Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjadi 30

Apa bagusnya mencapai umur 30 tahun? Well, jika kamu hidup di Inggris pada Abad Pertengahan, itu berarti kamu telah mencapai batas terakhir dari usia harapan hidup yang dicapai rata2 penduduk Inggris pada masa tersebut. Atau jika kamu tinggal di Swaziland saat ini, berarti tinggal 1,8 tahun lagi dan kamu akan melampaui batas harapan hidup di negara Afrika itu. Lain halnya apabila kita membandingkan dengan usia harapan hidup di negeri ini yang berada pada kisaran 71.8 tahun, maka bisa dikatakan bahwa kamu telah menjalani 41% usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia di tahun 2009.

Sungguh, pencapaian ini tidak benar-benar buruk. Apalagi jika kita menghitung jumlah sperma yang harus mati saat proses pembuahan diri kita berlangsung, belum ditambah yang mati sia-sia di luar waktu pembuahan. Kita mungkin akan berpikir, bahwa keberadaan kita benar-benar sebuah anugerah diantara kemubaziran potensi hidup yang disediakan Tuhan (atau alam, jika anda benar-benar agnostik dan ateis) di alam semesta ini. You have been elected to live and experience this wonderful world. Life then in itself is a grace.

Sayangnya, pemikiran perenial ini tidak serta merta menjadi hawa penyejuk. Evolusi ras manusia dan peradaban selama ratusan ribu tahun tidak mengajarkan kepada kita statistik agung tadi sebagai sebuah barometer dari kata baik. Kita pun dipaksa oleh arsip-arsip zaman yang melekat di memori kolektif kita untuk menjawab pertanyaan yang menyulitkan dan tendesius. Berapa saldo di rekeningmu saat ini? Siapa yang akan kamu ajak untuk tinggal di rumah baru yang belum kau buat itu? Kapan ibu menjadi seorang nenek? Sekarang gabungkan pertanyaan-pertanyaan sosial tadi dengan pertanyaan idealis macam: Kamu hidup selama tiga puluh tahun di bumi ini, lalu apa? Jutaan dan miliaran manusia di bumi juga pernah merasakan hidup pada usia tersebut, maka apa yang membuat kamu berbeda dari mereka? Dan keluarlah sekian checklist yang membuat segalanya jadi tampak runyam.

Tentu bukan salah kita apabila masyarakat dan orang-orang terdekat mempertanyakan checklist standar tadi. Tanpa mengabaikan fakta bahwa setiap kita memiliki jam biologis yang sangat terbatas (macam umur reproduksi perempuan yang berakhir di pertengahan 30-an atau menjelang 40, dan kemampuan memproduksi sperma yang terus menurun hingga usia 60-70 pada laki-laki), semua kecemasan yang kita alami adalah hasil konstruksi sosial dimana kita hidup. Siapa suruh usia harapan hidup masyarakat dahulu sangat rendah, yang menyebabkan mereka telah berkeluarga bahkan pada usia yang sangat dini. Seandainya saja rata-rata penduduk Indonesia di masa lalu hidup hingga usia 100 tahun, mungkin mereka masih menganggap umur tiga puluh sebagai masa-masa puber remaja belaka?--pemikiran absurd. Abaikan saja.

Apa yang hendak saya sampaikan adalah, tidak semua orang menganggap "kebutuhan" sosio-biologis tadi sebagai prioritas utama dalam hidup mereka. Memang akan sangat naif jika kita mengabaikan semua faktor alam dan lingkungan tadi, karena bagaimanapun juga perasaan dan emosi yang kita alami setiap harinya dipengaruhi baik oleh kondisi sosial maupun biologis tubuh kita. Kita dipengaruhi hormon-hormon dalam tubuh kita sendiri yang hadir, entah karena faktor internal, seperti siklus hormonal, maupun faktor eksternal, macam interaksi dengan orang lain yang memicu sekresi hormon-hormon tertentu dalam tubuh kita. Jika kondisi ini merupakan keumuman, maka satu-satunya hal yang menjadi penghalang atau bemper yang membuat segalanya menjadi lebih "berkelas" dan membedakan kita antara satu dengan lainnya, hanyalah pendidikan dan latihan yang kita peroleh.

Lalu apa sebenarnya, makna hidup di usia ketigapuluh tahun ini? Berdasarkan kriteria apapun yang patut disematkan, tampaknya saya belum mampu memiliki sebuah kehidupan yang benar-benar "normal" di awal dekade ketiga kehidupan saya di planet bumi. First thing first, I am still single. Kedua, saya masih hidup menumpang--that is embarrassing. Ketiga, belum ada satupun karya yang berhasil saya hasilkan--huh. Terdengar pesimis? Tidak juga. Terlebih jika membacanya berdasarkan konteks kehidupan saya yang sangat tidak hebat itu. Alasannya, karena pada akhir 29, saya berhasil meraih "kehidupan" yang sempat hilang dan saya abaikan selama 1,8 tahun. Memang bukan pekerjaan yang pantas dibanggakan, namun setidaknya saya memiliki tabungan yang lumayan dari hasil jerih payah selama ini.

Kedua, indikator kesehatan saya lumayan baik. Berat badan yang sangat berlebihan pada tahun kemarin, perlahan-lahan menunjukkan tren menurun dan bergerak ke arah ideal, sedang kebugaran badan saya juga mulai meningkat. Di tahun ini pula saya mulai belajar renang kembali dan memiliki kemajuan lumayan bagus. Setidaknya sekarang saya bisa mengambang dan renang gaya bebas untuk pertama kalinya, meski hanya dengan satu tarikan nafas saja. Untuk tarikan nafas selanjutnya masih belum bisa. :) Benar kata sebuah situs, swimming is about technic, technic, and technic! Dan saya selalu belajar memperbaiki teknik renang saya.

Isu selanjutnya adalah urusan mencari gen terbaik untuk dipasangkan dengan gen yang saya miliki. Rupanya saya memang tidak bisa mengacuhkan tuntutan biologis satu ini, meski tidak serta merta membuat segalanya menjadi mudah, sebagaimana perjalanan cinta saya yang jatuh bangun di pertengahan kedua periode dua puluhan. The important thing is, I still fall in love to a woman, and it's obvious. Semoga saja dia mau menerimanya. I really feel quite optimistic with this matter, even if the sign still come to me in its blurry message. Still, I have hope and faith in God. Mungkin karena itulah banyak orang yang menganggap pernikahan sebagai sebuah institusi sosial yang sangat spiritual dan suci. Perhaps I can prove it and be a witness of that.

Meskipun urusan cinta cukup menyita perhatian dan pikiran saya, tapi sesungguhnya yang saya khawatirkan adalah soal melanjutkan studi magister saya yang selama ini terbengkalai. Pemikiran saya ini sangat berdasar, karena ada batasan usia dalam soal memperoleh beasiswa, yakni 32 tahun. Yang membuat segalanya bertambah parah, ternyata saya belum dapat memutuskan untuk mengambil bidang apapun untuk ditekuni. Dahulu saya sempat berpikir untuk mengambil gelar dalam bidang bisnis, karena selalu berpikir mengenai keamanan finansial. Sayangnya hati saya tidak sinkron. Maka saya pun mulai mencari kajian lain yang sekiranya berkenan. Salah satu bidang yang saya sukai adalah psikologi dan linguistik. Saya pun mempelajari kembali kedua bidang kajian tersebut, hingga tiba pada satu titik yang membuat saya berkesimpulan bahwa kedua bidang itu terlalu jauh untuk saya dalami.

Entah kenapa saya tiba-tiba teringat dengan janji saya dahulu untuk menulis sebuah tafsir Al-Quran. Tafsir yang menggunakan metodologi dan pendekatan baru yang berbeda dari tafsir konvensional maupun tafsir modern yang terlalu bertumpu pada hermeneutika. Saya menamakannya sebagai sebuah pendekatan literalisme radikal terhadap teks-teks Al-Quran. Tolong jangan tanya saya tentang definisinya, karena saya juga masih belum tuntas dalam perumusan istilah tersebut. Yang jelas, contoh dari penggunaan metodologi ini bisa ditemukan dalam beberapa artikel saya tentang kata kunci Al-Quran. Literalisme radikal, dalam hemat saya, bertumpu pada korelasi antar kata untuk menguak makna asli dan memahaminya dari sudut pandang filsafat (analitik) dan sains modern.

Menggunakan istilah sains modern bukan berarti saya melakukan sebuah apologi, seperti banyak ditemukan dalam karya-karya Harun Yahya atau penulis muslim modern lain yang berusaha membuktikan bahwa Al-Quran tidak bertentangan dengan pemikiran ilmiah. Saya sering menganggap ide-ide tersebut sebagai sebuah blunder pemikiran yang kehilangan ruh sainsnya. Apa yang saya lakukan barangkali lebih mirip kajian ala Chomsky yang bersifat analitik untuk kemudian menemukan prinsip-prinsip umum yang bisa dipahami dalam perspektif yang jauh lebih luas. Itu paradigmanya, semoga saja saya tidak keliru, dan semoga Tuhan selalu membimbing pemikiran saya ini. Dan semoga saja saya bisa membuktikannya dengan meraih gelar di bidang tersebut.

Menjadi 30 dengan demikian adalah memulai lembaran-lembaran baru dalam hidup ini. Memulai dengan awal dan niat yang baik, memulai dengan semangat dan optimisme. Semoga Tuhan selalu merestui dan membimbing saya. What I hope is only to see Your smile in this life and day after.

3 komentar untuk "Menjadi 30"

  1. ihiiiiii....
    bagian paling penting itu yang bagian pasangan gen ya? :)

    BalasHapus
  2. menjadi 30 itu bagi saya adalah menjadi tua.. dan menjadi tua adalah saatnya belajar bahwa tidak semua hal bisa selesai dengan sendirinya.. ;p

    BalasHapus
  3. hahahaaa...nice writing! dont worry bro, old age is always 10 years older than we are ;) *heheheee...*

    BalasHapus