Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepak Bola & Rasionalitas (2)

Kita tidak akan pernah tahu arti seseorang bagi diri kita, hingga orang tersebut tidak ada lagi di sisi kita. Mungkin kalimat ini sangat tepat menggambarkan nilai seorang Mueller bagi kesebelasan Jerman yang kamis dinihari bertanding melawan kesebelasan Spanyol pada semifinal Piala Dunia 2010. Sehari sebelum pertandingan yang sangat menentukan itu berlangsung, banyak sekali prediksi yang mengunggulkan kemenangan tim Jerman atas Spanyol. Beberapa ada yang menganalisis berdasarkan performa penampilan Tim Panser yang sejauh ini merupakan tim paling konsisten selama pelaksanaan Piala Dunia. Prediksi lain, menggunakan sejumlah metode yang berada di luar konteks persepakbolaan, macam numerologi, hingga tuah sweater biru sang pelatih. Tapi betapapun canggih analisis atas pertandingan ini, rupanya mereka melupakan faktor seorang Mueller bagi Jerman.

Joachim Low sendiri menyatakan bahwa absennya Mueller dari skuad, tidak akan mempengaruhi ketajaman bermain Jerman. Ia berargumentasi bahwa Jerman saat ini adalah tim yang sangat mengutamakan permainan kolektif. Kehilangan seorang individu tidak menjadi hambatan bagi sebuah tim yang lebih mengutamakan disiplin dan kerjasama antar pemain. Yang dibutuhkan dalam tim jenis ini adalah menjalankan strategi dingin sang pelatih sebaik-baiknya di atas lapangan. Dengan kata lain, individu hanyalah variabel x dan y, sedangkan ruh dari permainan tak lain dari rumus yang diterapkan oleh sang pelatih kepada anak asuhnya.
Sebenarnya, argumentasi seperti ini dapat diterima seandainya pengganti variabel yang hilang itu memiliki kualitas dan kemampuan mental yang identik. Sayang sekali Low lupa akan hal tersebut. Ia mungkin menganggap bahwa nilai Trochowski sama dengan nilai Mueller, dengan tidak merubah strategi dan komposisi pemain, sehingga mengabaikan perubahan dalam persamaan yang ia rumuskan. Dan keseimbangan dalam tubuh tim Jerman tidak mampu dipertahankan lagi. Schweinsteiger memang menjalankan fungsinya sebagai gelandang penjelajah dengan baik, tapi Trochowski dan kemudian Kroos tidak mampu menggantikan fungsi dari Mueller. Barisan pertahanan Jerman seakan kehilangan kepercayaan untuk mem-pass bola ke lini tengah, karena tidak ada dominasi di sana, sehingga mereka hanya memanfaatkan pola serangan di sayap kiri dan kanan yang dapat dengan mudah dipatahkan oleh para gelandang Spanyol yang memiliki kualitas individu yang jauh lebih tinggi.

Dan sebagaimana tim yang mengalami kebuntuan permainan, Jerman pun terjebak kedalam formalitas strategi yang dijabarkan oleh Low. Alih-alih melakukan perubahan taktik, mereka hanya melakukan review atas strategi yang dimainkan. Ibarat flowchart, mereka terus berputar dalam opsi pengulangan yang tidak kunjung membuahkan hasil. Disini yang ada hanyalah repitisi semata, apakah sudah tidak ada lagi kesalahan dalam cara bermain, apakah bek sudah menjalankan prosedur pertahanan sebagaimana mestinya, dan apakah passing bola telah dilakukan dengan tepat? Maka diagram permainan yang mestinya dinamis itupun berubah menjadi sebuah ajaran dogmatis yang tidak mampu dipecahkan. Jadilah, mereka terkurung oleh frustasi dan serangan para pemain Spanyol yang datang bertubi-tubi, hingga akhirnya kesadaran mereka terusik oleh tandukan bola dari kepala Carles Puyol yang tidak mampu ditepis kiper Manuel Neuer di menit 74.

Sangat disayangkan, meskipun pertahanan mereka telah kemasukan gol, tapi tetap tidak ada perubahan baik dari tempo maupun strategi permainan. Jerman tetap bermain seperti belum pernah kebobolan dan mengabaikan waktu yang terus berputar. Dari sudut pandang rasionalitas, situasi yang melanda Jerman saat itu dapat dipandang sebagai sebuah krisis. Yakni tatkala sebuah sistem tidak lagi mampu menopang dirinya, dan setiap percobaan yang menggunakan klaim-klaim dasar dari sistem ini gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh Kuhn, satu-satunya solusi atas kebuntuan tersebut adalah perubahan paradigma. Ambil contoh, ketidakmampuan para ilmuwan dalam memprediksi gerak jatuh dua buah benda yang memiliki berat yang berbeda bukanlah disebabkan kesalahan dalam menginterpretasikan fisika Aristoteles, malainkan karena sistem yang dibangun oleh filsuf itu sudah tidak memadai lagi untuk menjelaskan fenomena yang ada. Maka langkah yang dilakukan oleh Galilei dengan mengabaikan aturan dasar fisika Aristoteles adalah sebuah langkah yang sangat tepat, karena dengan demikian ia mampu keluar dari jebakan dogmatis yang membuat sains tidak mampu berkembang melebihi klaim-klaim dasar yang telah dirumuskan.

Agar dapat keluar dari keterbatasan paradigma, tentu saja membutuhkan keberanian dan mental yang kuat, karena dengan demikian seseorang bukan saja harus meruntuhkan aturan-aturan lazim yang ada dalam sebuah sistem, tapi juga mengindahkan sejumlah kemungkinan untuk dianggap irrasional. Meski terlihat seperti sebuah kontradiksi, tapi ternyata rasionalitas kadang dibangun diatas fondasi irasionalitas, ketidakrasionalan. Ambil contoh kebenaran sebuah proposisi logika yang bersifat sirkular, bersandar sepenuhnya kepada  kebenaran proposisi lain yang juga bersandarkepada proposisi lainnya ad infinitum, sehingga terdapat sebuah gap kebenaran yang tidak mungkin dinalar satu persatu karena sifatnya yang tidak terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, dibangunlah sebuah anggapan dasar yang kebenarannya tidak tergantung kepada kebenaran lainnya. Tentu saja, anggapan dasar ini adalah sebuah titik tolak yang diterima begitu saja dalam sebuah bangunan rasionalitas, sehingga kebenarannya tidak terletak didalam sistem, melainkan diluarnya. Wittgenstein menyadari hal ini dan menyatakan bahwa logika sejatinya hanya berisi dua kemungkinan saja, tautologi dan kontradiksi. Sayangnya, tautologi tidak memberikan apa-apa kepada kita, dan kontradiksi hanya memberikan ketidakmungkinan semata. Lalu, dimanakah letak sebuah nilai? Bagi Wittgenstein, nilai sebenarnya dari sebuah proposisi logis berada di luar jangkauan logika. Ia bersandar kepada wilayah yang tidak mampu diprediksi, yakni dunia. Oleh Godel, keterpisahan antara realitas rasio dan dunia ini dirumuskan dengan elegan dalam teorama tentang ketidaklengkapan matematika–incompleteness theorem. Bahwa kebenaran sebuah rasionalitas pada akhirnya bersandar kepada sebuah klaim yang berdiri di atas fondasi ketidakrasionalan. Dalam matematika ia adalah aksioma; dalam geometri ia adalah titik, garis, dan bidang; dalam teologi ia adalah Tuhan; dalam sepak bola ia adalah doktrin untuk menguasai bola dan hanya mengumpan kepada kawan saja.

Apabila rasionalitas berdiri diatas fondasi rapuh ketidakrasionalan, lalu apa bedanya ia dengan pemikiran yang tidak rasional seperti mitos misalnya? Menurut Feyerabend, tidak ada. Metodologi rasional yang selalu diagungkan para saintis tidak lebih dari pilihan subjektif belaka, dan sama sekali tidak mencerminkan objektivitas. Maka, agar rasionalitas dapat maju, sudah saatnya mereka meninggalkan metode dogmatis yang mengungkung itu. Dalam bahasa persepakbolaan, itu adalah kembalinya model permainan konseptual ala Jerman kepada model permainan tanpa konsep yang dipraktekkan skuad Maradonna. Ketiadaan konsep berarti penggunaan emosi untuk mendobrak kebuntuan. Sesuatu yang tidak dapat diperlihatkan dengan baik oleh Trochowski dan Kroos pada saat krisis, entah karena watak mereka yang tenang atau akibat doktrin Low yang membuat mereka begitu dingin. Pada poin ini pula kita bisa melihat bahwa Mueller dan Ballack memiliki hubungan paradigmatik, yang tidak dimiliki oleh Trochowski dan Kroos yang jauh lebih mirip Schweinsteiger. Dengan kata lain, Jerman membutuhkan figur motivator daripada seorang organisator.

Sampai disini, muncul pertanyaan, bila putaran balik ini merupakan solusi jitu bagi kebuntuan permainan, kenapa Argentina dapat dibantai habis oleh Jerman hingga 4-0? Bagi Fayerabend, salah satu prinsip yang harus dilawan dalam rasionalitas adalah prinsip, semuanya berjalan, anything goes. Prinsip inilah yang sebenarnya dipakai oleh Maradonna dalam melatih, yang mempercayakan permainan begitu saja kepada pemain-pemain bintang. Diluar segala kemungkinan tersebut, tampaknya kita harus pula menimbang hal-hal non-teknis yang dapat menunjang kemenangan sebuah pertandingan. Dalam hal ini, penggunaan kostum putih oleh para pemain Jerman, saat lawan memakai kostum merah, jelas sebuah kekalahan psikologis. Karena merah adalah simbol perlawanan, sedangkan putih adalah simbol ketulusan. Demikian pula jika atmosfer irasionalitas ini diperluas, barangkali kita akan percaya bahwa Paul si gurita memang tidak pernah bohong dalam meramal. Jadi, selamat kepada Spanyol yang akan tampil melawan Belanda di babak final nanti. 

1 komentar untuk "Sepak Bola & Rasionalitas (2)"