Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Purnama di atas Bromo (1)

IMG_2652

Kamis, pukul 11.16, sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam saya.

    fren bsk gmn jd ikut gak kalo ya kt naik dr senen jam 2 siang.


Sebuah undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan kawan sekantor, Ida  dan Ari, di Malang datang menghampiri saya. Ya, beberapa kawan memang merencanakan perjalanan ke kota Apel ini. Lala, yang merupakan koordinator trip, bersama Agus, Indah, Erna dan bu Wulan sudah sepakat untuk berkunjung ke kota tersebut. Mereka berlima mengajak saya untuk ikut liburan singkat ini.
 
   Kita ke Bromo
fren, bujuk Agus.

Hmm... Malang tanpa apaapa, bagi saya hanya memori lama. Tapi ke Bromo. Pegunungan Tengger, Semeru. Bukankah itu sebuah pengalaman tersendiri yang menarik untuk diikuti. Gununggunung agung yang menjulang bak raksasa yang tenggelam dalam semedi. Lautan pasir, dan kudakuda. Seperti menyaksikan waktu yang berhenti di sudut tertinggi pulau Jawa. Akhirnya kuputuskan juga untuk ikut bersama rombongan kecil ini, setelah memastikan sisa cuti tahun ini bisa saya pindah ke hari Jumat.

  ... saya harap km bisa ikut

Allright, I am coming.


Di atas Kereta

IMG_2792IMG_2478
IMG_2482
IMG_2463


Keesokan harinya saya berkemas, lalu pergi ke stasiun Bekasi. Benar, kami naik kereta. Sama seperti perjalanan terakhirku ke Madiun, menumpang Matarmaja. Di stasiun, Erna sudah menunggu. Masih dengan kepolosannya yang tak pernah dibuatbuat, gadis Solo ini berdiri mematung di tengah peron, seolah anak hilang.
   
   nomor telponmu berapa wan? kok ga bisa dihubungi?

Karena tidak mau diganggu siapasiapa, saya lupa kalau dari pagi ini saya aktifkan mode Blacklist di hand phone saya.

   oh, sorry. Nanti pesanmu juga masuk sebentar lagi.

Begitulah, meskipun dulu kami samasama satu angkatan waktu masuk perusahaan ini, bahkan nomornya pun aku tak punya. Apa mungkin karena saya lama di Makassar, hingga kami tidak akrab lagi seperti dulu? Entahlah, cuma memang kalau mau diperbandingkan cara berpikir kami berdua itu mirip langit dan bumi. I am extremely complicated, and she is extremely simple. Barely simple.

Setelah chitchat ringan dengan Erna seputar masalah kantor, kereta pun tiba. Kami dapat tempat di gerbong tiga, di sana temanteman yang lain sudah menunggu. Agus, Indah dan Lala, naik bareng dari St. Pasar Senen. Ketiganya hampir saja tertinggal kereta garagara mode terlambat dan santai Agus sedang on :), sedangkan bu Wulan berangkat dari Jatinegara.

Kalau Agus dan Erna bertemu, suasana pasti rame. Si usil sama si latah, begitulah pemandangan yang ada. Belum lagi kalau logat Jawa Erna yang medok keluar, semua pasti tertawa terpingkalpingkal. Belum lagi bu Wulan yang antusias sekali dengan perjalanan naik kereta ekonomi ini. Yang pertama katanya, dengan putaran bola mata bak penari Bali dan gerakangerakan tangan yang artikulatif, suasana menjadi sangat ceria. Ceritacerita pun dengan lancar keluar dari mulutnya. Kisah kemenakannya yang baru kelas 4 SD dan harus pulang sendiri ke Solo naik kereta eksekutif, kecemasannya karena ternyata kereta yang ditumpangi mogok hampir 3 jam, serta kepanikan ditelpon kakak dan kerabatnya. Wah, sambung menyambung tuh. Lain kiranya dengan Indah dan Lala yang hanya sedikit menimpali. Kalau ada yang perlu disematkan penghargaan, ya dua orang ini, Erna dan bu Wulan. Bintangnya ngrumpi :p. Tak terasa jadinya perjalan yang menempuh waktu hampir 18 jam ini. Berbincang, ketawa, makan, ketawa, berbincang, tapi capek juga. Memang berjalan ramairamai tuh menyenangkan.

IMG_2502IMG_2477
IMG_2490IMG_2476

Pukul satu malam, selepas Semarang, semuanya sudah hampir terlelap dengan mimpi. Di sebuah persilangan kereta berhenti. Tibatiba, sesosok tubuh merengsek masuk dari celah jendala. Aku masih setengah sadar, tapi sekali waktu dulu kupernah mendengar ceritacerita pencuri yang mengambil barangbarang penumpang lewat jendela. Tanpa pikir panjang, langsung kesergap tangannya yang merogoh kedalam hendak mengambil dompet dan handphone Lala. Dalam sepersekian detik, dan Agus juga sudah menyergap mencekal pergelangan tangan si maling, buku Maryamah Karpovku terpental entah kemana. Kuatkuat kuremas dan kupukuli lengannya. Penumpang lain juga sudah berkerumun hendak menghajar pencuri ini. Kutatap matanya dalamdalam, ia tenang, cukup tenang malah untuk orang yang menggantung di atas jendela kereta. Bajunya kuning dengan stripstrip biru di bagian atas. Kulitnya bersih, profesional rupanya.

Lala menjerit keraskeras, menggenggam erat ia punya handphone. Indah tak dapat bersuara, bu Wulan panik mencaricari kamera saya dan memeriksa telpon genggamnya, Erna lebih panik "Setan! Setan!" Si copet ikutikutan panik, puihpuih ia meludah, mungkin maksudnya mau bilang bahwa ia bukan setan kali. Iya, kamu bukan setan tapi maling, kamu maling setan! Dan kereta pun mulai berjalan kembali. Setelah yakin tidak ada kehilangan sesuatu, kulonggarkan remasanku dan si maling pun terjatuh keluar sesaat sebelum kereta benarbenar bergerak kencang, ia hilang dalam kegelapan. Banyak yang menyayangkan kenapa si maling tuh dilepas. Ah, dia kan juga manusia. Aku sendiri malah lebih takut kalau ia terus tersangkut di atas jendela, sedangkan didepan banyak sekali palangpalang yang kemungkinan bisa saja melukai tubuh si pencuri. Bukan tidak mungkin kita yang bermasalah karena membahayakan nyawa manusia. syukurlah tidak ada kurang.

Setelah peristiwa itu, sudah tidak ngantuk lagi rasanya.Orangorang juga kembali ramai membicarakan kejadian buruk tadi, dengan versi yang berbedabeda tentunya. Muka Lala masih tegang, dan Erna tambah aneh. Waktu bahas lontarannya tadi, semua malah tertawa terbahakbahak. Huh, tidak ada yang tidak bisa dijadikan bahan tertawaan di atas gerbong itu.

The Wedding

IMG_2528
IMG_2523IMG_2512
IMG_2536


Sekitar pukul delapan pagi harinya, kami tiba di stasiun Malang Kota. Agak mendung rupanya, jadi masih terasa sejuk. Dua puluh menit kemudian sebuah Taruna perak datang, rupanya Agus Malang, Medical Representatif yang station di kota ini menjemput kami meminjam kendaraan Area Manajernya. Setelah keliling kota sebentar, dan sarapan di sebuah warung kecil, kami pun diantar menuju tempat penginapan di hotel Kalpataru. Lelah sekali rasanya, maka akupun segera terlelap saat masuk ke kamar. Benarbenar perjalanan yang panjang.

Siang hari, hawa semakin dingin. Hujan deras rupanya. Jalanan depan hotel sudah tergenang setinggi mata kaki. Kasihan juga pikirku, pernikahannya Ida. Mana tidak ada tandatanda bakal selesai hujannya. Sekitar pukul dua, tiga rep Malang datang menjemput, mereka juga hendak menghadiri resepsi pernikahan. Setelah bersalin dan berbincangbincang di beranda kamar, kami segera berangkat. Hujan lebat, mobil yang sumpek dipenuhi penumpang berangkat. Tidak jauh, hanya dua ratus meter dari tempat kami menginap. Dan suasana benarbenar basah.

Di atas panggung, dua mempelai tengah duduk di atas singgasana mereka. Tidak terlalu ceria, tapi mereka berusaha tegar. Kusalami satu persatu, juga kedua orang tua kedua penganten. Dari pegangan mereka yang tidak bersemangat kutahu betapa hujan telah mengubah harapan mereka mengenai hari bahagia ini. Maka kusambut pegangan tangan itu dengan genggaman percaya diri. Ayo jangan bersedih, bersemangatlah. Yang penting kan sudah menikah. Itu barangkali katakata yang hendak kusuarakan, tapi pada siang hari itu tidak ada satu pun ujaran yang keluar dari mulutku.

Pada sesi hiburan, Lala dan Ali, reps Malang, menyumbangkan sebuah lagu untuk kedua mempelai. Cocok sekali kedua orang ini. Agus Malang juga turut bernyanyi menghibur. Hujan masih turun, tapi semua menjadi ceria. Hey Ari dan Ida, selamat menempuh hidup baru. Semoga kalian bahagia selamanya ya!

IMG_2544
IMG_2541IMG_2556

Malammalam dingin

Sore harinya, setelah menunggu hujan reda, kami kembali lagi ke penginapan. Beruntung sekali karena sesampai di sana air tumpah dengan hebatnya. Kami tidak bisa menikmati sore hari yang hangat dan terkurung di kamar hotel hingga malam. Sudah lapar sekali perut terasa padahal baru saja ikut makan saat resepsi Ida, dingin benarbenar menambah nafsu makan saya. Ternyata, bukan cuma saya yang lapar, kawankawan perempuan juga begitu. Akhirnya Agus dan Lala pergi keluar mencari makanan, sekedar mengganjal perut.

Satu cup mie instan, tiga potong martabak, dan segelas air Aqua. Kami bertiga berbicang sebentar di teras, menikmati kedinginan itu.

    Kenapa kamu masuk filsafat? Tanya Lala padaku. Kenapa juga pertanyaan ini yang keluar setiap mereka berbicara tentangku. Filsafat itu benarbenar distinctive.
   
    Entahlah,
jawabku asal.
    Tahu tidak, kalau pelajaran yang kubenci dulu itu filsafat, kata Lala.
    Tidak jelas.

Benar tuh, setuju. Aku cengengesan saja.
Ah, kembali ke masa lalu. Kenapa juga harus hadir di saatsaat seperti ini. Tentang segala pilihanku dan semua yang tidak pernah sinkron. Bagaimana mungkin anak filsafat bekerja di perusahaan farmasi.

   Berapa IPmu wan? Tanya Agus
   3,76 Jawabku ringkas. Apa peduli dengan nilai setinggi itu. Di sini saya benarbenar memulai dari nol.
   mungkin karena itulah kamu diterima.

Mungkin saja, atau janganjangan yang wawancarai saya dahulu sedang asyik masuk baca bukubuku filsafat. Hee... siapa yang tahu. Tapi itulah, hampir tiga tahun saya bekerja di sini. Dan selama itulah ada banyak hal yang kucerap. Terimakasih Merck karena mengajarkan banyak hal kepada saya.

IMG_2576IMG_2573
IMG_2566
IMG_2569

Karena terlalu lelah, pembicaraan hangat itu berlangsung singkat. Kusetel alarm handphone di jam 12.30. Sepertinya baru rebahan sebentar, sampai terdengar ketukan di pintu. Ali sudah datang rupanya. Ooops, aku lupa memberi tahu, kalau kami akan berangkat ke gunung Bromo tengah malam ini. Pukul 1.30 dini hari, dengan sisasisa tenaga yang terkuras oleh lamanya perjalanan. Malam itu, dimulailah petualangan yang sesungguhnya, pergi ke Bromo melihat matahari bangun. Udara malam selalu membawa ilusi tentang mimpi yang datang sebelum waktunya.

to be continued...


1 komentar untuk "Purnama di atas Bromo (1)"

  1. huhuhu...
    aku rindu Lawu

    Lawu, Merapi, Semeru ?
    pernah dibahas dlm Kosmologi Jawa ?

    BalasHapus