Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanpa Nama (2)

“mbak, tahu tidak pemilik nomer ini?”

“coba saya lihat...”,
“wah, maaf saya enggak tahu.”
“memang ada apa jeung, sms iseng lagi? Ya udah, dicuekin aja”

“enggak kok mba, dia malah baik.”
“dia bangunin saya sahur terus kok” ragu.

“kalau begitu pasti ada maunya tuh”
“pasti cowok kan..”

“belum tahu, habis cuma tulisan ini aja sih yang saya tahu”

“Coba saya lihat...” penasaran.
“iya, ini pasti tulisan laki-laki.”
“lihat cara dia mengetik sms itu, kalimatnya tertata rapih, ada tanda-tanda bahasa lagi.”
“yah, kalau bukan laki-laki berpendidikan, pasti orang yang tengah jatuh cinta sama kamu jeung. Mereka memang sukanya begitu kalau lagi ada maunya. Berpenampilan rapih, bermuka manis, dan pura-pura berwibawa. Tapi kalau sudah mendapatkan yang mereka mau, uhhhh... beda banget deh sama aslinya!” nyinyir.

“ih, mbak, kayak tahu sifat laki-laki aja deh”

“eh, jeung. Aku ini sudah berkeluarga lho!”
“masku itu tuh, waktu masih pacaran dulu, romantissss.. bangat. Kemana-mana royal dia belikan saya apa saja. Kalau saya lapar, malah dia tanya, mau makan apa? Yang enak apa yang mahal? Yang dekat apa yang jauh? Kan asyik bisa naik motor boncengan berdua aja.” melayang.

“lho kok malah teringat masa lalu sih mbak”

“benar itu jeung. Eh, pas sudah menikah, baru deh ketahuan belangnya. Sedikit, sedikit, saya yang harus turun tangan. Dia minta dilayani terus. Bahkan minum saja pakai minta saya yang ambilkan. Benar-benar seperti melihara bayi aja. Bayi bongsor!”
“Hahahaha..” tragis.

“Hahaha..” getir.

Jalan itu melandai lagi. Membuka deretan lampu-lampu malam yang menyala redup. Cahaya emasnya menyinari lantai-lantai aspal yang licin oleh guyuran air hujan. Tidak ada kendaraan yang lewat, hanya angin malam yang deras menerpa wajahnya yang merona, bahagia. Dalam balutan jaket katun merah muda yang pori-porinya menyembul keluar terdesak oleh hembusan angin yang galak, dia peluk erat sosok tubuh di depannya. Begitu erat, seakan tak ingin jua mereka berpisah. Padahal malam itu, hanya ada mereka berdua, motor ini, lampu-lampu itu, dan jalanan yang makin lama makin terasa hanya ada bagi mereka saja.

Teetetet...teetetet.

“maaf ya mbak, sudah ditunggu bos di ruang meeting nih. Nanti kita lanjutin lagi ceritanya.”

“eh tunggu dulu dik..”

dik?

“kenapa tidak kamu sms balik saja,” sedikit berbisik.
“.. dan coba tanya siapa namanya. Kalau si doi tetap menolak, kamu bisa gunakan bahasa yang keras. Nanti juga malu dia.” sebelah matanya berkedip.
“hati-hati ya dik”

dik?
“ah, iya mbak. Terima kasih nasehatnya”.

Perempuan itu segera meninggalkan teman bicaranya di kantor. Setengah berlari menuju ruang meeting yang berada di ujung lorong sebelah kiri. Hak sepatunya yang tinggi terdengar nyaring mengetuk-ketuk lantai marmer gedung megah itu. Meninggalkan bunyi bergema yang lalu teredam oleh lapisan kaca tebal yang mencuat dari dasar lantai ke ke langit-langit ruangan. Kemudian terus meninggi hingga bertemu batas-batas teratas bangunan jangkung itu. Melingkari sisi sebelah kanan lalu jatuh memiring mengikuti postur beton yang langsung menukik tajam ke bawah tanah.

Di kakinya, ribuan orang hilir mudik berjalan, keluar dan masuk, kemudian mengalir rendah ke dalam pintu-pintu kendaraan yang terbuka. Membawa mereka bergerak merangkak di kemacetan kota yang bising. Bau, berasap dan polutif. Membuat jiwa-jiwa itu terkurung rapat kembali di dalam kendaraan mereka yang pengap. Memandangi jalan-jalan yang tidak lagi menarik. Kawanan pedagang asongan yang merangkap jadi preman, anak-anak jalanan yang bernyanyi tidak senonoh, polisi-polisi kumal yang bersembunyi di balik pos-pos mereka. Terik mentari benar-benar telah membuat semuanya menguap. Meninggalkan kabut tipis yang menyekat aku dan kamu.

“Aku dan kamu..”

laki-laki itu terbangun dari lamunannya. Kepalanya yang basah oleh keringat masih bersandar erat di kaca jendela sebelah kiri. Bus yang ia tumpangi baru saja keluar dari kabupaten Purwokerto. Lajunya sangat malas, menyusuri jalan-jalan kecil yang curam, merayap perlahan ke dataran tinggi Bumiayu yang dingin.

“Aku dan kamu..” ia bergumam tidak jelas.

Matanya masih terus melekat erat di kaca jendela itu. Melihat terus refleksi dirinya yang tanpa harapan. Kosong dan degil. Sementara pupil-pupilnya menembus ke ruang batas hamparan persawahan dan hijau bukit yang permai.

“Kenapa aku lewat jalan ini?” sesalnya mengambil jalur utara.

“Bukankah kotanya ada di sebelah sana,” Hanya terpisah oleh sebuah pertigaan kecil ke arah kiri. melewat gugusan jalan lurus yang mengarah terus ke Barat. Sebuah kota pelabuhan yang indah.

“Indah? Aku bahkan tidak pernah berkunjung ke sana. Bagaimana juga aku tahu bahwa kota itu indah.”

Tapi memang bukan kota itu yang ia cari. Lagi apa pedulinya ia dengan kota.

“kota-kota selalu sama,” pikirnya, “mereka hanya bangunan dan jalanan. Yang berbeda orang-orangnya, orang yang ingin engkau temui di kota itu. Itulah yang membuat setiap kota berbeda”.

Saat itu ia hanya ingin bertemu dengan sebuah nama di sana. Nama yang selalu ia rindukan dalam mimpi-mimpinya. Yang entah kenapa begitu menarik dan menawan.

“Tapi apa peduliku dengan nama. Aku tidak mencari nama. Kau bisa menyebut kelembutan padanya, bisa juga kau panggil dirinya dengan bunga, atau wati? Ah, kau bahkan bisa memanggilnya tanpa nama. Tapi dirinya, dirinya...” otaknya membeku.

Ia adalah sebuah wajah.

2 komentar untuk "Tanpa Nama (2)"

  1. hmmm... semakin menarik nih. dua sisi sudah mulai diperlihatkan; laki-laki dan perempuan..

    sebuah nama memang tidak penting, yang terpenting adalah apa yang dilekatkan kepada nama itu. namun, tanpa nama, bagaimana bisa dicari ianya?

    BalasHapus
  2. .....menunggu lanjutannya.....

    BalasHapus