Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Untuk Sebuah Nama

Hari semakin siang. Sinar matahari kian lama kian tegak menyinari bumi. Udara pagi yang sejuk sedikit demi sedikit mulai terangkat dari perkampungan padat penduduk itu. Beberapa ibu rumah tangga telah selesai menjemur pakaian basah mereka yang tergantung rapih di atas tali-tali kawat yang melintang di halaman rumah. Jalanan kosong, anak-anak telah pergi ke sekolah mereka masing-masing, menyisakan bocah-bocah berpakaian kumal yang sibuk bermain kelereng.

Benda bulat itu bagaikan sihir bagi bocah-bocah ingusan tadi. Mereka menyentil benda tersebut ke arah kumpulan gundu, memecah belah formasinya kemudian mengikuti sebuah aturan sederhana yang telah lama disepakati oleh kakak-kakak mereka, paman, dan kakek bertahun-tahun yang lampau hingga tidak ada satu pun yang mengerti siapakah gerangan yang menciptakan hukum bermain kelereng pertama kali.

Sentil dan kenai kelereng yang kamu incar, maka kamu akan mendapatkan kelereng tadi.

Apa peduli mereka tentang hukum bermain kelereng. Yang mereka tahu, nikmat rasanya berhasil menyentil benda bulat kaca itu hingga tepat mengenai sasaran, sebuah kelereng berwarna susu yang diam empat kaki dihadapanya. Dan kini bocah berkepala plontos itu sudah bersiap menarik jari telunjuknya melontarkan biji kelereng. Dengan gerakan yang sangat cepat benda mungil tadi terpental beberapa kaki melewati kelereng berwarna susu. Terus terpental-pental di atas jalanan berlapis semen kasar sebelum berhenti terinjak roda sepeda motor yang bergerak pelan di gang kecil tersebut.

“tin..... tinn.... tinn.....”

Kerumunan kecil itu bubar memberi jalan kepada vario merah muda untuk lewat. Di atasnya duduk seorang perempuan muda berpakaian kasual dengan celana panjang hitam. Wajah perempuan itu tersembunyi di balik kaca helmet yang hitam, sedangkan seluruh kepalanya tertutup rapat oleh cangkangnya yang berwarna pink dan bermotifkan bunga. Setelah lewat, kawanan bocah-bocah tadi kembali berkerumun melihat hasil permainan yang tertunda oleh si pengendara motor.

Dari kejauhan, lampu rem motor itu terlihat menyala terang bersiap belok ke arah kiri. Tidak ada yang istimewa darinya, selain kain warna ungu yang menyembul keluar dari balik helmetnya. Dan sedetik kemudian motor tersebut sudah hilang dari pandangan mata para bocah yang telah tenggelam dengan permainan kanak-kanak mereka.

***

Di bulan puasa sepertinya ada aturan tak tertulis di perusahaan yang memperbolehkan karyawan mereka untuk berangkat lebih siang ke tempat kerja. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh gadis berjilbab ungu itu apalagi ritme dan bentuk pekerjaan yang ia lakukan tidak dibatasi oleh waktu. Biasanya, ia memilih pergi ke rumah sakit ketika waktu dhuha hampir habis, melakukan detailing hingga ashar dan balik lagi ke kos pukul empat sore. Sejam dua jam, sudah cukup baginya untuk rebahan di kasur yang empuk untuk kemudian membersihkan diri dan kembali berangkat kerja usai shalat Maghrib.

Namun kali ini, ia tidak pergi ke rumah sakit untuk detailing. Atasannya mengirimkan sms padanya agar meeting tepat jam 10:30 di HO. Kebetulan jalanan Jakarta hari itu cukup lancar, sehingga dia beruntung sudah sampai di kantornya lima belas menit sebelum waktu meeting tiba. Di ruang berpendingin AC itu, sejumlah koleganya juga telah hadir. Mereka saling bersenda gurau dan melepas kangen setelah hampir sebulan penuh tidak kumpul bersama.

“selamat siang semua” sosok tinggi besar menyeruak masuk ke dalam ruangan rapat tersebut.

“siang pak” sontan mereka menjawab.

“baik, sekarang agenda kita hari ini adalah fokus sales untuk bulan September” sosok tinggi besar itu kini berdiri di tengah ruangan menghadap langsung ke jajaran anak buahnya yang duduk tegak berkonsentrasi.

“sebagaimana diketahui bersama, bulan ini kerja efektif kita hanya tersisa dua belas hari. Minggu keempat akan banyak yang mengambil cuti lebaran, jadi kita usahakan pencapaian maksimal pada minggu ketiga minimal, 70%.” matanya menyapu seisi ruangan itu.

“saya harap kawan-kawan semua sudah membuat estimasi untuk bulan ini” katanya pelan sambil menghampiri meja paling kiri.

semua terdiam.

“mungkin ada yang punya usul agar bulan ini kita bisa achieve 100%?” ujarnya sambil mengetuk-ngetuk badan meja dengan tangan kirinya.

Tok....tok....tok.....

sunyi.

“Ehem...” seseorang memecah keheningan.
“kalau area saya pak, sepertinya akan melakukan stok di awal bulan. Alhamdulillah, kemarin sudah bertemu bagian pembelian dan mereka bilang oke, mau memesan Glibenclamid satu karton.” dengan bangga ia sampaikan laporan singkat itu.

“bagus, bagaimana yang lain?” kini matanya menyapu barisan bangku sebelah kanan, dan berhenti tepat di mata seorang yang bertubuh pendek gempal. Mata mereka bertemu. Si rep yang gelagapan dengan pandangan mata tadi langsung menjawab terbata-bata.

“Eh, anu pak. Di area Menteng, sejumlah outlet juga telah melakukan order awal bulan ini.” mencari pijakan yang tenang, “cuma, memang volumenya masih kecil pak. Setelah saya tanya ke outle-outlet paretto mereka bilang akan memesan pada akhir bulan saja, takut barang bakal menumpuk kalau pesan sekarang kata mereka” was was.

“Berapa outlet yang bicara seperti itu?” menyelidik.

“Tiga pak, tapi itu outlet besar semua” mencoba berargumentasi.

“Begini, Ben” ia mencoba menenangkan suasana, “coba bilang lagi ke bagian pembelian atau pemilik outlet tadi. Cih, koh, sebentar lagi kan lebaran. Banyak orang yang akan mudik. Kebetulan, obat kami bukan obat musiman. Ia harus terus diminum oleh pasien agar gula darahnya tidak naik. Karena akan banyak outlet yang tutup pada lebaran nanti, pasti akan terjadi lonjakan permintaan sebelum lebaran. Jadi, akan lebih baik kalau pesan sekarang agar tidak terjadi gangguan stok.”

“Bagaimana, paham?” menunggu respon.

“Iya pak, akan saya coba” jawabnya mencari aman. Ia sudah tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan sales managernya itu. Seorang yang memiliki perwakan tinggi besar dan kaya akan segudang pengalaman lapangan di industri farmasi.

“kalau kamu bagaimana?” dengan gerakan yang tanpa dapat diduga.
“Apa permasalahan dengan bagian pembelian di rumah sakit sudah teratasi?” si bos kini mengalihkan pandangannya ke arah gadis berjilbab ungu yang duduk di pojok ruangan.

Perempuan tersebut sedikit terkejut, sebentar kemudian ia sudah menguasai dirinya kembali “maaf pak, sampai sekarang bu Afifah masih belum mau ditemui. Saya sudah coba bawakan makanan ringan ke kantornya, tapi dia masih tetap menolak”.

Bukan jawaban yang diinginkan. Tapi si bos tahu bahwa yang dihadapi anak buahnya yang masih baru itu, juga bukan persoalan sepele.

“sepertinya persoalan di area kamu itu pelik” mencoba mendapatkan simpati
“tapi, bukannya dahulu kamu pernah berhasil membawa SP dari rumah sakit itu?” ia menggali ingatan lamanya beberapa bulan yang lalu, ketika sang gadis yang dalam tahap akhir probationnya itu, berlari kearahnya dengan senyum kemenangan. Dalam benaknya, ia bisa merasakan luapan kegembiraan dalam diri perempuan berjilbab ungu itu, sesuatu yang membuatnya membubuhkan tanda tangan persetujuan menjadi karyawan tetap perusahaan.

“ehmm...”
“Oh.. iya” si gadis berusaha mengingat kembali saat-saat itu
“waktu itu si mas …” astaga kenapa aku hampir lupa nama orang itu, pikirnya. “dia yang beri saya SP pak.” bayangan tentang pertemuan itu kembali meresap ke dalam otaknya.

“Hubungan mas itu sama bagian pembelian memang baik kok pak.” ia kini mulai teringat wajah orang tersebut.

“Tapi itu dulu pak, sebelum kita ada masalah dengan mereka. Lagi juga si mase sudah lama keluar, jadi saya tidak tahu lagi harus berhubungan dengan siapa.” Dia bertanya-tanya kenapa gerangan  pria yang pernah menolongnya itu keluar dari perusahaan.

Tapi dia tetap tidak menemukan jawaban.

“maaf pak” seseorang yang tampaknya atasan si gadis berusaha meluruskan pembicaraan.
“kemarin saya sudah joint visit dengan rep saya untuk menemui bu Afifah, tapi tidak berhasil. Meskipun demikian, kami sudah melakukan appoitment dengan beliau untuk tanggal 28 bulan ini. Pada pertemuan nanti, kami berharap masalah dengan bagian pembelian bisa teratasi.”

“lain kali, kamu harus lebih tanggap terhadap masalah seperti ini Wid”, sang sales manager memberikan penekanan yang dalam kapada nama area manager itu.

“Saya mendapat masukan dari beberapa dokter senior di sana, bahwa obat kita ditukar dengan obat generik oleh apotik. Kasihan kan mereka sudah merasa meresepkan obat tapi malah ditukar oleh preparat yang lain. Kalau ditunda terus menerus pasti bakal mengganggu hubungan kita dengan para customer” wajahnya semakin serius.

“oke bagaimana yang lain?”

3 komentar untuk "Untuk Sebuah Nama"

  1. jadi, si mas itu sudah keluar dari perusahaan ya? karena ingin menghindar dari si jilbab ungu...?

    ouw, jangan-jangan aku nih yang ketinggalan cerita. bentar, tak baca-baca dulu yang sebelum ini :D

    BalasHapus
  2. yup, surat dari langit menjelaskan itu semua.

    BalasHapus
  3. Ajarin nulis kayak ini donkkkk

    BalasHapus