Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melihat Anna di Indonesia

Siapa yang tidak kenal Anna, Anna Karenina. Novel masyhur karya Leo Tolstoy, Novelis dan sastrawan terbesar Rusia. Sebenarnya pula, siapa yang tahu? Toh, saya juga baru membaca karya besar ini beberapa hari yang lalu. Meski sudah lama saya tahu ada novel besar karya Tolstoy yang bernama Anna itu, nyatanya pula saya baru bisa membacanya, mengetahui isinya dan memahami kebesarannya dalam hitungan hari. Jadi, sah juga kalau saya katakan siapa yang tahu? Karena kita manusia memang terbiasa untuk tahu, purapura tahu. Menganggap segalanya ada sebagaimana dia ada, tanpa bermaksud mengetahui bagaimana ia ada dan mengapa ia ada. Jadi, siapa yang tahu bahwa ada kekacauan di rumah Oblonskii. Oblonskii, siapa pula itu?

Dan kupikir begitupun Anna. Wanita jelita yang menarik perhatian Vronskii. Tapi ia sudah bersuami, beranak delapan tahun. Siapa sangka, wanita anggun dari kalangan ningrat bisa selingkuh dengan seorang kadet muda yang sedang berencana menikahi gadis impiannya. Hanya sekilas tatap dan lantai dansa segera membuka rahasiarahasia itu. Duh, kasihan Kitty, Vronsky datang untuk berkata tidak. Padahal ia baru saja berkata tidak pada pria lain yang memujanya, Konstantin Levin. Siapa tahu bahwa kenyataan sering berjalan di luar kendali kita. Padahal, setiap hari kita berhadapan dengannya, berharap mereka mampu mengikuti alur pikiran dan kemauan kita. Nyatanya, kita tidak benarbenar tahu bukan. Dan Kitty pun menangis tersedusedu, pecah sudah telur di tangan dan burung merpati di atas dahan sana, pergi hilang entah di mana.

Sebenarnya juga tidak ada yang salah dengan istri Karenin itu. Suaminya orang terpandang, hartanya berlimpah dan ia hidup dalam suasana kebangsawanan dan kekayaan yang melingkupi. Dan keluarga, sembilan tahun mereka menikah. Bisakah itu dijadikan jaminan bahwa setelah sembilan tahun tidak ada keretakan? Ah, ternyata ia malah memilih kesejatian. Mungkin kamu akan bilang bahwa ia bukan wanita terpuji. Tapi dari sekian pembaca Anna Karenina, tak satupun yang tidak bersimpati padanya. Bahkan bagi mereka yang menganggap moralitas sebagai tujuan hidup ini. Ah, kenapa pula ia bunuh diri? Kata Koeslah Ananta Toer, si penerjamah novel, tapi bukan kami. Ia memang salah, tapi bukan kami yang harus menghukumnya. Ia terlalu baik untuk dihukum. Hidup memang sukar bagi mereka yang berhadapan dengan individu berkarakter kuat.

Teringat Anna, teringat pula tanah air tempat kutinggal. Jakarta tempat aku mencari nafkah. Siapa yang tidak kenal Jakarta? Gedunggedung tinggi, orangorang berdasi, mall dan restoran mewah. Sebenarnya pula, siapa yang tahu Jakarta? Perkampungan kumuh, gerobakgerobak makanan, pegawaipegawai bergaji rendah. Mereka yang keluar dari gedunggedung tinggi dan bergerak kebawah, ke seputar tendatenda prasmanan itu. Coba jelaskan, bagaimana mungkin ada gerobak di pusat bisnis Indonesia ini? Bagaimana bisa arsitekur kontemporer bergaya minimalis yang efisien dan canggih, bersanding dengan arsitektur purba peninggalan Majapahit? Kau bilang itu karena jurang yang lebar antara yang atas dan yang bawah, mereka yang berpenghasilan ratusan juta rupiah dengan mereka yang hidup 200 ribu rupiah perbulan. Bagiku, ia seperti Anna. Anna yang rapuh.

Dan kerapuhan bukan saja sebatas mata memandang. Tapi di relungrelungnya yang tergenang kala musim penghujan. Intrusi air laut yang sudah mencapai kawasan Kuningan, jalanjalan protokol yang bergelombang dan berlubang, pilihanpilihan aneh di layar kaca, angkaangka penjualan yang disulap tinggi, pengeluaranpengeluaran tidak resmi, catut menyatut, pak 'ogah', tukang ojek. Terlalu banyak yang kita sebut itu megah dan indah, padahal rapuh dan rusak, menunggu untuk jatuh. Dan kita yang hidup di kota metropolitan ini, hanya mampu berhitung. 2012 Jakarta macet total, 2015 Jakarta tenggelam total. Ah, siapa pula yang peduli. Paling kita hanya berujar, itulah hukuman bagi mereka yang rakus dan egois. Hanya hidup menunggu hukuman dari Tuhan. 

Tapi sungguh, tidak ada yang mampu menyaingi Nyonya Karenin ini. Paling tidak para pejabat bangsa kita. Yang mampu kembali kepada kesejatian dirinya sendiri. Mengatakan, lambat laun kepalsuan ini bakal terungkap. Dan semua yang kita lakukan tak lain dari menundanunda waktu saja. Bahwa Alexei Alexandrovich Karenin hanyalah boneka pemerintah sahaja. Dan pelarian ini, meskipun itu salah, tapi inilah sikap yang jujur. Karena bukan seperti itu kita hidup, juga bukan seperti itulah kita memilih. Sayang, kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat dan pada halhal tertentu dimana kita tidak benarbenar mengetahui, kita memilih untuk 'tahu', meski tidak benarbenar tahu. Dan Anna pun memilih mati dihadapan lokomotif yang melaju kencang. Sayang, andai ia punya pilihan yang lain, pilihan ketiga. Sayang sekali, karena kita tidak tahu apakah pilihan itu, atau adakah pilihan itu. Sayang sekali, karena sampai saat ini, saya masih saja melihatnya. Melihat Anna di Indonesia.

5 komentar untuk "Melihat Anna di Indonesia"

  1. Jadi ingat Jenny, istri Marx. Dia aristokrat. Di suatu pesta dansa, ia bertemu dengan Marx. Jenny senang bicara dg Marx: sastra, politik & filsafat. Sayangnya, Marx tidak tampan.

    Lalu seorang perwira (muda, tampan, kaya) mengajak Jenny berdansa. Tapi ketika bicara dg perwira itu ternyata gak nyambung, Jenny kembali ke Marx. Mereka menikah, dikarunia 7 anak dan hidup dalam suka & duka..

    BalasHapus
  2. Salah satu buku yang diniatin buat dibeli, tapi ga jadi2 juga. :D

    BalasHapus
  3. waktu diblang Anna terjun ke kereta api yang melaju, baru aku teringat. Ya aku pernah menonton filmnya!
    Sayang aku tidak begitu suka film shg kurang lekat ceritanya di otakku.

    Jakarta seperti Anna? ya mungkin ....

    EM

    BalasHapus
  4. Istri Marx ya? Sayang sekali, waktu kuliah saya hampir tidak menyukai Marx, jadi memang tidak diperhatikan. Tapi apa memang sama seperti Anna? Anna Karenina bisa dianggap sebagai novel sosial realis terbesar abad 20. Dan Tolstoy sebagai pengarang dikenal luas dengan pemikiran sosialis plus pasifisme. Ia menolak kekerasan, karena kepercayaan agamanya Kristen Orthodox (mungkin Mona dan EM lebih tahu soal ini dari saya)dan menamakan pahamnya sebagai pasifis anarkis. (Kepasifannya menjadikan dirinya memberontak). Ghandi sendiri juga terpengaruh oleh pemikiran Tolstoy tersebut.

    BalasHapus
  5. haaaaa tulisan anda sagat mengugah mata saya, dari yang ngtuk samapai berubah seperti hairmau kelaparan membaca. menarik terutama pada pembahsan media yang mengemborkaan masalah yang tidak sesuai degan aslinya.

    BalasHapus