Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Injil

The New Testament of our Lord and Savior Jesus Christ. The common English version, corrected by the final committee of the American Bible Union.
New Testament
Saya baru membaca sebuah ide bagus tentang Injil pada sebuah blog. Tiba-tiba saya teringat dengan tulisan saya sendiri dalam buku yang sampai saat ini belum juga diterbitkan. Karena tidak ingin berdebat tanpa dasar, dan kebetulan pemikiran saya sedang tidak "in" dalam persoalan agama, maka perkenankan saya untuk mengutip tulisan saya sendiri di blog saya. Sebagai informasi Injil jelas sebuah istilah khas al-Quran, dan itu berarti definisinya sangat tergantung pada definisi yang diberikan al-Quran kepada kita. Berbeda dengan kata Bible atau Gospel yang merupakan istilah khas Kristen, sehingga segala definisi yang datang kepada kita tentang kedua kata tersebut bersandar sepenuhnya pada literatur Kristen. Pertanyaan yang paling menggelitik saat ini, bisakah kita menyamakan Bible atau Gospel dengan Injil? Sebuah pertanyaan yang seringkali membuat mereka yang tidak pernah membuka Kitab Suci umat Kristen terkecoh. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penggalan pendapat saya mengenai Injil. Selamat menikmati. :)

Mendefinisikan Injil
Kesimpang-siuran pendapat soal Isa tidak terlepas dari perbedaan makna kitab suci dalam ajaran Kristen dan Islam. Kedudukan Injil dalam Dunia Kristen berbeda dari kedudukan Al-Quran dalam kepercayaan Umat Islam. Bagi penganut Kristen, wahyu bukanlah hak prerogatif Isa, karena bagi mereka Isa adalah "anak tuhan", melainkan para Hawariyun yang meraka anggap sebagai rasul. Para Hawariyun inilah yang kemudian menulis buku berisi ajaran, kisah dan perjalanan hidup Isa berdasarkan wahyu yang menginspirasi mereka. Kata Injil sendiri kemungkinan besar merupakan serapan dari bahasa Ethiopia wengel yang memiliki padanan kata dalam bahasa Yunani, evangelion, yang berarti “membawa kabar gembira”. Dalam bahasa Inggris, evangelion ini dinamakan Gospel dan bermakna kumpulan kepercayaan. Gospel terdiri atas empat buku berisi kesaksian tentang Isa yang ditulis oleh: Matius, Markus, Lukas dan John (bedakan dengan Nabi Yahya). Bersama dengan berbagai buku lain, ia kemudian disatukan kedalam sebuah kumpulan tulisan yang bernama Bible. Bible dalam agama Kristen berbeda dari Bible Ibrani, yang merupakan kumpulan kitab suci Yahudi. Bible Kristen biasanya terbagi menjadi dua bagian, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama terdiri dari beberapa pilihan buku yang ada dalam Bible Ibrani, sedang Perjanjian Baru terdiri dari Gospel dan buku-buku pilihan yang ditentukan keabsahannya oleh otoritas Gereja. Bible Katolik dan Protestan memiliki sejumlah perbedaan mendasar tentang isi dan urut-urutan buku yang tercantum di dalamnya.
Sampai disini, kita menghadapi permasalahan yang kompleks berkenaan dengan relasi Injil dengan kitab-kitab yang ada ditangan pemeluk agama Kristen. Paling tidak terdapat empat kemungkinan logis berkenaan dengan masalah ini: (a) Injil merujuk kepada keseluruhan isi Perjanjian Baru–New Testament. (b) Injil hanya merujuk secara khusus kepada Gospel (c) Injil mencakup Perjanjian Baru dan semua kitab yang beredar di Dunia Kristen tapi tidak tercantum di dalam Perjanjian Baru karena dianggap menyimpang dari Ortodoksi atau biasa disebut sebagai apocryphal–menyimpang. (d) Injil tidak merujuk kepada satupun dari buku-buku yang dikenal dalam dunia Kristen. Sebelum menjawab persoalan ini, ada baiknya kita mengetahui pandangan dan definisi Al-Quran terhadap Injil.
Dalam Al-Quran, kata Injil muncul sebanyak dua belas kali yakni pada Q. 3:3,48,65; 5:46,47,66,68,110; 7:157; 9:112; 48:29; 57:27 dan merujuk kepada kitab yang hanya diturunkan Allah kepada Isa. Karena merupakan wahyu dari Tuhan, maka umat Kristen diperintahkan untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan petunjuk yang terdapat di dalam Injil. “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Q. 5:47). Dalam ayat lainnya (Q. 5:68), bahkan dijelaskan bahwa masyarakat Ahlul Kitab tidak dipandang beragama hingga menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil. Kedua ayat ini, bagi sebagian besar ulama ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa masyarakat Kristen pada saat itu, mengetahui dengan jelas isi dan ajaran Injil. Di ayat yang berbeda (Q. 3:3), disebutkan bahwa salah satu fungsi dari Al-Quran adalah untuk membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, yakni Taurat dan Injil. Dengan kata lain, terdapat kesinambungan antara ajaran Al-Quran dengan ajaran Taurat serta Injil.
Definisi Al-Quran tersebut pada mulanya tidaklah bermasalah, hingga kita berhadapan dengan realitas Perjanjian Baru, yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan definisi yang telah dijelaskan tadi. Pertama, Injil dalam Al-Quran adalah perkataan Tuhan yang diturunkan kepada Isa, sedangkan redaksi dan teks dari Perjanjian Baru, termasuk Gospel, lebih menyerupai biografi Isa. Di sini, kedudukan Perjanjian Baru sangat serupa dengan kedudukan riwayat hadits atau sirah dalam tradisi Islam. keduanya mencatat perbuatan dan perilaku Nabi SAW semasa hidup, demikian pula perkataannya. Kedua, Al-Quran hanya mengakui satu Injil dan bukan banyak buku sebagaimana terdapat dalam Gospel atau Bible. Ketiga, kandungan dari Perjanjian Baru banyak sekali yang bertentangan dengan prinsip tawhid, seperti peneguhan doktrin Trinitas atau panggilan Bapak kepada Tuhan. Jika demikian, bagaimana kita menyikapi jurang definisi yang dalam ini?
Mayoritas ulama menganggap, bahwa teks Perjanjian Baru yang ada saat ini telah dikorupsi oleh umat Kristen. Mereka dipandang telah merubah teks Kitab Suci mereka, atau yang dikenal dengan istilah tahrif. Kata tahrif berasal dari akar kata harafa yang berarti merubah sesuatu dari yang semestinya. beberapa sarjana kemudian berbeda pendapat perihal kata tahrif. Sebagian besar menganggap tahrif secara literal, yakni merubah kata dan redaksi kitab suci, sedang lainnya, seperti Thabari dan Ibn Khaldun, mengaggap tahrif sebagai cara penafsiran yang salah atau menyimpang. Kata tahrif sendiri tidak dipakai oleh Al-Quran, sebaliknya yang digunakan adalah kata kerja yuharrifun yang biasa disambung dengan frase al-kalima min ba’d mawadhi’ihi–mengganti kalimat dari tempat yang semestinya, sebanyak tiga kali, pada Q. 5:41,13 dan 4:46. Yang menarik, atribusi tahrif dalam Al-Quran selalu merujuk kepada Taurat dan Bani Israil saja bukannya Injil, sehingga mengatakan bahwa umat Kristen telah melakukan tahrif atas kitab suci mereka bukanlah ide yang memiliki dasar yang kuat dalam al-Quran. Hal tersebut kemudian diperkuat di Q. 2:75-79.
Dari segi historis, buku buku dalam Perjanjian Baru ditulis antara tahun 50 hingga 150 M. Buku-buku tersebut kemudian dikompilasi pada abad ketiga. Di luar Perjanjian Baru, masih terdapat banyak buku lain yang ditulis oleh orang-orang Kristen, yang menyerupai Gospel, tapi tidak diakui sebagai bagian dari Perjanjian Baru. Buku-buku inilah yang dikenal sebagai apocryphal dan menjadi pegangan bagi sekte-sekte Kristen yang tidak diakui oleh ortodoksi. Pada saat Nabi SAW hidup, tidak ada bukti bahwa, Perjanjian Baru atau setidaknya Gospel, telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Meski demikian, beberapa orang Kristen saat itu, termasuk Waraqah bin Nawfal–sepupu Khadijah, yang mengetahui kenabian Muhammad SAW berdasarkan “Injil”, telah membaca entah Perjanjian Baru maupun apocrypha. Fakta ini, bagi sebagian sarjana dijadikan argumentasi, bahwa yang dimaksud dengan Injil itu adalah keseluruhan Perjanjian Baru dan apocrypha yang keberadaannya mulai terkuak satu persatu oleh penelitian arkeologis.
Tapi menganggap Injil sebagai koleksi berbagai macam buku yang tidak jelas itu, justru menimbulkan lebih banyak kerumitan. Untuk menjembatani masalah ini, beberapa sarjana Barat seperti W. C. Smith memberikan penafsiran, bahwa perkataan Tuhan yang disampaikan kepada Isa lah yang disebut sebagai Injil. Isa kemudian memberitakan perkataan Tuhan ini kepada hawariyun yang kemudian mencatat dan menyusunnya dalam buku yang juga memuat biografi sang nabi. Dengan demikian, isi Injil terefleksi di dalam Gospel, yang mencakup baik biografi maupun ajaran dan perkataan Isa. Pendekatan Smith ini pada akhirnya berkaitan pula dengan sebuah pertanyaan penting yang muncul dikalangan sarjana Kristen, pernahkah Isa menuliskan ajaran-ajarannya sendiri, atau adakah sebuah Gospel yang bernama Gospel Isa?
Sejauh ini, sarjana Bible telah memetakan dan menelaah Perjanjian Baru, untuk menemukan perkataan-perkataan Isa yang asli. Perkataan-perkataan tersebut kemudian diidentifikasi sebagai Q, dari Quelle yang berarti sumber. Namun, Q tidaklah identik dengan Gospel Isa. Dengan demikian, pencarian akan dokumen yang hilang ini masih terus berlanjut. Seiring dengan ditemukannya bukti-bukti arkeologis penting, seperti Naskah Laut Mati yang memberikan penjelasan tentang kehidupan sekte Qumran dan Naskah Naj Hammadi yang mencatat ajaran sekte Gnostik, tampaknya penilaian kita akan validitas Perjanjian Baru, belumlah final. Hal tersebut, pada akhirnya membawa beberapa sarjana kepada kesimpulan radikal, bahwa Injil tidaklah identik dengan Gospel ataupun keseluruhan Perjanjian Baru. Pendapat ini dilontarkan oleh Muhammad Yusuf Ali yang telah menerjemahkan Al-Quran kedalam bahasa Inggris.
Apapun kesimpulan yang kita buat, Al-Quran tetap menganggap orang-orang Yahudi dan Kristen yang ada pada saat ini sebagai Ahlul Kitab. Beberapa orang diantara mereka beriman, sedangkan sebagian besar fasik. Karenanya, Al-Quran menyeru kepada sebuah kalimat persamaan, antara umat Islam dan Ahlul Kitab, yakni kalimat tauhid. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Q. 3:64.
Demikian pemikiran saya tentang Injil, bagaimana menurut anda?

3 komentar untuk "Tentang Injil"

  1. Saya ngecap aja nih :)

    Sepertinya saya cenderung mengatakan bahwa injil versi Qur'an dan gospel versi Bible adalah dua hal yang berbeda walaupun mungkin ada irisan antara keduanya.

    Hampir jelas, bahwa bukan 4 kitab lah yang disebut injil. Selain 4 kitab, masih ada surat-surat paulus, dan tentunya ini juga bukan injil yang dimaksud oleh Qur'an.

    Saya cenderung pada spekulasi bahwa memang ada satu naskah yang hilang yang memnag tidak kita ketahui sampai saat ini dam naskah itu;ah yang dirujuk sebagai injil dalam qur'an.

    Wallahu a'lam

    BalasHapus
  2. mungkin lebih bisa dimengerti jika menggunakan logika historis. hingga +/- 50 tahun setelah Yesus naik ke surga, tak pernah terpikir dalam benak para murid untuk mendokumentasikan "biografi" guru mereka itu; mengapa? karena mereka semua menantikan kedatangan Yesus kembali dari surga, seperti yang dikatakan malaikat yang menampakkan diri ketika mereka masih "melongo" melihat Yesus terangkat ke surga (kis. 1:11).

    nah, setelah ditunggu2 tak datang2 dan banyak di antara saksi mata kehidupan Yesus yang meninggal, maka mereka mulai merasakan kebutuhan itu. Markus kalau tidak salah dianggap sebagai yang pertama membuat catatan tentang injil. setelah itu, Matius dan Lukas membuat catatan serupa--konon berdasar injil menurut Markus. Yohanes yang berada di pembuangan juga mendokumentasikan kehidupan gurunya.

    masing-masing menggunakan ingatannya dan "ketertarikannya" (kami percaya ada campur tangan Ilahi juga dalam penulisannya). itulah sebabnya, matius-markus-lukas agak2 mirip namun dengan penekanan yang berbeda. matius yang adalah mantan pemungut pajak banyak bicara soal uang dan angka2. markus sepertinya lebih to the point karena ia berlatar belakang nelayan biasa. lukas adalah seorang tabib, jadi ia lebih terpelajar dan teratur; lagipula ia menuliskannya untuk seorang pejabat romawi (teofilus) yang mungkin bersimpati dengan kekristenan. sedangkan yohanes lebih banyak menuliskan tentang perumpamaan dan ilustrasi Yesus. keempatnya seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.

    hingga saat ini sih, terus dilakukan penggalian2 untuk mencari salinan2 injil yang mungkin masih "tersimpan" di bawah tanah. beberapa hasil dokumentasinya bisa dilihat di http://csntm.org :D

    salam,
    ayus

    BalasHapus
  3. Pertama, saya lebih suka menyebut buku karangan Mathius, Lukas, Markus, dan Yohannes sebagai Gospel daripada Injil, karena memang demikian nama mereka di Barat. Keempat gospel ini adalah gospel sinoptik yang kevalidannya diakui oleh otoritas gereja. Pertanyaan yang muncul kemudian, adakah gospel lain di luar keempat gospel sinoptik ini? Jawabnya, banyak. Hal inilah yang menandai perpecahan sekte-sekte Kristen di 3 abad pertama kekristenan. Di Mesir misalnya kita melihat kemunculan Koptik, belum lagi perpecahan gereja Syiria di Iraq dan juga di Persia. Semuanya memiliki gospel tersendiri yang tidak diakui oleh Kristen Barat. Lalu yang mana Injil menurut Quran? Tidak ada yg pernah tahu. Alasannya jelas, seperti saya kemukakan di atas, definisi Quran tentang Injil, berbeda dari definisi "Injil" menurut umat Kristen (Indonesia).

    BalasHapus