Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Untuk Sebuah Nama (3)

Butuh beberapa hari saja bagi si pria tanpa nama itu untuk bisa menyelesaikan dua bab pertama novel yang ia kerjakan. Sebenarnya, ada satu bab yang khusus ia sediakan untuk menggambarkan karakter dan kepribadian si gadis berjilbab ungu itu. Tapi ide untuk menuliskan hal tersebut tampaknya masih ia tangguhkan. Ia memilih menyelesaikan terlebih dahulu bab ketiga novelnya yang berjudul “Surat dari Langit”.

“kupikir surat dari langit merupakan titik tolak dari kegelisahan sang tokoh utama, dan keinginannya benar-benar mengutarakan cintanya pada sang gadis. Hanya, aku enggan untuk mengungkapkan namaku di dalam cerita tersebut.”

Baginya nama hanya akan membawa pikiran pembaca kepada seorang tokoh. Dan tokoh tak lebih dari sebuah karakter yang terpenjara dalam dunia buku. Ia sendiri lebih senang membiarkan si tokoh ini keluar masuk di antara realitas naskah dan realitas dirinya, saling jalin menjalin menciptakan sebuah model kehidupan yang berbeda tapi jauh lebih dekat dan intim. Satu-satunya yang membuat dia gelisah adalah kenyataan apakah novel yang ia tulis ini sampai kepada tujuan dari segala tindakannya itu. Apakah si perempuan berjilbab ungu akan mengerti bahwa ia merupakan subjek sekaligus objek yang tumbuh dalam cerita ini.

“Aku juga tidak terlalu mengerti. Barangkali aku juga subjek sekaligus objek dalam cerita ini juga”

Dan perasaan yang sesungguhnya dari cinta yang mulai tumbuh dan bersemi di dalam dirinya memaksanya untuk kembali membuka pikirannya akan diri sang perempuan. Yang dia tahu, perempuan berjilbab ungu itu seharusnya lembut dan indah. Ini juga bukan omong kosong belaka. Ia sudah mencoba mengartikan namanya yang secara unik terdiri dari campuran khas nama berbahasa Arab dan Indonesia. Meskipun dari sudut gramatikanya banyak sekali kesalahan.

“memang begitu orang Indonesia, mereka selalu membuat hukum tersendiri tentang sebuah nama”, ia bahkan ingat bahwa nama keluarga yang ia miliki sebenarnya juga merupakan campuran dari nama kedua orang tuanya. “di sini, nama bukan doa. Seperti yang orang-orang Arab lakukan dalam memberi nama anak-anak mereka 'dengan yang terpuji' atau 'bermartabat tinggi'. Kita justru lebih senang mengartikan nama sebagai sebuah monumen.” bahwa dahulu kala, pernah ada seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang perempuan. Mereka kemudian memadu kasih dan ingin mengabadikan kisah cinta mereka kedalam sebuah monumen yang hidup.

Dan sebagaimana monumen hidup lainnya, novel yang tengah ia tulis ini merupakan perpaduan unik antara hidup dan keabadian. Dia hidup karena subjek tidak terpenjara di dalam naskah, dan dia abadi, karena memang begitulah sebuah naskah dibuat.

“kring...kring...kring...”

rupanya itu adalah telepon dari dokter Burhan. Mitra kerjanya itu mengabarkan bahwa si gadis berjilbab ungu telah mengunjunginya dan dia juga telah menyerahkan draft novel tersebut kepadanya.

“Dia terkejut saat membaca kisah pertama novelmu. Seandainya saat itu kamu ada di sini barangkali kamu akan tertawa, menyaksikan raut wajahnya yang beberapa kali nyaris berganti rupa. Dari wajah seorang gadis yang sangat lugu, kemudian mulai curiga, penasaran, kaget dan bertanya lagi kepada saya 'lalu siapa dok, gerangan orang tersebut?'”

si pria tanpa nama hanya tersenyum tipis. Ia lalu berterima kasih kepada sang dokter yang berkenan memberikan naskah tersebut kepada sang perempuan, dan berjanji akan memberikan satu eksemplar novelnya apabila cerita tersebut selesai dicetak.

“ah, sekarang apa yang akan aku kerjakan?”


***

Sebuah akun email baru saja terbuka. Di dalamnya tertera surat-surat yang masuk ke dalam inbox akun tersebut. Sebagian besar berasal dari akun Facebook yang terforward secara otomatis. Tidak ada yang menarik dari surat-surat elektronik tersebut. Hanya ada ringkasan komentar tentang status yang tersandang di dinding halaman muka Facebook, dan semuanya juga telah terbaca. Urutan berikutnya adalah email dari perusahaan, isinya mengenai tetek bengek pencapaian sales, revisi target dan sebuah permintaan ukuran baju dari setiap pegawai untuk acara outing tahun ini. Tidak ada yang menarik, lagi pula pekerjaan kantor bisa ditunda. Urutan terakhir baru sebuah email pribadi. Kursor komputer itu mengklik kalimat ber-hyperlink, dan terbukalah sebuah surat.

Assalamualaikum,

Mungkin kamu sudah menerima draft novelet saya dari dr. Burhan, saya minta maaf karena tidak bisa menyerahkannya langsung kepada kamu. Sebenarnya, maksud saya mengirimkan naskah tersebut adalah ingin meminta pendapat dan masukan dari kamu seputar novelet tersebut.

Saya akan sangat bersuka cita jika kamu mau melakukan hal tersebut.

Wassalam.

Beberapa saat diam, dan kursor tadi bergerak kembali mengklik kotak bertuliskan reply di bagian bawah badan surat. Sebuah form kosong penulisan surat baru terbuka, dan mulailah bermunculan kata-kata baru di atas form kosong tadi.

Waalaikum salam,

saya pikir siapa yang menulis kertas-kertas tadi, ternyata kamu toh mas.. bagaimana keadaan sekarang. Oh ya.. saya baru sedikit membaca novelet kamu. Nanti kalau ada waktu akan saya baca sampai habis.

Dahulu, saya punya teman sekos yang pandai menulis. Sayang aku lupa namanya dan aku juga lupa membeli novelnya. Padahal sudah aku cari di Facebook tapi tidak ketemu. Untuk itu saya ingin menghargai kawan saya yang mau menulis novel termasuk mas.

Oke nanti di sambung lagi

“your message has been send” sebuah tanda pesan terkirim muncul di atas layar, dan beberapa detik kemudian layar komputer tersebut mati.

2 komentar untuk "Untuk Sebuah Nama (3)"

  1. "Yang dia tahu, perempuan berjilbab ungu itu seharusnya lembut dan indah. Ini juga bukan omong kosong belaka." (...........................?????)

    BalasHapus