lain pada saat tempo permainan dinaikkan. Efeknya adalah, penguasaan bola yang jauh lebih banyak bagi tim yang bermaterikan individu dengan nilai rata-rata lari 30 meter yang lebih tinggi. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu memenangi lari 30 meter kehilangan kemampuan untuk memperebutkan bola dari lawan, sehingga hanya dapat bermain defensif semata. Mengetahui lawan yang telah kehilangan semangat untuk merebut bola, maka saat itulah waktu yang pas untuk melakukan serangan terbuka kedalam kotak pinalti. Kata Tatsumi, “berhentilah bermain one-touch ball, dan mulailah menyerang!”

Lalu apa sebenarnya yang ada di dalam benak Tatsumi? Baginya, pemain yang ia inginkan adalah mereka yang mampu berlari cepat meskipun sudah teramat lelah. Kemampuan ini telah terlihat pada menit pertama dan menit terakhir lomba lari 30 meter. Selisih waktu antara menit pertama dan terakhir menunjukkan kualitas daya tahan setiap pemain. Semakin kecil perbedaan yang ada, maka semakin besarlah stamina yang dimiliki pemain bersangkutan. Sedang, semakin cepat waktu yang berhasil ia capai, menunjukkan kelebihan stamina dan kecepatan yang dimiliki pemain tadi. Pemain dengan stamina dan kecepatan yang tinggilah yang sebenarnya diinginkan oleh sang pelatih, dan itu ia dapatkan dari para pemain muda yang kemudian memenangkan pertandingan atas pemain tua yang sudah kelelahan mengejar bola.

See, soccers are so close with statistics! Dan statistik dalam banyak hal berkaitan dengan matematika, yang menjadi inti dari pengetahuan modern saat ini. Sayangnya, statistik yang dikonsumsi masyarakat adalah rekor-rekor pertandingan, persentase kemenangan antar satu tim dengan tim lainnya, atau yang bisa kita pahami sebagai sejarah perjalanan masa lalu dari sebuah kesebelasan. Bukan sebuah data aktual yang bisa kita analisis untuk dapat melihat, tim mana yang berpotensi memenangi sebuah pertandingan. Padahal, kita saat ini bukanlah kita empat tahun yang lalu atau yang akan datang. Selalu terdapat perbedaan kualitas dalam waktu yang berbeda itu, sehingga dalam menentukan mana tim yang akan menang dalam suatu pertandingan, tidak akan cukup dengan hanya melihat data statistik faktual semata. Tentu saja data faktual itu adalah sebuah sejarah. Dan sejarah itu lebih dekat kepada roman, buah bibir, dan gosip, yang merupakan makanan tiada habisnya bagi para penggila bola.

Jerman dan Argentina
Pada Piala Dunia kali ini pun, kegilaan terhadap statistika faktual juga masih tetap dipertahankan. Seorang komentator sepak bola misalnya, mengkaitkan pertemuan dua kesebelasan, dengan sejarah pertandingan-pertandingan sebelumnya. Seperti berapa kali kedua kesebelasan itu bermain, siapakah yang memegang rekor kemenangan, dalam ajang apa dan bagaimana impresi dari para pemain dan penonton saat itu, juga berbagai fakta remeh temeh yang membuat renyah sebuah pertandingan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa yang membuat sepak bola menarik adalah sejarah dari sepak bola itu sendiri. Hanya saja, sejarah atau data faktual dari sepak bola laksana fenomena daripada noumena dalam kajian filsafat. Sejarah dalam sepak bola hanyalah kulit luar yang diperdebatkan dan dibicarakan, tapi tidak menyentuh inti sebenarnya dari sebuah pertandingan, yang mungkin menjadi rahasia dapur setiap tim.

Berbicara tentang tim sepak bola, salah satu kesebelasan yang permainannya begitu menarik bagi saya untuk dilihat, pada Piala Dunia kali ini adalah Jerman. Tentu saja saya mengabaikan data faktual, berupa jumlah pemain bintang yang bertebaran di tim-tim nasional lainnya. Meski secara emosional pun, saya menyukai Jerman dengan alasan yang tidak rasional, sama seperti seseorang menyukai Argentina atau Inggris karena Messi dan Rooney. Namun, diluar segala impresi emosional tersebut, terbesit kekaguman rasional tentang bagaimana kesebelasan ini memainkan sebuah pertandingan yang sangat bagus. Mereka memeragakan cara bermain yang sangat taktis. Dipenuhi passing dan loop yang akurat, irama yang serempak. Jerman bermain laksana tim, dan Australia pun mereka bantai 4-0, Inggris 4-2, dan Argentina 4-0. Terdengar begitu menjanjikan bukan.

Saya pun mencoba membandingkan cara bermain kesebelasan ini pada Piala Dunia yang lalu. Saat itu mereka juga memainkan permainan struktural seperti saat ini, tapi cara mereka bermain benar-benar berbeda. Mereka begitu mudah kelelahan, dan tatkala bertemu tim dengan pertahanan yang alot, konsentrasi mereka pun buyar dan bermain tanpa fokus. Saat ini yang ada sebaliknya, kecepatan bermain mereka tetap stabil, dan meski dalam beberapa menit pertandingan mulai terlihat kesalahan-kesalahan serupa di tim yang lama, namun mereka mampu pulih dengan cepat. Hmm…bagaimana menjelaskan perubahan yang sangat drastis ini? Well, jawabnya ada pada Tatsumi dan Joachim Low. Barangkali, mereka benar-benar melafalkan sepak bola sebagai sebuah disiplin pengetahuan modern, lengkap dengan perangkat perangkat pengukuran, analisis, dan probing. Singkat kata, bagi Tatsumi dan Loew, sepak bola modern sangat identik dengan semangat dan pola pikir modern.

Berbeda dengan Low, Maradonna yang kali ini tampil sebagai pelatih timnas Argentina, menganut pola pikir yang berbeda. Alih-alih menerapkan penilaian berdasarkan statistik aktual, ia lebih suka kepada analisis berdasarkan statistik faktual, dan terlebih parah lagi kepercayaan pada selain data pemain yang ada. Di berbagai situs, ia bahkan menegaskan bahwa kemenangan Argentina di Piala Dunia kali ini adalah kehendak Tuhan. Pun, dalam melatih, ia lebih senang membiarkan mereka bermain tanpa aturan, seakan-akan berharap agar kemampuan sesungguhnya dari setiap pemain akan keluar, justru saat mereka diberikan kebebasan dalam berekspresi. Mungkin dalam kamus Maradonna, sepak bola adalah eksistensi alamiah, daripada hasil binaan rasional yang terarah. Hasilnya, Argentina harus angkat koper dari Afrika Selatan dengan hasil pertandingan yang sangat memalukan sewaktu bermain dengan Jerman.

Jadi, bagaimana semestinya kita memperlakukan sepak bola. Apakah seperti Loew dan Tatsumi, atau sebagaimana yang diperlihatkan oleh Maradonna? Sepak bola sebagai disiplin ilmu modern atau hanya perayaan eksistensi semata? Apapun itu, tampaknya, akan menjawab alasan dibalik kecintaan atau hobi seseorang terhadap permainan sepak bola. Termasuk tentunya bagaimana kita membaca tren persepakbolaan yang ada di tanah air saat ini, juga kenapa PSSI tidak pernah masuk dalam daftar peserta final kejuaraan Piala Dunia.

1 komentar untuk "Sepak Bola & Rasionalitas"

  1. saya suka analisis mas ttg statistik. sejarah memang memberi semangat, tapi memenangkan pertandingan adalah passion yang lebih besar.

    BalasHapus