Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Media, Insulin & Realitas

Anda pasti sudah menonton film aksi spionase mendebarkan ala 007 dan rekan Asianya dalam Tomorrow Never Dies. Tentang seorang milyuner media yang berambisi menguasai dunia dengan memberikan pemberitaan yang sangat cepat. Begitu cepatnya hingga berita yang ia buat bukan lagi cerminan dari realitas, tapi keberadaan berita itulah yang kemudian menjadi realitas sendiri. Kematian Bond yang terbit pada headline koran pagi hari, bahkan mendahului realitas kejadian yang sesungguhnya. Media kemudian tersesat dalam ilusi dan hasrat. Hubungan pictorial antara fakta atomik dengan wacana menjadi hilang, yang hadir adalah dua dunia. Dunia faktual dan dunia konseptual. Tapi pembedaan gamblang yang sering kita sebut dengan ilusi itu, menjadi kabur ketika raksasa media menggurita, merasuk kedalam partikelpartikel terkecil otak kita lewat pantulan gelombang elektromagnetik dalam televisi yang hadir di ruang keluarga. kita menyebutnya dengan reality show, breaking news, atau apalah yang sanggup memalingkan kesadaran kita akan kekinian. kita tercerap dalam dimensi baru yang imajiner. Imajiner karena kita menganggap seolaholah kita merasa berinteraksi, padahal yang sesungguhnya ada hanyalah eksploitasi sejumlah kemungkinan sampai batas yang tidak wajar.

Kekuatan media ini, bukan tidak diketahui. Para jurnalis bahkan sering menganalogikan pena yang mereka miliki ibarat pedang, serta tintatintanya laksana darah. Mereka tidak membunuh, mereka hanya memaparkan sebuah paradigma. Tapi paradigma bagi seseorang yang selalu duduk di goa Platonik, ibarat racun pembebasan yang menjadikannya kritis, tidak lekas percaya, dan sangat susah dipengaruhi. Tapi itu dahulu, saat koran mencapai kejayaannya di pertengahan abad XX. Kemudian berkembanglah teknologi televisi yang merubah kembali bahasa tulis menjadi imagi. Sebelumnya, teks merupakan perantara antara realitas faktual dan pikiran kita. Di sini, mau tidak mau kita mengikuti setiap baris kalimat yang dituliskan si pengarang, membayangkan kejadian yang sebenarnya di kepala kita dan berimajinasi sampai batas kemampuan bahasa kita yang terdalam. Di zaman televisi, realitas itu hadir utuh didepan mata kita memberikan pengalaman multimedia yang canggih, serasa diri kita hadir di sana, hingga kita lupa bahwa sesungguhnya masih ada perantara yang hadir antara kita dan realitas.

Sebenarnya lebar sudut tangkap lensa-lah yang membuat semuanya berbeda. Kemampuan mata kita bagaimanapun masih jauh lebih unggul dari rasio tv widescreen yang paling canggih. Kecuali ketika teknologi virtual reality dalam bentuk kacamata hadir sebagai mata kedua kita. Dalam konteks layar, rasio panjang dan lebar memberikan titik fokus yang berbeda dari cara kita melihat. Sorotan kamera kepada sebuah wajah dari sudut pandang sebelah kanan, kemudian zooming yang semenamena pada sebuah detil, dilanjutkan kepada gambaran penuh bahasa tubuh yang menyidik, ketika gambar tersebut berulangulang kita cerap, tanpa sadar akan terbentuk sebuah pemahaman yang belum tentu sama dengan realitas faktual. Kita merasa seakan itulah realitas, tapi bukan. Itu hanyalah komposisi dan komposisi adalah selalu uruturutan logis dari sebuah pemikiran, cara pandang, citra rasa, keyakinan dan bahkan ideologi dari seseorang. Tanpa disadari kita meminjam konsep diri orang lain untuk mengalami sebuah realitas.

Saat internet menjadi barang sipil, terjadi ledakkan wacana. Bila sebelumnya televisi yang menjadi produsen wacana, kini tibalah masyarakat yang menjadi produsen. Merekalah yang menciptakan sekaligus menkonsumsi semua wacana yang ada. Di sini bukan hanya dua atau tiga sudut pandang yang hadir, tapi bisa ribuan jumlahnya. Meskipun demikian, bukan berarti hal tersebut membuat masyarakat menjadi terbuka dalam menerima sebuah ide. Pada era internet, bukan wacana yang dibatasi, tapi pikiran kitalah yang membatasi. Tanpa disadari, kita melakukan self-sensoring terhadap diri kita sendiri. Jumlah daftar blog yang ada di halaman kiri blog kita, situs favorit yang tanpa sadar selalu kita buka terus, kawankawan Facebook yang membludak lebih dari 500 orang, tapi hanya ituitu saja yang menjadi perhatian kita seharihari. Otak kita menjadi lemah akibat banjir informasi yang begitu besarnya. Prioritas bukan lagi untuk mengumpulkan informasi, tapi untuk menseleksi yang signifikan dari begitu banyak sampah yang ada. Kita menjadi lelah menelan data, sama seperti tubuh kita yang juga bosan dicekoki nutrisi dan mengakibatkan dual defect.

Bisa dibilang bahwa diabetes dapat dianalogikan sebagai gambaran masyarakat kita saat ini. Permasalahan diabetes adalah dual defect, yang digambarkan sebagai fenomena resistensi insulin dan kerusakan sel beta pankreatic. Semuanya berawal dari daya serap kita yang dahsyat akan segala suatu. Ketika gaya hidup berubah, dan kesempatan untuk bersusahpayah menipis, kuncikunci reseptor insulin di seluruh sel makin lama makin resisten terhadap insulin. Mekanisme kerja tubuh kita itu logis. Bila kadar gula darah meningkat, otak secara otomatis memerintahkan sel beta pankreas untuk memproduksi insulin. Insulin ini ibarat kunci yang membuka pintu masuk sel agar dapat menerima asupan gula sebagai bahan metabolisme sel. Suatu ketika, saat jumlah gula semakin tidak terkontrol, reseptorreseptor insulin menjadi tidak peka. Ketidakpekaan reseptor insulin ini, mirip seperti hilangnya medan magnet di kunci kamar hotel yang mengakibatkan kita tidak bisa masuk ke dalam kamar. Lama kelamaan, kadar gula darah turus meninggi, sementara selsel tubuh terus berteriak kekurangan gula. Benarbenar sebuah anomali.

Dan pankreas pun bekerja terus menerus memproduksi insulin yang seakan tidak ada gunanya karena tidak mampu membuka pintu masuk sel. Akhirnya organ ajaib itu menyerah. Ia tidak dapat lagi memproduksi insulin. Sama seperti otak kita yang pada akhirnya menyerah karena tidak bisa lagi menciptakan wacana. Atau seperti limbungnya bursa saham akibat euforia para pialang yang harga sahamnya terus meroket hingga tidak ada satupun orang yang mampu membelinya karena terlalu mahal. Sayangnya, tubuh kita tidak seperti grafik ekonomi yang mengalami kontraksi dan dilatasi. Ketika pankreas wafat, artinya hanya satu. Ketergantungan seumur hidup terhadap injeksi insulin buatan. Dalam dunia wacana, itu berarti kembalinya chaos kepada diktator. Atau seperti kejatuhan Altavista, MSN, Vivisimo, Yahoo, Live ke bawah dominasi Google. Erich Fromm menggambarkan gerak kembali ini dengan pas dalam bukunya, Escape from Freedom, Lari dari Kebebasan.

***

Ah, kenapa juga kita lari dari kebebasan? Dan anehnya semua itu lahir dari dalam diri kita sendiri. Keinginan kita untuk lepas dari sebuah despotisme justru berakhir di tiang gantungan diktator wacana, supreme lord of media. Dan semua terasa begitu alami, begitu wajar, begitu nyaman. Hanya segelintir yang bersuara dan mengungkapkan teori konspirasi. Ah, teori konspirasi, bukankah itu sudah jadi makanan seharihari dalam drama reality show? Tidak ada manfaat dan belum satupun yang terbukti. Jadi, kenapa tidak kita lanjutkan?

1 komentar untuk "Media, Insulin & Realitas"

  1. Yup, kita harus lebih cerdas menyeleksi! terutama program2 reseller yang menjanjikan uang berlimpah... dalam waktu dekat saya akan mengulasnya dalam blog saya.

    BalasHapus