Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanpa Nama

Dia masih terjaga di penghujung malam itu. Memandang garis-garis eternit yang membelah platfom langit-langit menjadi kotak-kotak sama besar. Suasana hening, hanya ada suara cicak kesepian yang menyendiri di pojok kamar, atau jam dinding kecil yang menemani dirinya dari detik ke detik.

Tik.. tik.. tik.. pikirannya terhubung secara ajaib dengan bunyi-bunyi aneh dari peralatan kantor tempat dirinya bekerja. Mesin fax yang mengernyitkan matanya yang genit setiap ada kiriman masuk dari kantor pusat di Jerman. Suara aklamasi dari mailbox yang terus sibuk mengantar email-email yang begitu banyaknya, dengungan perlahan dari mesin fotocopy di ujung lorong yang menyita pikirannya. Dunia yang aneh.

Padahal, dahulu saat ia masih di desa, hanya ada desiran pohon bambu yang sangat akrab di telinga. Klintingan sepeda yu sarmi yang menjajakan baju-baju kredit dengan harga yang menggiurkan, serta teriakan bocah-bocah yang baru pulang dari memburu belut di sawah. Belum ada yang menyaingi suara-suara yang kini samar terus ia ingat di kosannya itu.

“Teetetet.. teetetet..” dua kali handphonenya berdering. Sebuah pesan singkat masuk.

“hmm.. apakah ini?” pikirnya.

Tidak ada petunjuk. Ia hanya mengenali tiga nomer pertama, tapi itu bukan pengetahuan yang pasti. Sisa nomer-nomer yang tergabung aneh, tidak memberikan jawaban akan nama si pengirim.

“sahur.. sahur.. bangun..”

Matanya dengan sayu memandang layar Nokia hitam itu, mengamati barisan huruf-huruf yang tersusun rapih. Huruf dan kata-kata yang telah ia hafal selama tiga hari belakangan.

“ah, sms ini lagi. Dari siapakah gerangan..”

Hari ini bukan pertama kali ia menerima sms sahur itu. Semuanya bermula tiga hari yang lalu. Tiga hari di mana kebekuan itu begitu terasa. Saat rasa sepi dan hambar menerpanya dan bayangan akan derai tawa yang dahulu pernah ia rasakan bersama kekasih hilang pudar.

“Seperti mendengar lagu dangdut..” ia menulis di status Facebook.

“makan, makan sendiri... tidur, tidur sendiri... “

kiranya cuma jejaring sosial ini yang mampu menghibur rasa sakit dan sedihnya. Kalau ia ingin berteriak, dengan segera teman-temannya di dunia maya balas menimpali dengan ledekan-ledekan yang menghibur hati. Beberapa memberi komentar yang menyejukkan, meski ia merasa bahwa itu hanyalah jilatan dan bualan laki-laki semata. Beda halnya dengan rekan-rekan kerjanya yang tidak malu-malu memberi komentar melecehkan.

“aku tahu mereka” pikirnya. “mereka telah berkeluarga, tak mungkin mereka benar-benar berniat mengganguku seperti buaya-buaya lain yang siap menerkam”.

Sebagai perempuan, tentu ia tahu bagaimana rasanya memiliki banyak penggemar. Saat pacaran dahulu ia bahkan menulis 'menikah' sebagai status hubungannya saat itu.

“aku tidak mau ada orang iseng yang mengirimi bunga dan foto-foto machonya kepadaku” ia tersenyum simpul. Ia membanyangkan betapa cerdasnya langkah itu. Beberapa pria yang ingin berkenalan tentu ketar-ketir melihat status hubungannya.

Tapi beberapa buaya memang berbeda.

Ia membayangkan sejumlah pria yang bahkan terus menggodanya hingga hubungan sebenarnya dengan sang kekasih benar-benar putus.

“no body lives alone in this world”
“tapi saya benar-benar sendiri”
“are you?”
“yup..”

Dan pesan berantai itu pun putus. Meninggalkan suasana sepi kembali yang menerkam dirinya. “Sudah larut”, dan ia tak ingin terlambat bangun sahur.

Malam berdesir, membawa kepala-kepala yang terjatuh lelap itu terbang melayang. Mempertemukan mata dengan mata, khayal dengan hati. Ombak berbuih, langit biru, karang-karang besar yang hitam legam, pantai putih berseri dan bibir merona. Merah delima bagaikan manis hendak terlumat. Dan langkah kaki yang lincah, bertelanjang alas meninggalkan jejak-jejak ringan di pasir yang terinjak basah. Udara yang segar menerpa wajah manis tersungging senyum, memancarkan warna penuh harapan. Dalam balutan kain-kain yang berkibar ungu di bawah terpaan angin pantai yang lembut. Selembut wajahmu, selembut bayangmu yang memantul di lensa mataku yang jernih dan bahagia.

“klik!” aku bergaya. “klik!”, aku cantik. “klik!”, aku cinta kamu.

“klik! Teet.. klik! Teet.. klik!”

“teetetet, teetetet, teetetet!” bunyi handphone memecah keindahan mimpi.

“ah, sms dari siapa tengah malam begini?”

“Sahur... sahur... bangun!”

Dia melihat tidak percaya, memandang baris-baris pesan di layar handphonenya sebentar dan sedetik kemudian ke jam dinding kecil yang terus berdetik. Tik..tik..tik..

03:01

Dia kucek matanya sebentar lalu dengan gerakan ringan bangun menuju dapur kecil dekat kamar mandi. Meraih sesedok nasi yang mengepul hangat dari balik magic jar merah tua. Menaruhnya di piring kaca yang telah hadir sepotong daging rendang yang ia beli saat berbuka tadi. Waktunya makan.

Itulah kali awal ia menerima sms sahur yang tidak pernah dia tahu siapa yang mengirimkan.

3 komentar untuk "Tanpa Nama"

  1. Ceritanya menarik, bro...Lanjutkan...Siapa tahu bisa jadi novel.

    BalasHapus
  2. ehmmm....
    sapa ya pengirim smsnya....

    *tuing..tuing... menerka2 dech :)

    BalasHapus
  3. aih...
    sang filosof sudah menjadi pujangga...
    menarik juga.
    lanjut ke serial berikutnya... :D

    BalasHapus