Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cukupkah Menjadi Cerdas Saat Membeli?


Beberapa waktu yang lalu, saya dan istri pergi berbelanja ke sebuah pusat perniagaan. Targetnya, sebuah mesin cuci front loader dengan harga yang masih masuk akal bagi pasangan muda yang baru menikah. Kami pun meneliti satu persatu mesin cuci yang terpampang di display, mulai dari kapasitas, fitur, konsumsi daya, hingga yang terpenting soal harga. Pilihan pun jatuh pada sebuah merek asal Negeri Ginseng yang menurut kami layak untuk dimiliki karena produk yang mereka hasilkan itu memiliki fitur teknologi tercanggih yang tidak dimiliki oleh produk pesaing.

Sejujurnya, keputusan untuk membeli sebuah mesin cuci jauh lebih susah ketimbang membeli telepon genggam. Dibandingkan produk teknologi informatika macam PC dan telepon genggam, produk home appliance seperti televisi, kulkas, dan mesin cuci, adalah sebuah ranah antah berantah yang keberadaannya sangat tergantung pada memori jangka panjang kita akan merek dan segala mitos yang berada di sekelilingnya. Sebut saja merek S yang masyhur dengan kehandalan produk-produk televisinya di era 80-an, sehingga ketika kita berfikir tentang televisi, nama yang pertama kali muncul di benak kita adalah merek tersebut, tanpa peduli bahwa dunia pertelevisian telah mengalami evolusi teknologi yang panjang, mulai dari CRT, LCD, LED, hingga plasma.

Selain itu, beragamnya variasi produk yang dikeluarkan para oleh para produsen home appliance, berbanding terbalik dengan minimnya informasi yang diserap masyarakat. Kita misalnya, bisa dengan mudahnya menemukan perbandingan ponsel low end dengan harga dibawah 1,5 juta ketimbang perbandingan mesin cuci top loader dengan harga yang hampir sama. Keterbatasan inilah yang memaksa kita para konsumen untuk menilai produk-produk home appliance hanya berdasarkan fitur semata, yang seringkali bersembunyi dibelakang istilah-istilah teknis yang tidak memiliki relevansi apa-apa dengan kebutuhan kita.

Contoh yang paling nyata adalah pemaparan yang diberikan oleh seorang pramuniaga di toko pertama yang kami kunjungi, yang dengan bersemangat menjelaskan bahwa mesin cuci yang ada di display-nya sudah menggunakan teknologi direct drive, dengan motor yang langsung menempel pada tabung cuci. Menurutnya, mesin cuci dengan teknologi ini memiliki keunggulan dibandingkan mesin cuci dengan motor terpisah yg masih menggunakan pulley untuk mendistribusikan gerakan ke tabung, karena jauh lebih senyap dan minim getaran. Bagi kita orang awam yang tidak tahu sama sekali sejarah mesin cuci, boleh jadi kita akan termakan mentah-mentah oleh kampanye teknologi ini dan menganggap bahwa hanya mesin cuci merek inilah yang  menggunakan mesin yang menempel langsung di tabung, tanpa peduli tujuan utama membeli mesin cuci: menghasilkan cucian yang benar-benar bersih tanpa noda. Sayangnya, saya sudah terlanjur termakan rayuan teknologi si pramuniaga.

Apa Saya Salah?
Jika kita membaca anjuran yang diberikan Kementerian Perdagangan mengenai cara menjadi konsumen yang cerdas, apa yang telah saya lakukan sebenarnya tidak salah dan sudah sesuai dengan aturan umum cara berbelanja yang baik dan benar. Alasan paling utama adalah, saya sudah melakukan tip dan trik yang telah mereka anjurkan: (a) teliti sebelum membeli (b) memperhatikan label dan buku manual, juga garansi (c) memastikan produk yang dibeli sesuai dengan standar mutu kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan hidup (K3L) (d) membeli barang sesuai kebutuhan bukan keinginan. Lantas apa yang kurang?

Baiklah, mungkin saya baru mengamalkan poin pertama saja. Namun kalau mau ditilik lagi, tiga poin lainnya juga tidak benar-benar membantu dalam menentukan mesin cuci apa yang semestinya saya beli. Label dan buku manual berbahasa Indonesia misalnya, hanya berguna bagi pemahaman operasional suatu produk tapi bukan cara kita memilih produk tersebut. Secara praktis, keduanya tak lebih dari penanda sekaligus ensiklopedia mini produk yang keberadaannya baru dibutuhkan tatkala kita telah membeli produk tersebut. Bukankah sangat jarang buku manual yg dipajang bersama produk yang disertainya.

Lagi, bagi mereka yg paham bahasa Inggris, penggunaan bahasa Indonesia dalam sebuah manual seringkali terasa janggal karena mengalienasi kita dari bahasa jargon yang seringkali kita gunakan saat berinteraksi dengan sebuah produk. Salah satu contohnya adalah manual produk-produk IT dalam bahasa Indonesia, seperti penggunaan kata salin sebagai substitusi dari kata copy, atau pasang sebagai substitusi dari kata paste. Yang harus diperhatikan justru kualitas dokumentasi yang ada dalam manual. Dalam hal ini, manual yang tertulis dalam bahasa Inggris namun memiliki kualitas dokumentasi yang baik dan lengkap, jauh lebih bermanfaat ketimbang manual dalam bahasa Indonesia tanpa disertai dokumentasi yang memadai.

Jauh lebih penting ketimbang label dan manual berbahasa Indonesia adalah kartu garansi, karena ia menjadi bagian paling utama dari layanan purna jual yang menghubungkan pelanggan dengan produsen. Pada masyarakat post-industri, hampir tidak ada satu perusahaan besar pun di luar sana yang menjual produk mereka tanpa disertai kartu garansi. Persoalannya industri masa kini telah sangat matang dalam memprediksi umur produk mereka, maka ketika produsen merancang suatu produk untuk dapat bertahan selama 5 tahun penerapan garansi hingga 3 tahun tak lebih daripada gimmick yang memberikan konsumen rasa aman palsu.

Terkait standardisasi, apabila kita bandingkan negara-negara berkembang lain seperti Brazil dan India, maka proses standardisasi produk di negara kita ini masih tergolong lamban. Sebagai perspektif, dari sekitar 8.500 produk impor yang masuk ke Indonesia setiap tahun, hanya 500 produk saja yang kualitasnya telah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Angka masuk produk impor dengan kualitas dibawah standar tersebut masih jauh lebih tinggi ketimbang total merek yang telah tersertifikasi yang jumlahnya baru mencapai 7.000 buah saja.

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah cakupan dari SNI sendiri yang lebih banyak tertuju pada produk-produk industri ketimbang ketimbang consumer good, menjadikan SNI lebih populer di kalangan produsen semata ketimbang khalayak konsumen yang lebih luas. Dari daftar 87 produk wajib SNI, hanya 12 item saja yang benar-benar familiar di masyakat umum, macam produk air mineral alami, kloset duduk, sepeda roda dua, ban kendaraan, dan helm. Sisanya adalah produk-produk industrial seperti baja, kawat baja, tali baja, yang tidak memiliki signifikasi apa-apa pada masyarakat umum.

Sampai disini muncul pertanyaan, apakah barang yang memiliki komponen berstandar SNI secara otomatis telah memenuhi standar kualitas yang diminta atau tidak? Katakan perusahaan C mengimpor mesin blender dari Cina. Mesin tersebut tidak memiliki label SNI karena memang belum ada standar untuk blender di Indonesia, namun kabel power yang digunakan telah berstandar SNI. Jika saja konsumen mendapati bahwa produk blender ini tidak sesuai harapan, seperti hasil pengolahan yang tidak halus, apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa kualitas produk yang memiliki komponen standar SNI itu jelek? Setidaknya hal itulah yang saya temui pada produk blender merek lokal berkabel standar SNI yang saya beli beberapa hari sebelumnya. Untuk mesin cuci sendiri, hingga tulisan ini saya buat imho masih belum ada yang bersertifikat SNI.

Konsumen yang Cerdas?
Kembali ke mesin cuci. Setelah terkena bujuk rayu teknologi si pramuniaga, saya dan istri pun sepakat untuk memilih mesin cuci tersebut. Tapi kata memilih tidak selalu sinonim dengan kata membeli, terlebih jika menyangkut soal harga. Sebagai konsumen yang cerdas, kami berusaha membandingkan harga mesin cuci tadi ke toko lain yang juga menjual produk yang sama. Kami pun mengunjungi beberapa toko elektronik untuk melakukan riset kecil-kecilan hingga mencapai kesimpulan bahwa toko G merupakan toko dengan harga jual produk L termurah yang kami kunjungi. Implikasi berikutnya, kami memutuskan untuk membeli produk mesin cuci tadi di toko tersebut.

Kisah ini semestinya bisa berakhir bahagia. Kami puas dengan produk dan harga yang tepat, demikian pula penjual dan produsen, karena mampu memberikan deal terbaik buat pelanggan mereka. Nyatanya, sampai di rumah mesin cuci tersebut bermasalah. Air tidak juga masuk ke bilik pencucian, meski selang telah teraliri air. Kami pun mencoba menghubungi customer service produsen mesin cuci tadi, dan dijanjikan akan dikirim mekanik keesokan harinya untuk mengatasi masalah. Hari berlalu, dan genap 6 hari sang mekanik belum juga tiba. Pada hari ketujuh, kami benar-benar marah dan pihak produsen baru menunaikan kewajibannya 2 hari kemudian.

Apa sebenarnya yang bisa dipelajari dari kejadian ini? Well, menjadi konsumen yang cerdas di negara ini tidaklah cukup. Untuk mendapatkan produk dan layanan yang prima serta memuaskan, kita harus menjadi ekstra cerdas. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengadakan kampanye konsumen cerdas hanya berguna setelah kita memutuskan untuk membeli suatu barang. Parameter-parameter yang diberikan, macam SNI juga label dan manual berbahasa Indonesia, tidak bisa dijadikan dasar utama dalam menentukan baik buruknya suatu produk. Ada banyak produk yang beredar saat ini yang tidak memiliki parameter tadi, namun memiliki kualitas barang yang bagus. Demikian pula banyak produk bersertifikat SNI juga berlabel dan bermanual bahasa Indonesia, tapi tidak memiliki kualitas barang yang bagus, demikian pula sebaliknya.

Pada akhirnya, anjuran paling awal dari pemerintahlah yang sebenarnya berguna bagi kita semua. Teliti sebelum membeli. Termasuk pada pasal-pasal menyangkut layanan purna jual yang sangat menentukan tingkat kepuasan kita pada produk yang telah kita beli. Karena jikapun kita salah dalam membeli, kita masih bisa mendapatkan hak-hak kita yang terabaikan.

Selamat Hari Konsumen Nasional 2013!

1 komentar untuk "Cukupkah Menjadi Cerdas Saat Membeli?"

  1. Pengalaman yang sangat bermakna,
    saya juga nemu ni pak artikel yang berkaitan, menjadi konsumen cerdas

    BalasHapus