Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

At Midst of Java (1)

Ada banyak orang yang merasa nyaman dengan identitas mereka, merayakan kehidupan dan menikmatinya. Tapi ada juga yang tidak nyaman dengan apa yang kita sebut sebagai warisan itu, baik genetik, budaya maupun kepercayaan. Beragam faktor yang menyebabkan ketidaknyamanan tersebut, tapi pada umumnya kesenjangan yang lebar antara gambaran diri yang ada di kepala dengan realitas keseharianlah yang menjadi faktor kunci pencetus itu semua. Ada banyak juga kisah kuno di tanah air yang menggambarkan hal tersebut. Seperti kisah Malin Kundang yang mengalami krisis identitas akibat jurang kekayaan yang dalam antara ia dan ibunya. Alhasil, muncullah alienasi dalam diri si Malin yang sayang sekali berujung pada sebuah malapetaka. Well, kehidupan memang tidak selalu memberikan kita pengalaman yang manis. Padahal, bila kita kaji sekali lagi asal muasal krisis identitas, bukankah itu bermuara dari keinginan kita menuju kepada sesuatu yang jauh lebih baik?

Pada lakon Kabayan Saba Kota yang diperankan oleh Didi Petet pada dasawarsa yang lalu, solusi yang muncul adalah kepulangan kita kepada jatidiri masa lalu. Kebaharuan tidak lagi mampu dikompromi dan transformasi yang diharapkan malah berujung tragis. Hal serupa juga digunakan oleh pemerintah untuk mencegah laju urbanisasi. Desa yang nyaman dan tentram selalu digambarkan sebagai jatidiri para perantau itu. Sayang sekali, eksposure pemerintah gagal. Pertama, karena orang jarang yang kembali ke desa mereka. Kedua, alihalih memberikan identitas kekotaan yang pas, para perantau ini malah mempertahankan identitas desa mereka yang dalam banyak hal tidak cocok dengan kultur masyarakat kota. Dan kita lihat bagaimana akhirnya kedesaan mengimbas kekotaan. Kebiasaan membakar sampah, membuang makanan di jalan, menyiram jalan dengan air hingga kebiasaan bergerombol bila terjadi sesuatu. Imbasnya, kota tidak lagi dipandang sebagai tempat tinggal, namun lebih kepada tempat mencari nafkah dan bekerja. Makanya kita lihat arus lalu lintas yang begitu liar dan kencang. Because they aren't feel at home in their city.

The big village! Jakarta is one big village not a city. Saya kira saya setuju dengan ungkapan tadi. Kita telah kehilangan budaya kota yang seharusnya kita bina dan bangun. Dan mereka yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kota, pada akhirnya juga merasa terasing dengan perilaku para warganya sendiri. Jadilah sekatsekat sosial yang jelas membentengi kita dari memandang kota sebagai sebuah kesatuan sosial. Tentu saja kita bertanyatanya, identitas macam apa yang hendak kita suarakan di masa datang. Desakah, kotakah? Inklusif atau eksklusif? individual atau komunal? Banyak sekali pilihan, konsekuensi bahkan hukumanhukuman sosial yang menanti. Tentu saja, kita hidup dalam kemajemukan yang sangat. Bahkan untuk sesuatu yang kita anggap homogen, kemajemukan itu tetap ada. Our distinctive individuality.

***

From At Midst of Java


'di bandara bersama Agus'


Bulan Januari kemarin, saya berkesempatan berkunjung lagi ke Jogjakarta. Kali ini untuk urusan pekerjaan. Akibat agenda yang padat, keinginan berjalanjalan ke sekujur kota agak terbatasi. Jadilah pagi di hari pertama, bersama rekanrekan kerja menyusuri sepanjang Malioboro, menikmati suasana yang ada. Stasiun Tugu, pasar Beringharjo, lapaklapak kaki lima, benteng Vredeburg, hingga Keraton. Ini pengalaman saya yang pertama. Mungkin dahulu waktu kecil pernah, tapi hampir tidak ada sama sekali bayangan masa lalu yang tertanam di memori saya. Kalaupun ada, pasti itu bukan sebuah pengalaman yang benarbenar menarik. Maka kali ini saya biarkan pikiran saya out of the box untuk merasakan sensasi tersebut.

Lumayan jauh dari tempat saya menginap di Sheraton. Butuh waktu kurang lebih 30 menit untuk menuju malioboro, atau sekitar 30-an ribu rupiah menggunakan taksi. Kenapa malioboro? Apalagi kalau bukan lagu Kla Project yang terkenal itu. Jogjakarta identik dengan Malioboro sama seperti Paris dengan Menara Eiffel-nya. Simbol kota selalu menarik untuk dikunjungi. Jalanan saat itu lancar, memang tidak santai, tapi jauh lebih tertib dari Jakarta. Beberapa sarana kendaraan massal sudah dibangun, seperti Trans Jogja yang berhenti di haltehalte khusus meniru proyek Trans Jakarta. Menggunakan bus 3/4, ia mirip Kopaja atau Metromini, tapi sudah menggunakan AC. Saya tidak melihat pembatas jalan dari beton seperti yang sering dijumpai di lajur busway, hanya markamarka jalan yang tergambar di atas apal yang mulus itu. Baguslah pikirku, karena dengan begitu malah jauh lebih humanis dan aman.

Sayang sekali, selama di Jogja, belum sekalipun naik bus tersebut. Karena kami lebih sering jalan berombongan, maka lebih banyak naik taksi atau pada acaraacara tertentu ikut di atas bus carteran yang dipesan khusus oleh panitia. Ah, seandainya saya kekota ini sendirian, tentu lebih suka berjalanjalan keliling sesuka hati. Membiarkan tersesat di rimba loronglorong dan jalanjalannya yang beraroma Jawa, beristirahat di masjid terdekat serta mengambil gambar dengan leluasa. Makanya, begitu turun di dedepan mall dengan suka cita, saya langkahkan kaki sepanjang koridor Malioboro.

Oh, ternyata ini jalan terkenal itu. Membentang lurus dari stasiun Tugu melewati beratusratus kios dan lapak, penuh sesak oleh deretan motor dan becak, lalulintas yang merayap khas pusatpusat perbelanjaan, penjual makanan, restoranrestoran kecil, barang cinderamata, kerajinan perak. Semua ada di Malioboro. Tapi suasana yang kudapat ternyata tak jauh berbeda dari saat berjalanjalan di Glodok atau Mangga Dua. Yah pasar di manamana selalu sama. Kecuali saat masuk Beringharjo yang lumayan bersih untuk ukuran pasar tradisional, atau pusat sejarah di Benteng vredeburg yang tepat berseberangan dengan istana negara itu. Malioboro berakhir di sebuah perempatan besar yang memisahkan jantung perekonomian dengan pusat kekuasaan.



Setelah sarapan soto di sebuah rumah makan, kami berpencar mencari kegiatan masingmasing. Karena tidak memiliki pengalaman belanja pakaian di pasar macam ini, akhirnya malah mengikuti jejak kawan perempuan saya. Maaf, saya hampir tidak tertarik sama sekali membeli barangbarang yang dijual di Beringharjo. Terlalu eksotis mungkin. Atau memang karena tujuan saya di sana hanya jalanjalan, bukan belanja. Ada sih pesanan daster dari ibu saya, tapi sungguh, belum pernah sekalipun berbelanja pakaian wanita. Makanya saya meminta tolong mereka berdua sebagai pemandu. Payahnya, mereka tidak bisa jadi pemandu yang baik. Ya sudah, daripada pusing menentukan pilihan, lebih baik melanjutkan perjalan saja menuju keraton.

Udara panas, terik sekali. Beberapa tukang becak menawarkan jasa berkeliling dengan harga yang sangat murah. Karena tidak terbiasa, dan dalam banyak hal saya termasuk orang yang sangat anti becak, jadilah kembali menelusuri emperan pertokoan. Melewati taman rindang, mataku tertuju kepada bangunan yang saling berhadapan dengan tepat. Sebuah benteng di sebelah kiri dan sebuah istana berarsitektur kolonial di kanan. Dari literatur, mungkin dahulu merupakan istana negara. Adapun benteng di sebelah kiri yang kini menjadi museum adalah benteng Vredeburg. Bekas peninggalan VOC dan merupakan salah satu hasil dari perjanjian Giyanti 13 Pebruari 1755.

Bayangkan, sejak pertengahan abad 16, moncong senapan Belanda sudah berada di jantung kekuasaan orangorang Jawa. Kalau saya tidak salah, seabad sebelum perjanjian tersebut, yang membelah Mataram menjadi dua, muncul seorang raja Jawa yang besar. Namanya Sultan Agung. Ia memang haus kekuasaan, berusaha menganeksasi Banten dan menjadi satusatunya raja yang berdaulat. Tapi sejarah bangsa kita mengingatnya sebagai penguasa lokal yang berani menyerbu Batavia dengan korban ribuan tentara di pihaknya. Saya ingat deskripsi Vlekke dalam Nusantara yang menggambarkan kekalahan tersebut akibat disentri dan putusnya jalur perbekalan beras di daerah Cirebon hasil kerjasama VOC dan sejumlah penguasa lokal yang anti Mataram. Akibat kekalahan tersebut, sang sultan kemudian menghabisi hampir delapan ratus orang anak buahnya yang setia.

Setelah terpecah menjadi dua kubu, Mataram yang lemah tak ubahnya seperti kerajaan boneka. Dua ratus tahun setelah perjanjian ditandatangani, muncullah pemimpin baru, Pangeran Diponegoro, yang mengobarkan perang Jawa. Dalam catatan sejarah, inilah perang yang paling menguras perbendaharaan Belanda. Pertama, karena percobaan sistem liberal pada tanah pertanian Jawa gagal. Akibatnya, terjadi penurunan ekspor ke Amsterdarm. Di Jawa sendiri, kegagalan sistem ini jauh lebih parah, karena menyebabkan peristiwa kelaparan yang membunuh ribuan orang. Selain itu, kekalahan Belanda dalam perang dengan Napoleon juga membutuhkan dana yang banyak dan pemerintahan Hindia Belanda diambang kebangkrutan. Karena situasi ini, mereka hampir enggan berperang dengan sang pangeran. Tapi setelah terdesak keadaan, barulah mereka mengumumkan perang terbuka. Kirakira sekitar dua ribu serdadu kulit putih yang tewas. Adapun angka sedadu kulit berwarna yang bekerja di pihak Belanda yang tewas jauh lebih banyak. Diponegoro sendiri berhasil ditangkap berkat bantuan serdadu Ambon, kapten Jongker.

Patut diingat, bahwa tentara Hindia Belanda sebagian besar justru terdiri atas penduduk lokal dan asing, macam orangorang Maluku, Manado, Madura dan bahkan juga India dan Jawa. Alasannya sederhana, dana yang dibutuhkan untuk menggaji prajurit kulit putih jauh lebih mahal. Saya kemudian jadi teringat diskusi dengan bos saya yang mengatakan bahwa pada saat perang Aceh, di awal abad 20, kebanyakan prajurit Hindia Belanda adalah orang Jawa. Mungkin atas dasar tersebut, ia mengambil kesimpulan bahwa itulah alasan terjadinya permusuhan rasial di sana. Saya tidak sepenuhnya setuju, karena memang banyak etnis yang tergabung dalam ekspedisi tersebut. Dan memang, entah sebelum VOC datang, negara-suku-kerajaan di tanah air saling bersaing satu sama lain. Ambil contoh, antara kepulauan Maluku bagian utara dengan selatan, atau antara raja raja Minangkabau dengan Batak, dsb.

Tentu saja, kehadiran Belanda tidak serta merta merubah peta perebutan kekuasaan menjadi Belanda vis a vis pribumi. Tapi bisa menjadi permusuhan segitiga di mana antara satu pihak dengan pihak lainnya saling berperang dan bisa juga saling membantu. Pada Mataram, keinginan menaklukkan kotakota pesisir, membuat mereka bekerjasama dengan Belanda untuk memerangi Surabaya. Pada Jongker, setelah menjadi penakluk sejumlah pemberontak, ia malah diasingkan. Lihat, betapa historiografi negara kita yang begitu rumit itu. Dan proses penjelmaan common enemy tak lain dari sebuah proses dialektis panjang hingga hanya ada satu pemenang dalam perebutan kekuasaan di nusantara ini, yakni Belanda.

Penasaran, saya pun masuk ke dalam Benteng Vredeburg dan melihat peninggalan yang ada. Diorama, maket, bentuk Benteng yang simetris serta jajaran lampu taman yang menggoda. Dan karena ini perjalanan bersama, jadinya juga fotofoto individu yang terambil. Jadi wajar kalau yang masuk sejumlah muka narsis he. Oh ya, Vredeburg itu artinya benteng perdamaian. Kirakira apa ya kaitan antara kata perdamaian dengan terpecahnya negara Mataram itu.

4 komentar untuk "At Midst of Java (1)"

  1. akhirnya another story of Jogja published..
    Best part malioboro menurut saya memang di bringharjo, dengan catatan bukan pada musim liburan dan bukan pada hari libur, karena di sua situasi tersebut..bernafas saja bakal sulit.. he he
    Beli segelas awet, baru duduk, dah ada pengamen yang datang, baru seteguk, sudah datang yang minta-minta...
    Beli nasi pecel ato bakmi jawa yang dijual dengan pincuk, yang harga seporsinya lebih mahal daripada harga makan siang di deket kosan...
    dengan protes sebanyak itu..masih aja sering-sering kesana...

    BalasHapus
  2. Jogja, mmmmmm saya pernah ke sana, sekali untuk tujuan rekreasi dan beberapa kali untuk tujuan shopping komputer dan buku.
    Menyusuri Malioboro, "sowan" ke Nyi Roro Kidul di Parang Tritis dan studi sejarah di Borobudur. Sayangnya saya tidak sempat mampir di benteng Vredeburg dan keraton Ngayogjokarto.

    Cerita kamu tentang Jogja membuatku ingin mengunjunginya lagi. Someday lah, dari Kediri khan deket. :)

    BalasHapus
  3. @ Hesty, He.. itu namanya pedaspedas sambal. Meskipun pedas tapi tetap doyan. Dan sepertinya memang Malioboro itu memiliki daya tarik tersendiri. Jadi tak heran banyak orang yang sanang pergi ke sana.

    @ Hendri, sepertinya juga banyak kawan tinggal di sana. Kamu pasti ga bakal kehabisan stok guide deh, kalau berminat. Tentang shopping buku, saya rasa jogja tempat yang tepat. Kalau komputer, ke MD saja deh. :D

    BalasHapus
  4. Waktu ke Yogya kemarin ngga sempat ke Vredeburg. Bukan karena kurang waktu tapi lebih karena teman seperjalanan yang rewel hehehe.
    But fotonya keren wuy, sepia memang cocok utk museum ya

    EM

    BalasHapus