Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

45 Menit di Pengadilan

Akhir bulan kemarin, saya benarbenar apes. Kena tilang oleh polisi yang sedang bergentayangan. Bukan masalah berat sih, tapi berhubung reputasi tidak pernah kena tilang selama lima tahun dan kebetulan izin mengemudi saya bakal habis masa berlakunya Juni tahun ini, peristiwa tilang kemarin benarbenar bikin saya senewen. Bukan karena itu pelanggaran kecil yang menurut saya hanya kesalahpahaman biasa, tapi karena saat proses penilangan itu sendiri yang membuat saya tidak puas.

Awalnya, saya berencana pergi ke RS Harapan Kita, mengantar berkas penting untuk bos saya yang telah menunggu di sana. Dari bilangan Kuningan tidak ada masalah meski harus terseret arus hingga ke arah blok M, tapi akhirnya bisa kembali lagi ke Gatot Soebroto dengan putarputar melalui jalan kecil Kebayoran Baru (Pliis deh, dua kilometer lebih tidak ada putaran. Mana di Mampang Perempatan tidak bisa langsung belok ke kanan lagi). Dari Gatsoe ke arah Semanggi, lurus ke Senayan menyeberangi Slipi dan sampailah di junction Tomang.

Dahulu saya sudah pernah berkunjung ke rumah sakit tersebut. Letaknya di sebelah kanan jalan, yang berarti harus mencari putaran untuk bisa ke sana. Tapi karena lupa letak rumah sakit tadi, jadilah saya harus memperhatikan gedunggedung di seberang jalan S. Parman. Rupanya tanpa saya sadari, saya telah sampai di persimpangan Tomang yang, ampun deh, ada 6 pilihan jalur! Paling kanan sepertinya fly over, paling kiri fly over juga. Berarti tinggal empat pilihan di depan mata. Tapi yang mana? Papan petunjuk arah sudah terlewat dan sekarang saya harus menebak. Apakah Harkit sudah dilewati apa belum. Kalau belum berarti saya harus ambil jalur ketiga yang lurus itu. Tapi bagaimana bila sudah terlewati. Kalau pun saya lurus, di depan pasti ada putaran. Sedang, bila saya berputar balik dan terbukti belum melewati Harkit, berarti saya harus putar arah di Slipi yang berarti satu kilometer lebih dari tempat saya berada. Lagi juga, untuk berputar balik saya harus menerobos kendaraan yang berjalan kencang di lajur paling kanan. Bagi saya hal tersebut sangat riskan. Maklum, posisi saya berada di bahu jalan sebelah kiri.

Kebetulan, saya melihat kendaraan patroli polisi tengah diparkir di bahu jalan jalur 3. Dengan niat baik saya hampiri kedua polisi yang berjaga di sana dan menanyakan letak RS. Harapan kita. Seorang menunjukkan dan menyuruh saya untuk berputar di jalur 5. Setelah berterimakasih, dengan sembrono saya malah melawan arus menuju lajur berputar yang terlewat beberapa meter di belakang. Maklum, biker. Rupanya, tanpa saya sadari, sepasang mata tengah mengintai gerakgerik saya tadi. Jadilah beberapa meter selepas putaran saya diberhentikan dengan paksa oleh polisi yang mengintai tadi. Dan mulailah prosedur penilangan di mulai. pemeriksaan suratsurat berkendara, kondisi motor dan baru ke delik tuntutan.

"kenapa kamu masuk jalan tol?" Kata si polisi dengan nada menuduh, yang langsung saja saya tolak.
"Saya tidak masuk jalan tol. Saya hanya bertanya ke polisi yang berada di sana kemana arah RS. Harapan Kita."
"Tapi saya lihat kamu masuk jalan tol." masih tetap menuduh.
"Jalan tol yang mana maksud bapak, saya tidak merasa masuk ke jalan tol kok".
"lho, saya jelasjelas melihat anda ke jalan tol".
"Itu pendapat versi bapak. Versi saya berbeda. Saya hanya bertanya ke polisi yang kebetulan di lajur nomor 3 itu."
Sungguh, saya tidak tahu kalau lajur nomor tiga itu adalah lajur tol. Dan setelah saya lewat sekali lagi saat ke pengadilan negeri, ternyata ada satu lajur yang terpisah dari nomer 3, katakan itu nomer 2, yang memang menuju ke jalan tol. Ruparupanya si polisi melihat saya seolaholah dari lajur nomer 2 itu. Dan inilah yang menurut saya titik salah pahamnya.
"Oke sekarang kita pake versi siapa?" Katanya memancing.
"Kita bandingkan saja".
Mendengar ucapan saya itu rupanya si polisi ini naik pitam. Ia kemudian malah menceramahi saya segala.
"Sebenarnya saya ingin menolong kamu. Kalau kamu mengakui kesalahan kamu tadi, hukumannya tidak akan berat. Tapi karena kamu tetap bersikeras ya sudah saya tulis surat tilang saja. Denda tilang masuk tol itu mahal lho. 100 ribu rupiah. Sekarang gimana, mau saya tolong apa tidak?"
"Menolong itu apa?" Aku malah memancing lagi
"berapa uang di dompetmu?"
Saya ambil dompet dan buka lebarlebar di depan hidungnya.
"jadi berapa? 20?" Kupikir dia bakal marah dan benar saja. Ia melihat SIM saya dan kembali mengarahkan pandangannya ke saya.
"saya ini sudah jadi polisi saat kamu belum lahir. Nih, lihat tanggal lahir saya di KTP" Ia buka dompetnya menunjukkan kartu tersebut dengan nada intimidasi. Entah kenapa ia melakukan itu, apa ia terintimidasi juga dengan perawakan saya.
"Kalau bicara tidak usah berbelatbelit. Jadi gimana?" Katanya kembali memojokkan
Karena sudah tahu niatan buruk polisi ini, giliran saya yang naik pitam. Benarbenar busuk pikirku, dan yah begitulah kalau saya marah, bahkan menatapnya saja sudah tidak sudi lagi.
"Terserah!" kataku. Entah hendak menuduh saya masuk tol kah, menyusuri tol Jagorawi hingga Cikampek kah, atau menyebabkan kemacetan panjang, saya sudah benarbenar tidak peduli lagi dengan tuntutannya itu.
Dan polisi ini yang tidak saya ingat namanya, melihatnya saja sudah tidak sudi apalagi mengingat namanya muak sekali, mulai menulis surat tilang sambil bla bla bla berbicara yang tidak ada satu pun masuk dalam ingatan saya.
"17 April, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat"
Setelah peristiwa tadi, benarbenar dongkol rasanya. Saya jadi membenci hampir setiap polisi lalu lintas yang bertugas. Busuk sekali mereka mengharapkan uang sogok, kerjaannya cuma menjebak orang saja demi keuntungan dirinya sendiri. Rakus!

Yang terus membuat saya dongkol adalah sebuah pertanyaan mengusik. Kenapa saya bisa kalah adu argumentasi dengan polisi? Kupikirpikir sekali lagi, mungkin akibat terbawa emosi, akhirnya bicara saya hampir tidak dapat diterima oleh mereka. Atau mungkin memang niatan mereka yang berbeda. Tapi kemungkinan kedua ini jelas pengaruh eksternal yang tidak mungkin saya rubah dan karenanya saya cenderung percaya pada kemungkinan pertama.

Kalau begitu saat sidang nanti saya akan buat pembelaan dengan argumentasi yang canggih, alibialibi yang tak terbantahkan, bahkan kalaupun harus dikonfrontasi dengan polisi yang menilang saya, akan saya buat dia diam seribu bahasa. Jika ia menuntut saya dengan satu pasal, giliran saya menuntutnya kembali dengan tiga pasal tambahan, termasuk mencoreng citra kepolisian, melakukan pungli dan intimidasi serta merongrong supremasi sipil yang berbasis hukum. Hei, itukan sebuah tuntutan yang serius. Masa bodoh pikirku.

Pagi ini, lewat duapuluh hari, setelah menyiapkan uang sebesar 300 ribu untuk jagajaga, saya berangkat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat di Slipi. Jalanan macet dan kupikir tidak akan sampai tepat waktu dari jadwal sidang yang tertulis pukul 08.00. Tapi untuk apa buruburu kupikir. Yang dibutuhkan saat ini hanyalah ketenangan berpikir untuk meramu argumentasi dengan logis di hadapan hakim, melatih vokal agar keluar dengan bulat dan berbobot serta sikap yang pas. Akhirnya setelah dua jam berkendara, tibalah di gedung pengadilan sekitar kam 09.00.

Gedung pengadilan ini ramai. Ratusan orang berjubel memenuhi tiga ruangan sidang. Setelah menyerahkan kertas tilang, saya dipersilahkan masuk ke ruang nomer 3. Di sana ruangan juga telah penuh oleh para pengemudi seperti saya. Samarsamar terdengar suara pembelaan para terdakwa yang sesekali diiringi derai tawa para pengunjung. Berdesakdesakkan kulihat majelis itu. Seorang hakim pria bertubuh besar, di dampingi tiga orang pembantu di kanan kirinya. Mukanya tidak serius, bicaranya juga bersahabat dan dengan lancar mengalirkan joke lucu kepada para terdakwa. Tiga menit di ruang sidang, semangat balas dendam saya mencair. Saya malah menikmati proses pengadilan yang penuh guyon itu.

Benarbenar tidak ada pelanggaran serius. Kebanyakan karena melanggar rambu lalu lintas yang bagi sebagian peserta sidang akibat perubahan lampu hijau ke merah yang terlalu cepat. Si hakim dengan cerdas menimpali pembicaraan peserta dengan mengatakan itu sebagai mencuri buntut dan lagi apes saja ketemu polisi. Dan tertawalah seisi ruangan. Pelajar yang sudah tidak pake helm melanggar rambu lalu lintas dan berjalan melawan arah; tukang ojek yang mencuri buntut; perantau yang salah masuk ke jalan verbodden; supir angkot yang ngetem lama; Metromini yang tiga supirnya tidak punya SIM sama sekali hingga supir truk yang salah jalan. Benarbenar pengadilan kampung, ramai dan hidup.

Sekarang giliran saya.
"Himawan Pridityo. Susah sekali namamu dieja"

"Iya pak"
"Hmmm jauhjauh dari Bekasi cuma untuk ditilang. Kenapa?"
"Di perempatan sana karena tidak tahu arah RS. Harapan Kita saya bertanya kepada polisi sekitar perempatan.  Kata mereka saya harus putar arah dan kebetulan bertemu dengan polisi yang langsung menilang saya".
Di sini argumentasi saya melunak dan mulai menyesuaikan dengan keadaan yang ada.
"yah, itu namanya lagi kurang beruntung saja. 35 ribu!"
Tigapuluhlimaribu rupiah. Wajarlah menurutku, dan langsung aku setujui sambil tersenyum.
"Namanya juga lagi apes pak. :D"
Hampir 35 menit menunggu dan tidak sampai 2 menit sidang, langsung menuju kasir di lantai satu membayar denda tilang dan kembali pulang. Benarbenar tidak bisa dipercaya dan mirip sekali dengan sidangsidang mahkamah bahasa di Gontor dulu, bahkan lebih santai.

Dalam perjalanan kutersenyum. Dendam kesumatku tadi, ah kenapa juga aku begitu sentimentil. Hukum pada akhirnya sama seperti permainan yang kita mainkan setiap hari. Catur, sepak bola, monopoli. It's just a game, so why so serious. Namun, terlepas dari serius atau tidak perbuatan kita, ternyata ada satu hal yang saya pelajari sampai siang hari ini. Kita harus melek. Bukan saja melek abjad, teknologi, tapi juga harus melek polisi, hukum, pengadilan dan kenyataan bahwa bagaimanapun begitulah bangsa kita. Tidak bisa dipungkiri dan dinafikkan. Mungkin pula sudah saatnya harus ada kitab hukum perdata, KUHP, peraturan lalulintas serta undangundang pajak di rak buku saya, agar tidak ada lagi ketidaktahuan tadi. Bayangkan hanya 35 ribu saja! Coba kalau termakan hasutan polisi tadi. Serta, undangundang perkawinan, kalau saya sudah nikah nanti. :D









4 komentar untuk "45 Menit di Pengadilan"

  1. HIM,

    Hukum adalah bidang ilmua yang saya benci.
    Tapi sejak datang ke Jepang, aku pikir semua dasar kehidupan itu ya terletak di Hukum. Kalau kita tahu hukum kita kuat. Dan itu membuat aku ingin belajar hukum.

    Tapi, kalau di jepang mau belajar hukum, gampang tinggal beli buku dan baca. Di Indonesia? hmmm aku tidak mau buang waktu di fakultas. Toh bukan gelar yang kucari. Ilmu!

    apes, tapi dr situ banyak belajar dan merenung ya?

    EM

    BalasHapus
  2. selamat, anda telah berhasil menghindar dari "menempeleng" polisi, hehehe...

    seringkali kita "terhukum" oleh bayang2 yg kita ciptakan sendiri, sebelum hukuman yg sebenarnya diputuskan...

    selalu sabar ya bos... aku juga mau belajar nih :)

    BalasHapus
  3. Wah, menarik juga pengalaman di pengadilan ecek2 ini. Aku hampir saja mengalaminya, tetapi akhirnya diwakili oleh seorang kolega istriku yang kantornya dekat. Aku kena tilang karena nggak kebagian buntut di perempatan harmoni. Polisisnya masih muda dan nggak mau damai. Ya udah ditilang. Setelah disidang, ternyata bayarnya cuma sekitar 40 ribu. Jadi, kalau nggak ada waktu ke pengadilan, minta tolon g aja ke teman yang kantornya dekat dengan pengadilan. He he...

    BalasHapus
  4. @ bu Imel, setuju sekali! Apalagi kalau ada korelasi antara pengetahuan dan keberanian, berarti tinggal sabar yang harus dipelajari. :D

    @ uda Vizon, yups!

    @ bang Hery, yah kalau ga ada yang pergi ke tempat macam begitu tidak akan kita tahu suasana pengadilan seperti apa. Lagi juga, menurut saya, pergi ke pengadilan itu kan salah satu tanda peradaban. Jadi, bisalah kita memulai yang baik dari sana. :D

    BalasHapus