Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Tersisa


Assalamualaikum,

Aku tahu, mungkin kamu tidak akan membaca surat ini. Bisa juga, tatkala kamu melihatnya, langsung kau hapus dan buang kedalam kotak sampah di akun emailmu. Aku tahu itu. Aku mengkin akan menganggapnya sebagai hal yang wajar yang kau lakukan terhadap diriku. Aku tahu itu, dan aku bisa memahaminya, sejauh ungkapan-ungkapan kotor yang keluar dari mulutmu bisa reda. Menganggap keberadaanku dan segala hal yang berkaitan dengannya sebagai sebuah masa lalu yang tidak pantas untuk diingat.

Ah, tapi aku tetap mengirimkanmu surat, meski ku tahu kau tidak akan pernah mau membacanya. Aku tahu itu, aku hargai jerih payahmu menghapus masa lalu yang hanya sekejap saja. Tapi apa yang bisa kuperbuat selain menuliskan sebuah surat untukmu. Karena ku tak bisa bicara, atau barangkali, kita hanya putus melalui teks dan naskah. Entahlah. Tapi kutahu kau membencinya. Menganggapku gila, obsesif, dan mengeluh kalau dirimu selalu membuat orang merindu. Aku tahu itu. Aku juga tahu, kau akan mencibirku. Tapi kenapa?

Kenapa aku selalu mengirim surat kosong ini kepadamu? Mengetahui dengan pasti jawaban yang tak pernah disampaikan atau berusaha kau elakkan tentang keberadaan orang sepertiku di dunia ini. Aku bahkan sudah lupa tentang kamu. Dirimu, namamu, bayanganmu hanyalah yang tertinggal dalam memori di benakku yang kurasa juga sudah tidak akurat lagi. Tapi pertanyaan utama, kenapa aku terus mengirimkan surat ini belum kujawab.

Kau tahu, barangkali bertahun-tahun kedepan kita mungkin tertawa membaca isi surat-surat yang tidak mengenakkan ini. Bagaimana mungkin kita mencintai seseorang yang tidak kita cintai sama sekali. Seseorang yang memaksa dirinya untuk dicintai, meski dia tahu apa yang ada dalam tulisan-tulisannya hanyalah sebuah permohonan yang tak dijawab dan hanya memenuhi isi kotak surat ini saja. Ah, siapa yang tahu. Mungkin suatu saat, aku juga akan tertawa mengingat kebodohanku dahulu, pernah mencintai seseorang yang tidak lagi mencintaiku dan mengejar cintanya keujung langit, mesti ia tampik dan ia bantah. Bahwa kita memang tidak cocok, seperti katamu.

Kau tahu, aku menulis surat ini seakan aku sepuluh, dua puluh tahun yang akan datang. Tertawa dengan semua kenaifan dan kebutaan oleh cinta yang datang sesaat. Tapi, seandainya kau tahu, aku bahkan bisa menghargai segala kebodohan dan permainan aneh yang kubuat sendiri. Karena aku merasa, aku memiliki harapan. Meski ia suram, meski ia dikelilingi oleh berbagai stigma negatif, meskipun segala teori dan akal sehatku berbalik arah menentangnya, tapi harapan itu akan selalu ada, seburuk apapun kondisi dan probabilitas yang melingkupinya.

Ah, suatu saat aku akan tertawa membaca surat ini padamu, mengingat-ingat segala kejadian yang melingkupinya. Mungkin. Karena kemungkinan selalu berisi setengah. Tapi keyakinan, bahkan pada levelnya yang terendah, selalu berisi satu. Bulat, penuh, dan pasti. Entah apapun kenyataann yang akan menyertainya. Kuharap kau membaca surat ini, meski kutahu, kau akan menghapus tanpa pernah tahu isi yang ada di dalamnya. Siapa tahu.

Salam hangat,

Himawan Pridityo

2 komentar untuk "Yang Tersisa"

  1. "Bagaimana mungkin kita mencintai seseorang yang tidak kita cintai sama sekali"

    suka dengan kalimat itu.. :)

    BalasHapus
  2. bersambung dengan komen terdahulu..
    apakah ini yang disebut kesadaran yang terlambat?

    BalasHapus