Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al-Quran dan Perempuan Pertama (1)

Terkadang, media jejaring sosial macam Facebook, dapat digunakan sebagai wadah diskusi on line yang sangat menarik. Saya sudah beberapa kali bereksperimentasi, baik di wall saya sendiri maupun wall orang lain, berkenaan dengan hal tersebut. Dan hasilnya, entah pahit ataupun manis, memberikan kesan yang dalam daripada sekedar “pamer” kondisi belaka. Kali ini, saya akan memaparkan transkrip diskusi yang kebetulan terjadi di wall saya berkaitan dengan “mitologi” mengenai asal muasal wanita pertama, atau biasa dipanggil dengan Hawwa dalam tradisi Islam. Diskusi ini diikuti sekitar delapan orang, tiga hanya memberikan pernyataan suka dengan status yang saya buat, dengan demikian kedudukan mereka hanya sebagai pemirsa saja, sedangkan tiga orang lainnya, meski ikut memberikan komentar, namun tidak aktif dalam diskusi. Adapun dua tokoh utama dalam diskusi tersebut adalah saya sendiri dan seorang sarjana muslim berbakat lulusan universitas Al-Azhar, Kairo. Agar lebih fokus kepada jalannya diskusi, maka saya hanya akan menampilkan inisial nama-nama pemberi komentar saja. Berikut transkrip yang ada.

Semuanya berawal dari pernyataan provokatif di status saya. Di sana saya menulis bahwa, “Perasaan tidak ada ayat Al-Quran yg menyatakan perempuan berasal dari rusuk laki2. Satu2nya referensi tentang hal ini berasal dari Perjanjian Lama, Genesis 2:21.”

Rupanya, pernyataan tersebut mengundang beberapa teman saya untuk memberi komentar. Orang pertama yang langsung menyanggah pernyataan tersebut adalah MM yang menjadi eksponen utama dalam perdebatan dengan saya sepanjang tema ini. Menurut MM, pendapat bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki memang tidak ada dalam Al-Quran, melainkan di hadits. Ia pun mengutip sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim:

استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع أعوج وإن أعوج ما في الضلع أعلاه

Hadits tersebut, jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kira-kira berbunyi, “Berbicaralah kepada perempuan dengan baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Maka jika dibengkokkan lagi tulang rusuk tersebut, maka ia akan patah.” diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.


Metodologi dan Cara Pandang
Menanggapi hadits ini, saya pun menjawab bahwa:  “saya ragu dengan keaslian hadits itu. Pertama, karena kebenarannya tidak dapat di tashdiq dgn worldview Al-Quran. Padahal ucapan Nabi selalu berkolerasi dgn ayat Al-Quran. Kedua, karena pemikiran ini telah tersebar luas dan menjadi kepercayaan umum di Levant, syam, Syiria, Palestina, yg telah menjadi pusat Yahudi dan Kristen pra-Islam. Ketiga, kalaupun hadits itu benar dari Nabi, maka ia tidak memiliki konsekuensi teologis apa2. Itu hanya pemikiran beliau semata yg tidak ada hubungannya dengan wahyu.”

MM pun mengemukakan pendapatnya soal tanggapan saya tersebut, sambil berusaha mempertahankan keaslian hadits tadi. Ia menulis

  1.  “Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Di kalangan muslim Sunni, sebuah hadits dianggap sangat sahih kalau diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

  1. 2.      bahwa muatan hadits ini sudah dikenal dalam tradisi agama-agama sebelumnya, itu tidak ada hubungannya dengan ke-sahihan, validitas,  hadits. Islam kan tidak menghapuskan segala hal dari agama2 terdahulu, tapi mengambil sebagian, meluruskan sebagian yang lain, dan mendatangkan hal-hal baru yang belum pernah ada.

  1. 3.      Bagi saya hadis ini adalah sebuah kiasan yang sangat indah. Kalau dipahami dengan cara yang baik, ia akan melahirkan sikap yang sangat baik pula terhadap kaum perempuan. Tapi memang teks agama itu seperti pisau tajam; bisa untuk membunuh orang lain atau membunuh diri sendiri, bisa untuk mengerjakan hal-hal baik, dan bisa juga disimpan di lemari kalau tidak dibutuhkan.”
Atas tanggapan tersebut, saya kemudian menyampaikan kritik terhadap metodologi periwayatan sebuah hadits . “Kadang nama besar bisa menyesatkan. Salah satu kelemahan sistem isnad, ia hanya bergantung kepada kredibilitas sang periwayat. Padahal yg hendak dibuktikan adalah kebenaran sebuah perkataan, bukan pribadi seseorang. Ambil contoh, A si pembohong, suatu ketika melihat pasukan musuh hendak datang menyerbu. A pun mengabarkan penglihatannya kepada masyarakat kota. Tapi karena ia telah dikenal sebagai pembohong, maka tidak ada yg mempercayainya. Sejam kemudian, pasukan musuh datang dan menghancurkan kota tersebut. Hanya A dan orang2 yg percaya padanya yg selamat, karena 30 menit sebelumnya telah lari keluar kota menyelamatkan diri. Analogi A ini bisa juga dibalik, dengan kasus seorang yg baik dan jujur, tapi salah dalam memberikan sebuah penilaian.

Jadi, bagaimana memverifikasi soal ini? Jawaban yg pas, mestinya kembali kepada analisis teks Al-Quran. Apa posisi sebuah riwayat dimata Al-Quran? Apakah ia berfungsi sebagai penjelas, tafsir, atau implikasi logis dari ayat2 yg berkaitan. Jika posisinya jelas, maka dapat dibilang bahwa ia sesuai dgn worldview Al-Quran. Tapi jika tidak, maka antara bertentangan dgnnya, atau tidak berhubungan sama sekali.

Mengenai hadits tadi, adakah hadits lain, atau ayat Al-Quran yg mendukung klaim dan konsekuensi logis yg mungkin ada?”

Sepertinya MM berniat menjawab tantangan saya berkenaan dengan ayat Al-Quran yang menyokong kebenaran hadits tersebut. Ia pun menjawab dengan humor ringan bahwa pendapat saya ini dapat menyebabkan saya dituduh sebagai anti hadits. Dan ia menerangkan bahwa, “Dalam Al-Quran ada ayat membolehkan poligami (4:3) dan ayat yang memberi perempuan setengah warisan laki-laki (4:11). Ada juga ayat2 perbudakan yang mengizinkan laki2 untuk menyetubuhi budak2 perempuannya, berapa pun banyaknya. Menurut sampean ayat2 ini bertentangan dengan worldview Al-Quran ga? Kalo ya, berarti kita juga perlu meragukan kebenarannya karena bertentangan dengan worldviewnya sendiri.

Kalo menurut saya, teks-teks ini muncul karena kondisi sosio-kultural saat itu mengizinkan atau bahkan mengharuskannya untuk muncul. Jadi kita tidak bisa membenturkannya dengan worldview Al-Quran untuk menverifikasi kebenarannya. Biarlah verifikasi teks tetap menggunakan metode yang sudah ada. Tinggal bagaimana kita memahami muatan teks2 tersebut; pertama, sesuai dengan sosio-kultural saat itu, dan kedua, sesuai dengan kondisi kekinian kita.

Di mata saya, hadis di atas tak lebih berisi anjuran kepada kaum laki2 agar memperlakukan perempuan dengan baik dan lembut. Ibarat memperlakukan tulang yang bengkok. Kita harus meluruskannya, tapi tidak boleh mematahkannya. Serba salah memang, tapi itulah tantangan laki2. Kalau kita meluruskannya dengan cara paksa, maka ia akan patah. Tapi kalo kita biarkan saja, maka ia akan tetap bengkok. Begitu disebutkan dalam kelanjutan hadis ini.

Bagi yang sudah menikah dan memiliki istri yang cengeng, rewel, ingin ini itu, gampang cemburuan, suka ngiri sama tetangga, dll. tentu tidaklah sulit memahami hadis ini.”

Di tengah perdebatan, sesosok Kelinci masuk meramaikan suasana. Ia berkata, “Gua juga pernah baca hadits itu. Dan sempat heran kalau Bukhari-Muslim yg ngriwayatin. Solusi teologis MM bisa diterima. Analisis teks Al-Quran untuk mengkonfirmasi kebenaran hadits amat spekulatif. Metode isnad –metode penyampaian sebuah teks hadits, memperkecil ruang penyelewengan. Tidak heran hadits yg sampai ke generasi kita amat sedikit. Ilmu hadis adalah cabang ilmu yang paling mapan meski masih mungkin dilakukan kritik hadist terhadap generasi paska Bukhari cs. Contohnya, tante gua nulis disertasi bahwa banyak masalah dalam metode Al-Albani. Nah, konskuensi teologisnya terhadap mazhab Wahabi amat besar”.

Berkenaan dengan hal ini, saya pun menjawab, “Apa hubungan antara tulang rusuk dgn poligami dan hukum waris? Yg satu bicara tentang etika, sedang lainnya tentang ontologi, yakni bagaimana perempuan pertama ada. Bahkan kalaupun sifat perempuan seperti tulang rusuk, bukan berarti ia memang berasal dari tulang rusuk bukan.

Tentang kebenaran klaim hadits ini, saya kira tidak jauh beda dgn kata2 mutiara. Coba, apakah nilai kebenaran hadits tadi sama atau lebih tinggi dari adagium man jadda wajada, atau man shabara zhafira. Kita mencari pembenaran dari teks, dan mendeduksi kebenaran darinya.

Anti hadits? Enggaklah. Memangnya Al-Quran mengajarkan cara shalat. Ini semua, tentang bagaimana kita memahami sebuah naskah keagamaan. Lagi yg benar2 dipelihara Tuhan dari kesalahan cuma Al-Quran, bukan yg lain.”

“Kelinci, makanya saya memberi sebuah clue dgn ayat Perjanjian Lama di atas. Jadi, kalaupun hadits tadi benar, maka ia hanya mengkonfirmasi kebenaran Perjanjian Lama, tapi kebenarannya tidak dikonfirmasi sama sekali oleh Al-Quran.

Analisis logis tidak spekulatif. Kecuali memang ada pembuktian yg benar2 valid. Coba bandingkan dengan definisi halal, haram, sunnah, mandub dalam ushul fiqh, yg jauh lebih sulit untuk dirumuskan.”


Analisis Teks
Pendapat saya kembali mengundang perdebatan yang lebih seru. Kali ini, diskusi mulai mengarah kepada analisis teks hadits yang bersangkutan. Sementara MM menerima kebenaran hadits tersebut sambil menafsirkannya sebagai alegori, maka saya mamandangnya dalam kacamata literal yang tentunya tidak memiliki kaitan dengan satupun ayat Al-Quran. Maka MM pun membuka pembicaraan dengan pernyataan bahwa, “Hadits ini jg soal etika, mas. Ga ada hubungannya dg ontologi. Ga ada hubungannya dengan asal usul perempuan. Ini hanya kiasan, majaz. Majaz adalah sesuatu yang biasa dalam teks-teks agama. Cuma memang penganut agama sering salah memahaminya dan terjebak dlm makna tekstualnya.”

Agar mendapat perbandingan yang pas, dengan denotasi dari hadits tadi, maka saya pun memaparkan kutipan dari Perjanjian Lama yang memiliki makna yang serupa dengan hadits tadi. “Makna tekstual, maksudnya makna lahiriah? Bukankah itu sudah ada dalam Perjanjian Lama. "Maka didatangkan Tuhan atas Adam itu tidur yg lelap, lalu ia tertidur. Maka diambil Tuhan sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkan-Nya pula tempat itu dgn daging. Maka dari pada tulang yg telah dikeluarkan-Nya dari Adam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan, lalu dibawa-Nya akan dia kepada Adam."

Ayat di atas, jelas proposisi ontologis. Sekarang bandingkan dgn hadits tadi yg merupakan proposisi etis. Jika kita bertanya, alasan sebuah tindakan etis, maka jawabnya adalah proposisi ontologis. Kalau kita menganggap yg ontologis itu perumpamaan, maka alasan apa yg digunakan untuk membenarkan sebuah tindakan etis? Bukankah itu jauh spekulatif? Tidak ada yg dibuktikan oleh hadits tadi, kecuali proposisi ontologis Perjanjian Lama. Dengan kata lain, ia tidak berbicara mengenai perempuan dalam konteks Al-Quran, tapi menggunakan kacamata Genesis.”
Menanggapi jawaban saya, MM menggerutu. “Dalam kaca mata filsafat, perkara yg mudah kok jadi ruwet gini ya, hehe...

Bagi saya, inti hadis ini ada pada kalimat pertamanya, "Perlakukanlah perempuan dg baik." Kalimat ini diulang lg diakhir hadis setelah Nabi mengkiyaskan perempuan dg tulang rusuk yg bengkok itu. Jadi kenapa kita mmperdebatkan tulang rusuknya, kayak Bani Isaril aja, hehe...”

Saya kemudian mencoba menjelaskan kerumitan makna ini dengan analisis semiotik ala Barthes. “Hahaha... Kenapa tidak mengiaskan dgn ranting pohon, busur panah, atau tongkat toya? Coba klausul kedua diganti: perlakukan perempuan dgn baik, karena mereka seperti busur panah/ ranting/ tongkat, kira2 proposisi itu bermakna ataukah tidak? Ia bermakna karena mengingatkan kita dgn mitos yg semestinya tidak ada. Kalau dalam semiotik dinamakan, penjangkaran, anchoring. Masalahnya, jangkar dalam hadits tadi salah tempat dan itu baru dapat disadari lewat sejumlah analisis yg rumit. :)”

Dan MM menyambung dengan pandangan tentang posisi Perjanjian Lama dalam kacamata Al-Quran. “Sy kira anchornya ga salah tempat, mas. Coz, mitos itu dikenal oleh Nabi & para sahabatnya, meski mereka ga pernah baca Genesis atau kitab lainnya. Generasi pertama Islam mengenal yg namanya Israiliyat, yaitu kisah-kisah yg bersumber dari Bani Israil yg dituturkan secara verbal. Oleh Islam, Israiliyat ini sebagian ditolak dan dianggap telah diselewengkan–di-tahrif. Contohnya, kisah Isa anak Tuhan, penyaliban Isa, dll. Sebagian lagi diafirmasi & diadopsi dalam Al-Quran & Al-Hadits. Ingat, dua per tiga Al-Quran berisi kisah2 yg semua ada dalam Bible. Dan sebagian yang lain lagi didiamkan, tidak disalahkan dan tidak juga dibenarkan.

Jadi mitos tulang rusuk itu dikenal. Hanya saja, yang diafirmasi Al-Quran adalah bahwa Hawwa diciptakan dari sebagian dari (tubuh) Adam. Terserah mo dipahami secara hakiki atau majazi. Bagi saya semua majazi, krn Tuhan gak perlu bahan untuk menciptakan makhluk-Nya, hehe...”

Al-Quran dan Judaica
Komentar MM membuat saya teringat dengan penelitian saya terhadap kisah para Nabi dalam tradisi Islam dan Judeo-Kristen. Di sini, saya menyampaikan sejumlah case study berkenaan dengan perbedaan sudut pandang antara Islam dan tradisi Judeo-Kristen soal karakter para nabi dan rasul. “Cerita Biblikal memang menempati posisi yg besar dalam Al-Quran, tapi bukan berarti kandungannya sama atau serupa. Bible misalnya berbicara tentang Nuh dan Luth, tapi karakter 2 tokoh tersebut dalam Al-Quran dan Bible, saling bertolak belakang. Quran tidak pernah menyebut nama2 perempuan, kecuali Maryam. Pada kasus penyembelihan, Quran juga tidak menyebut siapa nama anak Ibrahim yg dikorbankan, tanya kenapa? Dua kitab ini sama2 berbicara tentang beberapa kejadian, tapi dgn worldview yg benar2 berbeda, sehingga memiliki konsekuensi logis yg berbeda pula.

I wonder, bagaimana jika kisah tulang rusuk Adam itu bagian dari tahrif, apa kita harus memaknai secara majazi?

Tentang Isa, itu bukan termasuk Israiliyat.”

Dan kembali terjadi perbedaan sudut pandang soal definisi Israiliyat. Menurut MM, “Israiliyat mencakup semua kisah yg bersumber dr Bani Israil, termasuk kisah Isa karena dia bagian dari Bani Israil. Dan seperti yang saya katakan, sikap Islam (Al-Quran & Al-Hadis) terhadap Israiliyat ada tiga. (1) Membenarkan. Kadang cuma garis besarnya saja yg dibenarkan, tapi detil-detilnya dikoreksi karena sudah dirubah oleh Bani Israil. (2) Menolak, kadang secara keseluruhan & kadang detil-detilnya saja. (3) Mendiamkan, tidak menerima & tidak menolak.

Menurut saya, mitos tulang rusuk itu termasuk yg dibenarkan secara garis besar, bukan cuma dlm hadis di atas tapi juga dalam Al-Quran, Q. 4:1. Sementara detil-detilnya seperti yg ada dalam Bible tidak dikomentari. Kenapa? Karena tidak dibutuhkan. Al-Quran menggunakan mitos sebagai alat untuk menyampaikan pesan, bkn semata-semata untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan mitos tsb.

Jadi, tidak ada yang mengherankan bahwa Nabi mengiyaskan perempuan dengan tulang rusuk. Dan hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan worldview Al-Quran. Setidaknya itu menurut saya.

It was very nice talking 2 u :) Hope meet u again sometime. Best regard 4 Kelinci Alice yg entah udah lari kemana, hehe...”

Dan diskusi bagian pertama pun saya tutup, “Yeah, nice too. Even if I have different point of view on both matters.

Posting Komentar untuk "Al-Quran dan Perempuan Pertama (1)"