Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Apa Setelah Dunia Terlipat?

Dari awal kuliah filsafat, saya sudah punya nih buku. Saya mencoba mencernanya, tapi tidak bisa. Kurasa yang membuat orang bingung, bukanlah pemaparannya, tapi kesatuan buku itu sendiri yang tidak tercermin di dalamnya. Dan memang, Dunia yang Dilipat, merupakan kumpulan artikel dari si pengarang, bukannya buku utuh. Akhirnya saya mencoba membaca sebagai artikel lepas yang tidak terkait antara satu bab dengan bab lainnya, dan ternyata berhasil. Pemaparan Piliang memang bagus, ia berusaha menggambarkan realitas kontemporer dari sudut pandang post-modernisme, berikut komponennya semacam Kristeva, Baudrillard dan Barthez. Tapi, penjelasannya mengenai realitas yang membumi, seperti berulang-ulang. Saya sendiri, setiap kali mencoba beranjak dari satu bab ke bab lainnya serasa mengalami de'ja vu. Bertemu dengan sejumlah realitas yang ditafsirkan secara berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Barangkali, ini sebuah metode jitu bagaimana menggambarkan realitas masa kini yang mirip dengan simptom schizofrenia, sejenis kegilaan mengakut yang membuat kita merasa menyukai sesuatu yang tidak memiliki dasar kepentingan apapun dalam diri kita, selain kesenangan. Dan saya rasa, saya senang pada buku tersebut.

Kini setelah delapan tahun, saya kembali membaca. Kutemui kembali kecemerlangan gaya sang pengarang. Tapi saat ia menyebutkan disket, mikroprosesor, kulihat ia semakin menua dan lapuk. Ternyata, kecepatan realitas mempresentasikan dirinya tidak dapat ditandingi oleh proyeksi-proyeksi dan konstruk-konstruk yang ada dalam buku tersebut. Dunia semakin tidak terpahami, termasuk orang-orang yang ada di dalama dunia maya semacam milis, forum diskusi dan jejaring sosial yang semakin tenggelam dalam realitas semu. Dan semua semakin berbaur hingga terasa sulit membedakan antara yang nyata dan tidak nyata. Seandainya, sumber penghasilan saya berasal dari komputer juga, tentu akan lebih sulit bagi saya untuk membedakan realitas. Tapi apa yang kita lihat di luar kehidupan jejaring ini pun tidak lantas berbeda. Kekerasan dalam bentuk verbal di posting milis, selalu identik dengan kekerasan dalam bentuk fisik di jalanan. Semuanya satu, yang ada dalam pikiran kita. Itulah yang akan menjelaskan tindakan yang kita buat.

Kupikir, setelah Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dan kaum posmo mengumumkan kematian pengarang, ragam tindakan manusia secara sistematis telah dikuasai jejak-jejak pemikiran mereka sendiri. Cara kita bertindak nyaris mengikuti isu. Dari sebuah isu yang dilontarkan, bentuk-bentuk tanggapan yang ada akan selalu sama, menyerupai bentuk ideologi yang kita anut. Yang lain barangkali hanya ekspresi saja, dan itu memang variatif. Dari tahap-tahap kesadaran saya mulai dari monotheis, theis, atheis, dan kembali lagi ke monotheis, memberikan pengalaman yang berbeda-beda dalam melihat Dunia yang Dilipat. Seandainya Piliang menggunakan variable, mungkin saya akan lebih menghargai, tapi itu justru membuat buku ini menyerupai buku teks matematika. Dan keputusan sang penulis menggunakan penanda yang ada pada masanya, memang sebuah pilihan, meskipun itu menyeret ia kembali ke suatu titik dipenghujung abad 20, dimana industri teknologi baru mulai bertumbuh.

Hei, dunia masih berkembang. Kita tidak akan tahu apa dibalik peristiwa-peristiwa terkontemporer. Mungkin dunia sudah dilipat, tapi jelas ia semakin melebur dan rata. Rata, ya semuanya semakin rata. Rata dan dangkal. Siapkan bahtera! :P

1 komentar untuk "Ada Apa Setelah Dunia Terlipat?"

  1. Yasraf emang aduhai,
    tapi dibutuhkan basis pengetahun seperti kamu u memahaminya seutuhnya. Mirip trilogi, setelah Dunia yang dilipat, ia menulis Dunia yang Berlari dan 1 buku lagi entah apa.

    Ia bisa bicara apa saja dg pisau bedahnya yg aneh itu. Ia bahkan bicara Sistem Moneter dari sudut pandang Kosmologi. Klik disini

    Ayo, buntuti Yasraf..

    BalasHapus