Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bekasi : Memoar di Sebuah Kota

Siapa yang tidak kenal Bekasi. Dari puisi Chairil Anwar yang masyhur, Antara Karawang dan Bekasi, hingga penamaan kompleks Jabotabek yang merupakan akronim dari Jakarta, Bogor, tangerang dan Bekasi. Atau bila anda menyimak siaran berita beberapa bulan yang lalu, mengenai kasus mutilasi, pembunuhan, dan protesprotes para buruh, tentu anda tidak akan salah. Ya, Bekasi terletak tigapuluh kilometer Timur Jakarta, memilik luas 210,49 km², dengan populasi mencapai 2.084.831 jiwa. Ia adalah kota sub-urban, yang menopang Jakarta. Pintu masuk ke Bekasi, bisa melalui jalur Pulo Gadung, Jatinegara dan Kasablangka yang bertemu di daerah Kranji. Atau bisa juga melalui jalur Kali Malang dan pondok Gede yang bertemu di area pertemuan besar tiga pusat perbelanjaan, sekaligus pintu masuk ke tol Jakarta - Cikampek. Bisa dibayangkan kepadatan yang merayap di titiktitik pertemuan ini, apalagi pada pagi hari sekitar pukul 06.00 s/d 09.00 WIB. Ribuan kendaraan bermotor, berduyunduyun merayap meniti jalan bak kerumunan orang di tengah malam takbiran yang berburu pakaian diskon. Bekasi memang memiliki lalulintas yang sangat padat. Tak jarang, bagi mereka yang harus masuk pukul 08.00 di kantornya yang terletak di Jakarta, harus bangun subuh hari dan berangkat sebelum pukul 06.00 agar tidak terjebak macet di jalanan.

Kota yang Sesak

Pola kemacetan di Bekasi unik. Kalau ingin tiba di kantor pukul 08.00, kita harus berangkat paling lambat pukul 06.00 dan menikmati bonus tigapuluh menit lebih pagi di kantor. Namun, bila masuk pukul 09.00, kita bisa lebih santai menikmati hari dengan berangkat sekitar pukul 07.45. Di luar waktu itu, perjalanan pergi bekerja akan ditempuh lebih lama. Pengalaman pribadi, ketika berangkat dari rumah pukul 06.25, ternyata saya tiba di kantor saya, di bilangan Pasar Rebo, pada pukul 08.45. Hampir tidak ada bedanya dengan berangkat lebih siang yang akan tiba di sana pada pukul 09.00 WIB. Itu bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi, macam motor yang saya naiki. Lalu bagaimana yang menggantungkan hidupnya pada kendaraan umum? Rumusnya hampir sama, hanya saja, harus menyediakan waktu tigapuluh menit lebih pagi untuk berangkat. Sewaktu kuliah, saya biasa berangkat pukul 05.30 agar dapat hadir di kelas pukul 08.00 di kampus saya di bilangan Ciputat. Perjalanan pergi sekitar dua jam dan perjalanan pulang dari dua setengah hingga tiga jam. Total, bisa lima jam dihabiskan diperjalanan. Bila jalanan normal, rentang waktu tersebut bisa digunakan untuk menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Cirebon yang jauhnya lima hingga enam kali jarak Bekasi - Jakarta. Wow.

Terminal Bekasi lumayan besar. Trayek ke sejumlah kota utama di pulau Jawa tersedia di sini. Memang tidak selengkap terminal Kampung Rambutan dan Pulo Gadung, tapi lumayan berguna. Lain halnya dengan trayek jarak dekat dengan destinasi sejumlah terminal dalam kota di Jakarta, banyak dari kendaraan ini yang susah untuk dipercaya. Mungkin karena letak terminal yang jauh di tengah kota dan lalulintas yang macet, membuat para supir angkutan umum memutar arah sebelum sampai tujuan. Terkadang mereka memindahkan penumpang ke bus lain dan kemudian berputar balik. Ada juga yang berhenti di terminal bayangan jauh dari terminal resmi. Akibatnya, bagi mereka yang kendaraan pengumpannya (baca: angkot) tidak melalui terminal bayangan tadi, terpaksa naik dua kali agar dapat kendaraan yang dituju. Bagi yang tidak sabar, lebih memilih jasa tukang ojek, yang tarifnya dua kali lebih mahal dari gabungan dua tarif angkot. Karena ketidakpastian ini, lebih banyak yang memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda angkutan utama untuk pergi bekerja. 

Motor adalah kendaraan pribadi yang paling banyak diminati. Selain murah, ia juga ergonomis dan memiliki mobilitas yang tinggi. Pasar motor di Bekasi berkembang pesat. Bisa dipastikan, hampir tidak ada keluarga yang tidak memiliki motor. Pun anakanak usia sekolah sudah familiar dengan kendaraan ini. Saya bahkan semakin jarang melihat anak SMA mengendarai sepeda. Mereka kini lebih memilih menggunakan motor untuk pergi belajar. Akibat jumlah motor yang sangat banyak, menjadikan resiko berkendara melonjak tinggi, terutama soal resiko pencurian dan perampasan. Maka mulailah menjamur premanpreman lokal yang berkedok tukang parkir. Di tempattempat umum, restoran, pusat perbelanjaan, bahkan masjid, mereka menagih uang seribu rupiah sebagai imbalan dari menjaga motor yg diparkir. Selain preman, tempat penyucian dan penjual aksesoris motor pun turut menjamur. Mereka bisa ditemui diberbagai penjuru kota. Karena motor, pola sosial masyarakat pun berubah. Mereka kini mulai membentuk klubklub kendaraan bermotor, yang setiap malam minggu kumpulkumpul dan berkeliling kota tak tentu arah. Akibatnya, banyak remaja perempuan masa kini yang proporsi tubuh bagian bawahnya tidak imbang. Mungkin karena kebanyakan 'menyemplak' motor kali ya.

Tapi motor bukan pilihan terakhir, masih ada kereta api yang hampir setiap jam berangkat dari stasiun Bekasi menuju Jatinegara, Senen, dan Kota. Ada juga beberapa trayek tujuan Manggarai, Tanah Abang dan Tanjung Priok, yang hanya berangkat pada jamjam rush hour. Bekasi adalah destinasi terakhir ke arah Timur dari kereta KRL Jabotabek. Mayoritas kereta buatan PT INKA di Madiun dan sisanya hibah dari pemerintah Jepang. Keretakereta ini jauh lebih tenang dan nyaman dari produk lokal. Pernya empuk dan AC-nya dingin serta gerbonggerbongnya jauh lebih senyap. Mungkin karena itulah mereka memiliki tarif tiga kali lebih mahal dari kereta lokal yang tiketnya hanya seribulimaratus rupiah. Jauh lebih murah dari tarif kendaraan umum untuk tujuan yang sama, semisal Pasarsenen. Karenanya peminat moda kendaraan ini tidak pernah berkurang. Mereka rela berdesakan di dalam gerbong yang pengap dan kotor agar tidak merasakan macet serta menikmati harga yang benarbenar terjangkau. Sayang sekali, meskipun murah, masih saja banyak orang yang naik tidak membayar karcis. Apa mungkin hal tersebut disebabkan oleh syair lagu anakanak yang dalam merasuk:

naik kereta api
tut....tut....tut....
siapa hendak turut
ke Bandung.... surabaya
bolehlah naik dengan percuma

4 komentar untuk "Bekasi : Memoar di Sebuah Kota"

  1. "Akibatnya, banyak remaja perempuan masa kini yang proporsi tubuh bagian bawahnya tidak imbang. Mungkin karena kebanyakan 'menyemplak' motor kali ya."

    Kok saya merasa ini strangely funny, ya? :P

    BalasHapus
  2. sampai saat ini saya masih bersikukuh dg pendirian untuk tidak hidup di jakarta, meski "rayuan" untuk itu cukup kuat... karena saya tidak terlalu imun terhadap "kekejaman" jakarta...

    btw, tu motor tangguh banget, kemana2 dibawa... ck, hebat nian... :)

    BalasHapus
  3. Bekasi.... saya tidak pernah ke sana, namun dari paparan Hp di atas sedikit tergambarkan tentang kota ini khususnya perihal mode transpotasinya. Tentang panoramanya boleh dunk!!

    Setiap mendengar Bekasi, saya selalu teringat seorang sahabat, almarhum RUSANTO. Dia sahabat karibku di kelas 3 eksperiment sebelum Allah memanggilnya setahun kemudian.

    BalasHapus
  4. @ Mona :p

    @ Uda Vizon, Ya begitulah Jakarta, makin tidak bersahabat dan manusiawi. Tapi setidaknya saya sudah pengalaman di kota terburuk kedua di dunia ini. If I had go to hell, everywhere is paradise. Bukankah demikian? :D

    @ Hendri, Iya nih, saya ingin hunting fotofoto menarik Bekasi, tapi rasanya susah didapatkan. Pasti Hend saya taruh.

    Almarhum, semoga Tuhan mengampuni dosadosanya. Amin.

    BalasHapus