Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Reli ke Selatan Jawa Tengah (2)


Hampir pukul 08.00, kami sudah bersiap melanjutkan perjalanan ke kawasan wisata sebelah utara Purwokerto. Hawa pagi yang segar dan suasana minggu yang santai rupanya membuat perut menjadi lapar. Kami meninggalkan penginapan lima menit kemudian, menuju stadion olah raga Satria. Bukan untuk jalanjalan santai atau berjogging ria, tapi mencicipi jajanan khas yang ada di sana, lontong dengan kuah opornya.

Ke Baturraden


Tigapuluh menit menikmati santapan pagi, diselingi obrolan ringan dan foto di sana sini, baru perjalanan dimulai kembali. Kami menuju Baturraden, sebuah resor dan lokawisata empatbelas kilometer sebelah utara Purwokerto. Dari pusat kota, tinggal mengikuti sebuah jalan lurus yang menanjak. Papan petunjuk jalan cukup informatif memberitakan letak kawasan wisata tersebut. Beraspal lumayan bagus, suasananya mengingatkan saya dengan jalur utama menuju Magelang atau jalanan menanjak dari Malang ke Batu. Dan memang, posisi Baturraden dalam pemikiran orang Purwokerto mirip seperti Batu bagi masyarakat Malang.

Sebuah gapura khas tempat wisata menyambut kami. Beberapa orang petugas datang memberi karcis masuk, tujuhribu limaratus rupiah perorang. Lumayan terjangkau bila dibandingkan dengan karcis masuk Dufan yang lebih dari tujuhpuluhribu rupiah itu. Tapi apa yang mau diperbandingkan antara Dufan dan Baturraden? Pandangan saya terarah kepada brosur wisata berisi tempattempat menarik dari kawasan ini. Pancuran tujuh, pancuran tiga, Curug ceheng dan sejumlah sarana wisata lainnya. Tapi yang begitu tertanam dalam pikiran saya adalah istilah lokawisata. Kenapa pengelola kawasan ini menamakannya demikian? Loka, dunia. Wisata, tahu sendiri kan. Lokawisata, dunia wisata? Iseng saya buka KBBI online, ternyata tidak ada istilah lokawisata. Terpaksa, saya harus puas dengan istilah bentukan saya sendiri. Lokawisata, sebuah tempat atau dunia untuk berwisata dan bertamasya. Kata dunia, dengan demikian menandakan sebuah tempat yang unik, sebuah sanctuary yang membuat kita memasuki dunia baru yang berbeda dari dunia keseharian.

Dan dua kilometer dari gerbang utama, kendaraan yang kami tumpangi terengahengah mendaki bukit yang curam. Anehnya, tidak seperti kawasan pegunungan yang membuat jalan berkelok menyisir tepi bukit, jalan di Baturraden ini dibuat lurus. Hasilnya, empatpuluhlima derajat kemiringan, membuat punggung melekat erat di bangku kendaraan. Perasaan ini, dan usaha yang lumayan berat menembus ketinggian, serasa seorang pembantu yang berjalan tergopohgopoh ke rumah majikannya. Apa mungkin karena itu ia dinamakan Baturraden? Batur, pembantu. Dan Raden, sebuah gelar kebangsawanan. Baturraden, babunya bangsawan.

Mungkin sedikit berbeda dari versi asli cerita ini. Dalam situs resminya Baturraden, dijelaskan asal muasal daerah Baturraden yang berawal dari sebuah kisah cinta terlarang antara pembantu dan tuannya. Seorang gamel atau penjaga kuda (kok persis ya seperti kata gamel dalam bahasa Ibrani atau jamal dalam bahasa Arab yang berarti unta) jatuh cinta kepada putri seorang adipati. Karena perbedaan kelas dan kekayaan, tentu sang ayah tidak setuju, dan memutuskun untuk mengusir mereka berdua. Keduanya lalu pergi ke tempat yang kini dinamakan sebagai Baturraden. Tidak ada yang mistik dalam cerita tersebut dan tidak ada yang wah untuk diceritakan. Karenanya ada versi kedua yang agak panjang dan dipenuhi bumbu cerita yang menakjubkan yang juga melibatkan seorang tokoh penyebar agama Islam di tanah air, Syekh Maulana Maghribi. Berbeda dari kisah pertama, kisah kedua ini lebih menekankan sebuah kepatuhan murid kepada gurunya. Haji Datuk Rusuludi, si murid itu rupanya begitu taat membantu sang guru yang tengah mengobati penyakit kulitnya di pancuran tujuh. Dari sanalah kemudian nama Baturraden terbentuk, sebagai gambaran ketaatan sang pembantu.

Dua Dunia







Bila kita bandingkan kedua cerita tersebut, sepertinya telah terjadi penafsiran kembali sejarah Baturraden. Dalam versi pertama, citra yang ditimbulkan olehnya adalah negatif. Baturraden di artikan sebagai tempat pelarian pasangan yang tidak mendapat restu orang tua. Dan sepertinya, institusi pernikahan tidak hadir di sini. Sebaliknya, dalam versi kedua penekanan yang dalam terhadap sosok syekh Maulana Maghribi, menandakan sebuah fase etis, dimana agama menjadi kesadaran baru dalam kehidupan masyarakat Purwokerto. Pembantu tidak lagi digambarkan sebagai sosok sensual yang memperdaya, tapi lebih kepada teladan moral yang taat kepada atasannya.

Banyak sekali implikasi dalam hipotesis ini. Baik yang menggambarkan watak asli orang setempat, hubungan antara penguasa dan rakyatnya, serta fungsi agama dalam struktur kemasyarakatan orangorang Purwokerto. Terlepas dari spekulasi pemikiran saya yang lari kemanamana, kunjungan ke lokawisata Baturraden benarbenar membuat saya masuk kedalam sebuah dunia baru yang berbeda dari keseharian. For good or bad, lokawisata ini memang menyajikan sebuah pemandangan yang indah.

***

 

Dari tempat parkir, kami berjalan menuju gerbang masuk utama. Hawa sejuk gunung Selamet menyambut kami semua. Suasana begitu ramai. Para wisatawan yang kebanyakan wisatawan dalam negeri memenuhi tempattempat rekreasi. Ayunan, tempat bermain anakanak, kereta mini, dan berbagai wahana permainan yang biasa ditemukan di pasar malam tampak hadir di sini. Suasananya mengingatkan saya dengan tempat wisata Bantimurung di Sulawesi Selatan. Meski, dari segi keindahan, Baturraden jauh lebih unggul. Riam air yang mengalir jernih di antara batu vulkanik sebesar rumah, kontur tanah yang berundakundak serta aroma pegunungan yang menyegarkan, adalah sajian pertama saat kita memasuki gerbang tersebut.

Sejumlah keluarga tampak menggelar tikar, bercengkrama riuh rendah, persis seperti yang saya lihat semalam di alunalun kota Purwokerto yang padat oleh pengunjung. Sejumlah pedagang asongan juga hadir di tengahtengah mereka. Benarbenar kombinasi yang aneh antara suasana untuk hiatus dengan keramaian ruang keluarga. Atau bisa dibilang, sebuah taman rekreasi keluarga di sebuah ruang liar yang telah ditaklukkan.

Karena ingin menikmati kesendirian, saya berpisah dari rombongan. Mengambil gambar sejumlah scene menarik, bereksperimen dengan kamera prosumer, atau mengambil jalur tracking yang tak kalah menantang. Anehnya, setiap kali saya mengambil gambar dengan mode landscape, tidak satupun gambar menarik yang sanggup saya ambil. Gabungan yang janggal antara warnawarni manusia dan keindahan alam yang permai memberi pilihan yang sulit dalam menentukan corak fotografi yang ingin saya hadirkan. Apalagi, satusatunya tempat yang paling pas untuk memotret lanskap juga terganggu oleh keramaian, jadilah saya mengambil gambar dalam mode portrait. Sesuatu yang aneh dilakukan untuk mengabadikan wilayah pegunungan. Dan memang, kalau diperhatikan lebih seksama, kawasan ini telah mencapai titik tertinggi untuk direkayasa dengan bangunanbangunan artifisial buatan manusia. Benarbenar tidak perawan.

Karena jengah dengan segala keramaian, saya pun menuju ke tempat yang jauh lebih tinggi. Di atas sana ada pancuran tiga dan tujuh. Dua kolam pemandian air hangat yang memiliki kandungan belerang yang tinggi. Jalan ke sana lumayan curam, meski jalur pendakian yang ada tertata dengan baik. Anak tangganya memang licin, tapi rail lis pagar yang kokoh, membuat perjalanan mendaki menjadi aman. Baru beberapa meter, nafas saya sudah tersengalsengal. Topografi di atas yang dipenuhi tebing dan rerimbunan pohon yang teduh membuat suasana begitu hening dan senyap. Kontras dengan hirukpikuk di bawah sana, Baturraden ternyata menyajikan dua dunia yang benarbenar berbeda.

Menunggu

Sesampai di Pancuran 3, gemericik air merebak. Ini adalah tempat pemandian air hangat yang pertama. Bilik bilik pemandian berkerak kuning, mungkin karena kandungan sulfur atau belerang yang tinggi. Beberapa penyedia layanan pijat terlihat dudukduduk di sana. Sebagian pengunjung tampak mandi dibawah pancuran air gunung yang menyegarkan.

Tibatiba handphone saya berdering. Rupanya Yusra menelpon mengabarkan bahwa mereka kini tengah mendaki ke arah pancuran tujuh. Katanya tidak terlalu jauh dari pancuran tiga. Dengan segera saya pun mendaki menyusul mereka. Kali ini, benarbenar tidak ada manusia sama sekali. Jalan setapak memang terlihat jelas, tapi suasana senyap. Hanya ada kicauan burung dan aroma hutan yang menenangkan. Maksud hati ingin segera ke pancuran tersebut, tapi karena saya tidak mengenal medan yang ternyata lumayan terjal dan kondisi badan yang jauh dari bugar karena tengah menempuh perjalanan panjang. Maka kuputuskan untuk turun dan menunggu mereka di bawah.

Lagi, sepertinya kejadian waktu di Bromo terluang kembali, saya salah kostum. Untuk wisata alam seperti ini, seharusnya mengenakan celana kargo atau celana khusus pendakian serta sepatu hiking. Nyatanya saya malah mengenakan jeans dan boot. benarbenar paduan yang salah, karena kalau mau lebih nyaman malah pakai celana pendek dan sendal khusus pendakian. Apalagi corak wisata yang berhubungan dengan air, semestinya membawa pakaian salinan serta handuk untuk mengeringkan badan. Jadilah hanya berjalanjalan saja di wilayah bawah mengabadikan beberapa gambar yang menarik.


 


Ada yang menarik di pancuran 3. Ternyata di sana ada sebuah petilasan, yang kemungkinan digunakan orangorang setempat untuk bertapa atau mengharap berkah. Saya tidak masuk ke petilasan tersebut, hanya mengambil gambar sebentar dan kemudian turun ke pintu masuk untuk bersihbersih dan shalat Zuhur. Sambil menunggu di pelataran masjid, saya mencoba sedikit panganan yang dijajakan pedagang kakilima. Sepiring pecel plus tempe mendoan dan teh hangat. Benarbenar pengusir penat yang pas. Apalagi, rintik hujan sudah membasahi kawasan wisata. Tempat yang bersih dan kering benarbenar sebuah kemewahan yang nikmat.

Mengejar Malam

Hampir dua jam lebih saya menunggu. Sekitar pukul tiga sore, kawankawan baru kembali. Muka mereka lusuh. Maklum, lelah mendaki sejauh tiga kilometer lebih. Yang mengesalkan, sebenarnya jalur ke arah pancuran tujuh bisa ditempuh dengan kendaraan. Tapi karena rasa penasaran dan percaya diri yang tinggi malah ditempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya yang saya khawatirkan adalah kondisi Yusra yang menjadi supir kami. Wah, kalau dia kecapekan siapa juga yang bakal menyetir mobil. Tidak mungkin kan bermalam kembali di sini. Maka setelah beristirahat sebentar, kami pun segera bergegas mengejar malam menuju Jakarta.

Rutenya masih sama. Dari Purwokerto menuju Wangon, tanpa melewati Cilacap. Kemudian ke Lumbir, melalui daerah perbukitan yang berkelokkelok di Karangpucung, melewati Tasikmalaya ke arah Ciaro dan Rancaekek serta berhenti sebentar di Bandung sekedar mengisi perut yang kelaparan, kemudian menekan pedal gas hingga pol di Tol Cipularang dan Jakarta - Cikampek. Pukul 01.05 dinihari baru sampai di Jakarta.

Benarbenar perjalanan yang melelahkan sekaligus menyegarkan. Setidaknya, Baturraden telah memberi pemandangan yang berbeda dan mengasyikkan.

Posting Komentar untuk "Reli ke Selatan Jawa Tengah (2)"