Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesantren & Negeri 5 Menara

Ada banyak cara memandang pesantren. Bisa menggunakan kacamata negatif, seperti dalam buku
Sorban yang Terkoyak. Membicarakan lembaga tersebut layaknya objek penelitian ilmiah macam Tradisi Pesantren-nya Zamakhsyari Dhofier, atau melihat pondok dalam kacamata romantika remaja yang penuh vitalitas dan inspiratif seperti dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Pondok, panggilan mesra untuk pesantren, memang selalu memiliki seribu wajah. Wajah yang sama yang dimiliki lulusan-lulusannya yang tersebar ke berbagai penjuru Indonesia bahkan dunia. Wajah yang bisa membawa persepsi baik atau buruk, bagus atau jelek, atau beragam judgement lain yang membuat kita susah mengambil kata kunci dari sebuah makhluk bernama pesantren.

Saya teringat pesan dari kiyai saya ust. Syukri Zarkasyi. Jangan pernah melihat pondok dari satu kacamata saja, itu bagaikan melihat hutan tertutup oleh satu pohon saja. Kalau pohon itu baik, maka kita menamakan keseluruhan hutan itu baik tanpa peduli dengan semak dan ilalangnya yang buruk rupa. Bahkan, kalau pohon yang menutup mata kita itu buruk, kita akan berpaling dan mengecapnya sebagai benda najis yang harus dijauhi. Jangan pula melihat pondok seperti orang buta memegang gajah, ujar almarhum ust. Badri. Ada yang bilang gajah itu panjang mirip ular karena yang dipegang adalah belalainya, ada juga yang bilang binatang itu mirip pohon, keras dan kuat, karena si buta tadi memegang kaki-kakinya. Bahkan ada juga yang bilang, eh gajah kok lebar ya seperti sapi, karena dia memegang perutnya yang besar itu.

Beragam pendapat tentang pesantren di satu sisi menjelaskan betapa besar dan peliknya lembaga pendidikan ini. Ia menjadi mata air yang tiada putus menghasilkan ribuan alumni setiap tahun. Ia besar tapi tertutup, ada tapi jauh. Di satu sisi, merupakan peninggalan tertua dari sistem pendidikan asli Indonesia yang telah ada jauh sebelum Republik ini lahir. Di sisi lain, pesantren bukanlah lembaga pendidikan mainstream, ia selalu dan senantiasa menjadi alternatif bagi sistem pendidikan nasional. Sebuah minoritas ditengah mayoritas yang terkadang alpa bahwa ternyata ada institusi bernama pesantren yang tetap hidup dibalik kemegahan kapitalis yang serba materialistis ini. Ah, bagaimana kita berbicara tentang pesantren secara jujur?

Waktu pertama saya mendengar kata pesantren, barangkali sama seperti yang diungkapkan oleh Amak, sosok ibunda Alif tokoh utama dalam novel Negeri 5 Menara, saat berbicara mengenai pendidikan agama di negara ini: “tempat murid warga kelas dua, sisa-sisa...”! Sisa mereka yang tidak mampu meneruskan pendidikan menengahnya di sekolah umum, baik karena tidak memiliki uang cukup atau karena nilai ujiannya kurang sehingga tidak dapat diterima masuk. Bahkan, yang paling miris, pesantren kerap dijadikan tempat pembuangan bagi pribadi-pribadi gagal. Entah karena salah asuh atau memang tidak memiliki 'bahan mentah' yang cukup untuk diolah lebih lanjut.

Bayangan ini menghantui saya ketika tiba di pintu gerbang pesantren. Tempat yang sangat terpencil dengan bangunan semi permanen, kamar mandi setengah terbuka dan WC umum yang bau. Tidak ada yang menarik dari asrama dan dapur yang menyajikan makanan ala kadarnya, termasuk nasi yang terkadang baru masak setengah matang, serta air minum dengan kadar besi yang lumayan tinggi. Hari-hari pertama selepas kepergian ayah yang mengantar saya ke pondok benar-benar tidak nyaman. Tapi itu tidak berlangsung lama.

Tiba-tiba semua dipenuhi berbagai macam kegiatan yang memaksa saya untuk tidak berdiam diri. Mulai dari pekerjaan rumah dari guru di kelas yang menumpuk, ditambah jadwal acara yang ketat dan tumpukan cucian yang menggunung, rasanya seperti tidak ada tempat untuk berkeluh kesah akan serba kekurangan itu. Saya bahkan tidak merasa kalau berat badan saya bisa berkurang hingga 30% dalam waktu yang begitu singkat. Suatu hal yang mustahil saya capai apabila saya di rumah. Dan hari-hari yang berlalu begitu saja seperti tidak terasa. Tahu-tahu, saya sudah menyantri lebih dari 3 tahun, tahu-tahu saya hampir lulus setahun lagi, dan tahu-tahu sudah lebih dari satu dasawarsa saya tinggalkan pondok tercinta.

Bagi sebagian orang, rekaman perjalanan itu bisa dinikmati kembali saat membaca dinamika para tokoh dalam Negeri 5 Menara. Baso yang cerdas tapi sering lupa memakai papan nama, kisah Alif yang merindukan Sarah, Raja yg gemar menenteng Oxford Advance's Learner Dictionary kemanapun ia pergi, Said si tukang tidur, Atang si jago teater dan Dulmajid. Berbagai pengalaman mulai masuk mahkamah, menjadi mata-mata, hingga kesibukan ekstra kurikuler seakan membawa kembali bayangan masa silam itu. Tapi pesantren, tentu saja tidak bisa didefinisikan begitu saja dengan kegiatan-kegiatan ini dan itu. Akan selalu ada subyektivitas dalam memandangnya, sama seperti pamflet besar yang siap menyapa setiap orang yang hendak mencicipi rasa pondok. “Ke Pondok, Apa yang Kau Cari?”.

Kadang di jam-jam lenggang saat memasuki masa-masa ujian, saya sering berjalan sendiri menyusuri kompleks bangunan yang berdiri tegak menjulang. Membelah jalanan berdebu di siang hari yang panas, memandang sekilas ke masa depan sambil bertanya-tanya, akan jadi apa saya saat dewasa nanti? Sebuah pertanyaan yang dengan jujur saya katakan belum bisa terjawab tuntas hingga saat ini. Bahkan ketika dengan bangga menerima beberapa lembar ijazah, tertulis di atasnya Pondok Modern Darussalam Gontor, saya malah bertanya. Untuk apa ijazah ini? Mungkin bisa digunakan untuk meneruskan ke pendidikan tinggi. Kau bisa seperti Alif yang mengambil persamaan SMA kemudian mengambil bidang studi di luar ilmu-ilmu keagamaan atau melanjutkan pendalaman ilmu-ilmu agama di perguruan-perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

Lalu? Mungkin kau akan menjadi dosen atau paling tidak mampu membawakan pengajian di Masjid. Berceramah, menjadi imam shalat, atau mengikuti jejak pendahulu-pendahulumu yang kemudian mendirikan pesantren dan madrasah. Dan setelah menikah dan membina keluarga, kau akan menjalani hal tersebut dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, hampir tidak ada perubahan. Yah, barangkali ada. Seperti bangunan rumahmu yang kini jauh lebih indah dan megah. Anak-anak yang beranjak dewasa dan datang kembali membawa cucu-cucu bagimu. Madrasah yang kau dirikan, pesantren yang kemudian kau bina, selanjutnya akan tetap sama seperti saat kau pertama kali memasukinya. Warga negara kelas dua, sisa-sisa, murid yang memiliki kemampuan terbatas, output-output dari para brokenhomer? Dan hukum alam akan selalu berkicau dengan nyaring, menarik mereka yang bertalenta spesial ke haribaan dunia gemerlap nun jauh di luar sana.

Coba katakan, apakah ada bedanya mereka yang setelah keluar dari pondok terjun ke dunia sekuler dan aktif dalam kehidupan orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui pondok dengan mereka yang tetap setia dengan profesi tradisional khas lulusan pesantren pada umumnya? Akankah saringan itu terjadi lagi, mereka-mereka yang bertalenta lebih kembali keluar dari galanggang agama meninggalkan mereka yang diperdaya oleh sistem sebagai penjaga gawang penerus tradisi. Apakah realitas ini mampu menjawab kegelisahan hati Amak? Maka, mimbar-mimbar masjid kembali diisi penceramah-penceramah yang bisanya hanya mengobral lelucon atau menjadi sangat kapitalis dengan tarif khutbah ala profesional. Hei, bukankah itu selera pasar!

Barangkali, salah satu watak pesantren yang tidak akan pernah pudar ditelan zaman adalah sifat dari tanah perdikan. Sifat yang dulu pernah ia tunjukkan kepada para penjajah, sifat serupa yang mereka tawarkan pada saat terjadi peminggiran sistematis terhadap ruang lingkup agama. Sebuah kesadaran akan diri sebagai warga negara kelas dua yang termarjinalkan. Mungkin karena kesadaran inilah seringkali pondok disalahmengertikan sebagai sarang teroris. Padahal bukan, pondok tidak pernah menjadi sarang teroris. Ia selalu dan akan selalu menjadi sarang orang-orang kritis yang sadar bahwa ada yang salah dalam masyarakat kita. Orang-orang yang selalu berteriak bahwa ada ketidakadilan di sana, pada saat mereka yang senasib tidak mampu berkata tidak pada ketimpangan ini.

Dan Negeri 5 Menara, saya takut ia berubah menjadi menara-menara gading yang tinggi menjulang meninggalkan gugusan gubuk-gubuk liar di kakinya. Sama seperti anak-anak Yohannes Surya yang mengharumkan nama bangsa dengan perolehan mereka di ajang olimpiade matematika dan sains yang menutupi kebobrokan pendidikan di tanah air ini. Ah, mimpi memang selalu menjadikan dunia ini terpisah jauh dan terbelah. Tapi pada mimpi juga kita bisa melihat torehan gagasan yang cemerlang, yang lambat laun menjadi panutan bagi generasi berikutnya. Maka berterimakasihlah kepada Tuhan yang telah menciptakan orang-orang pesantren. Orang-orang yang dengan ikhlasnya mampu berdiri tegar sebagai keset dari pembangunan, yang mampu menyulap sisa-sisanya menjadi butiran-butiran halus yang mengisi sendi-sendi bangsa agar bisa bergerak seimbang. Sebuah katalis. Sebuah pondok. Sebuah...

Man jadda wajada!!!

Posting Komentar untuk "Pesantren & Negeri 5 Menara"