Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

6 Tahun Gaming Bersama AMD


Salah satu hal yang paling menarik dalam merakit komputer adalah menggunakan definisi pribadi atas sebuah mesin yang akan kita rakit.  Apabila merujuk kepada istilah ini, maka setidaknya sudah lebih dari enam tahun saya berkawan akrab dengan prosesor AMD. Advance Micro Devices (AMD), pembuat prosesor nomer dua setelah Intel Corporation, memang tidak terdengar akrab di telinga orang awam. Sistem berbasis AMD sendiri lebih dikenal oleh enthusias user, yang notabene penggemar game, sebagai prosesor alternatif dengan harga terjangkau dan kemudahan untuk dioprek, bila dibandingkan dengan produk Intel yang menjadi mainstream dan menguasai sekitar 80% pasar desktop.

Perkenalan pertama dengan prosesor AMD adalah pada saat membeli PC pertama saya. Saat itu, karena masih buta informasi, saya berusaha mencari tahu lewat media majalah. Tahun 2001, majalah komputer yang kemudian menjadi rujukan IT saya adalah CHIP. Saya ingat tema pertama yang muncul saat itu, berkaitan dengan racikan hardware untuk PC rakitan. Dua prosesor AMD menempati tempat terhormat sebagai komponen untuk PC kelas ekonomis sekaligus High End. Duron untuk budget terbatas dan Athlon sebagai Top End. Kala itu, memang terjadi perlombaan antara Intel dan AMD perihal mencapai batas 1 Ghz. Pentium III diuntungkan dengan suhu operasi yang jauh lebih rendah dibanding kedua prosesor saingannya. Meskipun demikian, penggunaan memori DDR yang lebih dahulu diaplikasikan oleh AMD, selain faktor harga dan kemampuan prosesor untuk dioverclock dengan mudah, memberi nilai tambah tersendiri bagi mereka yang berminat dengan dunia hardware. Sayang sekali, setelah berdiskusi dengan si perakit komputer, saya akhirnya memutuskan membeli sistem Celeron 1 Ghz, daripada mengikuti anjuran CHIP, Duron 800 Mhz.

Personal Computer saya ini, memang sangat stabil, tapi sayangnya hanya bertahan sekitar tiga tahun masa penggunaan. Pada tahun terakhir, motherboard Jetway tidak bisa masuk BIOS dan kemudian sistem mati total. Kalau mau bersusah payah, barangkali kerusakan BIOS itu bisa diperbaiki. Yang menjadi masalah, modul SDRAM yang digunakan oleh Celeron sudah jarang di pasar. Tidak sampai setahun setelah saya membeli PC ini, Intel mengumumkan dukungannya terhadap DDR dan membatalkan penggunaan memori RAMBUS bagi sistem mereka. Sejak itu, pasar di penuhi oleh jajaran memori DDR yang menjadi standar baru menggantikan SDRAM.

Jauh sebelum kematian si Celeron, rupanya saya sudah terasuki virus AMD. Saya bahkan selalu mengangankan  untuk merakit sistem PC sendiri menggunakan prosesor soket A sebagai otaknya. Keinginan saya kemudian terkabul, setelah seorang sahabat saya hendak merakit komputer. Kami berdua kemudian pergi ke Mangga Dua Mall untuk belanja komponen rakitan. Spesifikasi komputer yang saya susun itu adalah: Athlon XP 1800+, DDR 256 MB dan Motherboard VIA buatan Chaintech serta GeForce FX 5200 Karena isu razia software bajakan, maka toko hanya berani merakit kompenen tanpa mau menginstall aplikasi Windows.  Kebetulan, saya memiliki copy XP di PC, yang saat itu selalu berganti OS, mulai 98 SE, Millenium Edition, 2000 dan Win XP yang tidak berjalan stabil karena komputer hanya memiliki 128 MB sistem memori. Maka, setelah sampai di tempat kost kawan saya, saya instalasikan XP ke dalam PC rakitan saya yang pertama itu. Hasilnya, hebat. Apalagi, komputer tersebut memang didesain sebagai Gaming PC kelas mainstream. Tercatat, game Medal of Honor dan Mafia mampu dieksekusi dengan mulus pada komputer tadi.

Motif saya menggunakan AMD adalah game. Rumusan merakit komputer adalah dengan membeli prosesor di bawah satu juta atau sekitar 800 ribu-an, mencari motherboard yang bagus tapi dengan harga maksimal yang tidak lebih tinggi dari 1 ¼ juta dan menyisakan dana maksimal 1 ½ juta untuk kartu grafis. Maka dengan budget 5 jutaan, setidaknya saya mampu membangun sistem game murah lengkap yang mampu menjalankan semua game yang ada pada saat itu dengan resolusi 1024 x 768. Dengan rumusan demikian, maka prosesor AMD menyediakan rasio harga per kinerja yang lebih maksimal dari Intel. Hal inilah yang saya ungkapkan kepada kawan saya tadi tentang minatnya saat hendak membeli komputer yang bukan saja mampu menjalankan program office, tapi juga game dengan harga terjangkau.

Selang dua tahun kemudian, ketika Celeron mati, saya merakit komputer yang kedua. Kali ini untuk kebutuhan sendiri dan kembali menggunakan AMD. Prosesornya tidak jauh berbeda dengan rakitan pertama, Athlon XP 2000+, memori serupa, motherboard Gigabyte dengan chipset SiS dan ATi Radeon 9600 sebagai kartu grafisnya. Konfigurasi ini memang tidak lazim, karena kinerja sistem ternyata terhambat oleh kinerja chipset SiS yang lambat. Padahal bila menggunakan chipset Nforce serta memakai GeForce FX 5200, kinerja PC bisa lebih dimaksimalkan. Tapi apa boleh buat, saya ingin merasakan keindahan grafis dari Ati yang dalam beberapa poin lebih bagus dari NVIDIA dengan tradeoff kinerja yang sedikit rendah. Tentu saja asumsi ini hanya berlaku bagi orang yang memiliki budget yang sangat ketat seperti saya. Game favorit saya saat itu adalah seri Elderscroll Morrowind III, sebuah MMORPG yang bebas dengan tampilan grafis DirectX 8 yang memukau, meski tidak pernah saya selesaikan sampai akhir dan Max Payne 2.

Entah karena pemakaian yang eksesif, arus listrik yang tidak stabil atau gabungan keduanya, tidak lebih dari 2 tahun, kartu grafis mulai bermasalah. Awalnya, muncul artefak di layar, disusul sistem yang tidak stabil dan kemudian mati total. Untungnya juga, prosesor dan motherboard baik-baik saja. Saat itu, saya tengah berada di Makassar dan adik saya sedang menyelesaikan skripsi. Setelah mengganti VGA dengan kartu grafis FX 5200, sistem pun berjalan stabil. Sampai saat ini, PC tersebutlah yang saya gunakan untuk komputasi sehari-hari. Tentu saja setelah menambahkan 512 MB DDR dan mengganti monitor dengan layar LCD 17” Samsung serta speaker Klipsch 2.1.

Selama di Makassar, saya sempat pula merakit PC untuk kawan saya di sana. Kali itu saya menggunakan Sempron 2200+ sebagai otaknya dengan kartu grafis NVIDIA berbasis PCIe yang sudah saya lupa jenisnya. Penggunaan Sempron yang hanya berharga 600 ribuan sebenarnya langkah yang berani, mengingat harga kartu grafis pada sistem kali ini hampir dua kali lipat harga prosesor. Penyebabnya apalagi jika bukan anggaran yang terbatas. Dampaknya, untuk program tertentu, tenaga PC ini tidak begitu bagus, meskipun bisa digunakan untuk menjalankan game kelas menengah dengan resolusi 800x600. Alasan lain, karena pada saat itu belum muncul motherboard dengan chipset grafis terintegrasi yang dapat diandalkan yang bisa menjalankan aplikasi dengan DirectX 9.0 c secara lancar, sehingga trade off  dilakukan pada komponen prosesor.

Pengurangan budget pada prosesor didasarkan pada anggapan bahwa sebenarnya kita tidak terlalu membutuhkan prosesor yang  sangat cepat untuk sekedar bermain game. Ditambah, fakta bahwa beberapa prosesor AMD memiliki potensi kinerja yang tinggi, maka upaya merakit PC kelas ekonomis bisa terwujud. Namun sepertinya, situasi yang muncul jauh berbeda dari yang diharapkan. Selepas Pentium IV Intel mulai merajai pangsa pasar gaming. Posisi AMD sebagai pilihan budget gaming PC sedikit terpengaruh, disusul kegagalan prosesor Athlon 64 bit di pasaran. Ketika Intel beranjak kepada sistem komputasi multi core, terasa jarak antara keduanya semakin jauh. Selain itu, pertumbuhan game dengan spesifikasi yang haus resource semakin tinggi. Sebagai perbandingan, pada tahun 2004, rata-rata sebuah game membutuhkan 2-4 GB ruang harddisk. Dua tahun terakhir, ruang hardisk yang dibutuhkan semakin besar hingga lebih dari 20 GB. Dengan jumlah demikian, tentu saja faktor prosesor tidak dapat dikesampingkan lagi.

Beruntung, sejak merger AMD dan ATi, muncul solusi gaming yang lebih ekonomis. Chipset grafis terintegrasi dengan kinerja yang tinggi. Setidaknya itu ditunjukkan oleh dua chipset terakhir, AMD 780G dan 790GX. Hal ini saya rasakan sendiri saat merakit komputer gaming ekonomis terbaru buat sepupu saya beberapa hari lalu. Dengan budget 2,850 juta setidaknya saya mampu memainkan game DirectX 10 dengan resolusi hemat, 1280 X 760. Komponennya apalagi kalau bukan Athlon X2 7750 (2,8 Ghz) dan motherboard Biostar T790GX 128M ditambah Corsair DDR2 2 GB. Sebuah solusi ekonomis mengingat kemampuan ekspansibilitas motherboard yang lumayan tinggi, bisa upgrade hingga Phenom dan menggunakan sistem grafis Crossfirex serta suhu prosesor yang rendah. Bahkan lebih rendah dari prosesor Intel saat ini yang dilengkapi HSF ekstra besar. Mungkin ini strategi jenius dari AMD yang kalah telak dalam soal kinerja dari Intel, tapi menang dalam urusan konsumsi listrik dan suhu operasi yg rendah, serta tentu saja harga yang jauh lebih terjangkau untuk pasar prosesor mainstream dan ekonomis.

Bila dihitung, mungkin lebih dari enam tahun sudah saya bermain game bersama AMD.

catatan kecil:
  • AMD menggunakan kode K bagi arsitektur prosesornya. Athlon XP misalnya, dinamakan K-7, sedangkan prosesor terkini seperti Athlon II dan Phenom II memiliki kode K-10. K diambil dari istilah komik Krypthonite, sebuah unsur yang mampu mengalahkan Superman. Tentu Superman yang dimaksud di sini adalah Intel.
  • Istilah XP pada Athlon XP tidak seperti istilah pada Windows XP yang berarti experience. Oleh AMD, singkatan tadi merupakan kepanjangan dari extra performance, yang berawal dari perang urat syaraf dengan Intel. Ketika keluar Pentium IV Intel membanggakan kemampuan dari prosesor mereka yang memiliki clock yang tinggi. AMD yang tidak mampu mengejar membuat definisi terbaru tentang clock ini dengan menggunakan istilah rating performance. Misalnya Athlon XP 2000+ yang memiliki clock 1,6 Ghz tidak bisa disandingkan dengan Pentium IV 1,6 Ghz, tapi dengan Pentium IV 2 Ghz, yg notabene 4 megaherzt lebih cepat.
  •  Gambar di atas adalah logo bagi prosesor AMD K-10 Phenom X4, dan gambar tersebut saya ambil di sini.


7 komentar untuk "6 Tahun Gaming Bersama AMD"

  1. perasaan gw campur aduk soal AMD. Bila motherboardnya jelek, multitasking jd lambat. Laptop intel katanya lebih hemat baterai. AMD identik dg panas. Tp 3 th lalu ada temen pernah beli Sempron 3000+ x86_64 edisi awal, prosesornya benar2 dingin. Trus ada temen beli P4 3GHz socket L745, kipas anginya brisik.

    Intinya kalo beli AMD, cari mobo yg mahalan dikit (gigabyte) & kartu grafis ATI. Jreng !

    BalasHapus
  2. ceritanya bagus dan runtut, dapat ditelusur untuk dikaji kembali bahkan oleh saya seorang awam. trima kasih.

    BalasHapus
  3. saya pakai sempron 3100+, udah jadulkah itu? saya sama sekali gak paham soal yang beginian, cuma bisa pakai saja, kalau ada masalah, tinggal antar ke service centre... ;)

    btw, hebat juga ya dirimu, mahir sangat otak-atik kompi... ada hubungannya ya antara filsafat dengan perakitan komputer...? hehe... :D

    BalasHapus
  4. @ Sonny, saya coba pakai BIOSTAR kemarin. Pertama kali memang tidak stabil, tapi setelah swap motherboard (mereknya sama) sudah berjalan lancar kembali. AMD memang untuk enthusiast user :p

    @ Kang Nur, terima kasih banyak :-)

    @ Anonim, sama-sama

    @ Uda Vizon, Sempron 3100+ memang bukan barang baru, tapi tenang, komputer di rumah saya jauh lebih jadul lagi. Komputer dan filsafat? Bukannya sama-sama kajian logis da. He..

    BalasHapus
  5. Q pake turion xp 64 graphik ati 1gb mnurut mas gmn? N apakah amd lbh dingin dr intel cz kta tmen q amd tu jelek.tlng dibls lwt email saya junie.art@gmail.com

    BalasHapus
  6. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus