Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gontor dan Hogwart

Beberapa hari lalu, seorang teman di Facebook mengirimkan sebuah email. Yang membuat saya bingung adalah subject surat elektronik tadi, saudara dua kali. Entah apa yang dia maksud dengan kalimat saudara dua kali ini. Apa mungkin ia masih bersaudara dengan saya? Setelah membaca baris pertama, saya jadi tersenyum. Oh, ternyata itu. Sama-sama khirrij Gontor, juga khirrij ITQAN". Kami samasama alumnus Gontor dan ITQAN.

Menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang senasib dan senostalgia. Meski dilihat dari rentang waktu yang ada, jelas ia adalah senior saya. Dia lulus 1991 dan saya baru menyelesaikan studi di Gontor tahun 1999. Jadi ada rentang delapan tahun, ditambah tiga tahun, karena ia masuk kelas akselerasi untuk anakanak lulusan SMP. Berarti selisih umur kami lebih kurang sebelas tahun. Dan dalam bahasa gontory, mungkin saya harus memanggilnya dengan antum atau ustadz. Tapi dalam surat balasan, saya memanggilnya dengan Abang saja. Mungkin karena saudara dua kali itu ya. He...

Dia menyukai gaya tulisan saya mengenai Gontor yang saya gali secara filosofis, dan mengabarkan sedikit tentang pengalamannya yang serupa dengan saya saat kenaikan dari kelas V B ke kelas VI C. Sama seperti saya, sebuah kejenuhan dan keinginan untuk drop out. Untung saja ia bisa menanganinya dengan baik dan berhasil menamatkan sekolah di Gontor. Di penghujung surat, ia menawarkan, apakah saya tertarik membaca naskah novelnya. Wow, benarbenar kejutan pikirku. Membaca novel yang secara terangterangan ditulis alumnus. Tentu saja saya berminat. Maka kubalas suratnya, dan ia pun membalas dengan mengirimkan lampiran naskah novel-nya yang hendak terbit. Sebuah kisah mengenai hidup, perjalanan dan sekolah.

Sayang sekali, saya belum sempat membaca novelnya itu sampai akhir. File PDF-nya sendiri sudah saya simpan di ponsel saya agar dapat melihatnya kala senggang, namun berhubung kesibukan kerja yang lumayan melelahkan, jadilah hanya beberapa fragmen saja yang ada di kepala saya. Untuk menebusnya, sore ini saya berusaha membaca seluruh tulisannya tersebut. Ternyata juga belum selesai, padahal ia telah meminta saya memberikan kritik atas tulisannya tersebut. Mungkin saya harus membiasakan diri membaca di atas layar daripada di atas kertas. Huh.. maaf ya.

Secara ringkas, novelnya tersebut berbicara tentang perjalanan lima orang sekawan yang kebetulan dipertemukan oleh nasib di sebuah pondok Madani. Mereka memiliki latar budaya dan suku yang berbedabeda. Ada yang berasal dari Madura, Padang, Medan dan Jakarta. Bila melihat awal kisah yang dibuka oleh sightview gedung VOA di Washington DC, semestinya novel ini memiliki happy ending yang memuaskan. Kelima orang itu berhasil mengejar citacita mereka, mengembara ke penjuru dunia, mulai dari Mesir, Inggris hingga Amerika, dan bertemu di Trafalgar Square. London. Benarbenar impian yang jadi nyata.

Lalu, apanya yang menarik? Kalau hendak melihat novel baru ini dari kacamata Laskar Pelangi, yang memiliki kekuatan pada cara penyampaiannya yang unik dan dramatis, seharusnya profil tokohtokoh dalam novel ini haruslah kuat. Ini penting guna memberi arti bagi pencapaian di Trafalgar Square itu. Entah mereka benarbenar berjuang keras mengejar impiannya itu, atau juga drama yang dimunculkan pada setiap fragmen. Kenapa juga saya menyebut fragmen, padahal belum semuanya saya baca. Entahlah, menyebut lima orang tokoh utama, cara yang pas ya menceritakan setiap cerita dari sudut pandang setiap orang. Tapi bisa juga si pengarang menuturkannya dari sudut pandang tokoh utama. Apapun itu, yang jelas Pondok Madani haruslah sesuatu yang unik sehingga memberikan pengalaman baru bagi pembaca.

Ah, kenapa juga Pondok Madani? Apakah itu berkaitan dengan pandangan ideologis sang pengarang? Saya kok jadi teringat dengan kata peradaban yang diusung oleh Nurcholis Madjid. Kenapa bukan Pondok Damai, Darussalam, atau bahkan dengan terusterang berbicara Pondok Gontor. Apa ada yang salah dengan Gontor. Gontor, pondok modern. Aha, modernitas. Apa mungkin, Gontor di alam bawah sadar kita telah terasosiasikan kedalam bentuk kata tertentu? Sebuah ranah keagamaan yang harus 'rikuh' saat berbicara mengenai pencapaianpencapaian duniawi. Mungkin hanya pengarang jua yang tahu.

Berbicara mengenai rikuh atau malumalu itu, saya malah teringat dengan novel J. K. Rowling yang terkenal itu, Harry Potter. Bila mau dibandingkan, ternyata Gontor itu mirip dengan Hogwart! Pertama jelas, ia seperti benteng yang ketat. Tidak ada yang boleh keluar masuk tanpa izin. Semua kegiatan berlangsung di tempat yang ituitu juga, hampir tidak bersentuhan dengan dunia luar, dan memakai pakaian atribut dan kemampuan khusus. Saya sendiri kadang memiliki perasaan tertentu apakah seseorang ini pernah mondok di Gontor atau tidak. Untuk membuktikannya mudah, ajak saja berbicara bahasa gontory. Dengan demikian kita bisa membedakan antara muggle dan penyantri. Hihihi...

Lalu apa hubungannya dengan malumalu itu? Ternyata juga, banyak alumni Gontor yang malumalu menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat umum. Kenapa juga begitu, apa mungkin hal tadi malah membuat kita merasa terbatasi. Mungkin. Pengalaman saya, kadang menimbulkan sebuah mispersepsi atau pertanyaan yang berbelitbelit. Sekolah di pesantren kok kerja macam ini? Kamu lebih pantas jadi guru, ustadz atau dosen. Bahkan, sebenarnya tujuan hidup kamu apa sih? Astaga, benarbenar ribet. Kita telah terkotakkotak, dan bagi mereka yang tak sengaja keluar dari kotaknya, harus siapsiap menjawab pertanyaan bertubitubi tadi. Kebetulan, siempunya novel ternyata juga bagian dari mereka yang keluar dari kotaknya itu. Jadi...

Daripada pusing, lebih baik,

natamanna fi ma'hadina alladzi yasiru fi qulubina..
min salathah rohah, mudabbir baqoyat, jaros wa jaryu ma'an, ila iqab syadid min qism a'mn wa mahkamah lail..


Gak mengerti kan? Sudah saya bilang anda itu muggle!

Suyuk!!



12 komentar untuk "Gontor dan Hogwart"

  1. salam....
    [kayaknya] saya muggle dech ^.^

    BalasHapus
  2. asari bersabda :
    Salam kenal
    tentunya kalau herry ada sapu, disini kan ada rotan

    BalasHapus
  3. @ Dewi, Muggle ya? Kaif haluk? Dah ga muggle kan? :D

    @ Erabaru FM, wahwah, Asari ya? Mana blogmu? Jangan terkubur di bawah radio melulu!

    BalasHapus
  4. bahasa non muggle: ya akhi, hakikatan haza, syukran jiddan khalas takrak novelliii:)

    BalasHapus
  5. muggle yg gak bisa bahasa arab jg disebut apa dong?

    BalasHapus
  6. @ Duotravelers, "qolilan ya akh. bal, sa'aqra' kamilan."

    @ Alwaysalia, ya muggle toh. Ada usul yang lain? :D

    BalasHapus
  7. kayaknya kita punya "pe-er" yang sama nih bro...

    tidak ada yg salah dalam mengekspresikan isi kepala, dan aku salut dg keberanian shohib kita itu telah menuliskannya... soal kekhawatirannya bakal jadi kontroversi, halah, itu mah biasa... lanjut saja... kita tunggu segera diterbitkan novelnya... :)

    BalasHapus
  8. @dewi: ana pingin tau apa di mantingan ada jg tradisi tamarrod ? Bandelnya santriwati kyk gmn?

    @hp: ana jg dikirimin novel itu. Pilihan PM=Pondok Madani cukup bijak. Realisme selamanya adalah bagian dari genre fiksi. Ia menarasikan realitas dg bahasanya sendiri. Kalo saran ana pd abang kita itu hanya soal teknis menulis fiksi: soal dialog & setting

    BalasHapus
  9. Sebenarnya saya tidak menyalahkan pola penulisan Abang kita ini. Hanya, seperti yang Sonny ungkapkan, penulisan fiksi yang baik tidak terlepas dari kecerdasan dialog yang terbangun. Boleh jadi saya salah, tapi untuk soal dialog yang bernas, wanita adalah yang paling jago dan lancar dalam menuliskan pasaipasai dialog. Mungkin nyonya di rumah bisa membantu menyumbang ideide seputar dialog.

    Sekedar sumbangsaran, sepertinya gaya bercerita yang pas untuk novel ini justru model penulisan ala memoar. Dia bisa berkelindan dengan fiksi tanpa mengabaikan realitas dan tidak pernah terbentur pada kekakuan tulisan ilmiah macam reportase atau jurnal. Unsurunsur surealis bisa dengan mudah dimasukkan dalam memoar, bahkan jauh lebih mudah daripada membangun dialog yang menarik sebagai inti dari sebuah novel. Dan sebagaimana saya lihat dalam salinan novel yang terkirim kepada saya, kekuatan utama dari novel ini bukanlah dialog, tapi alurnya. Meski dengan sejumlah catatan kaki pada beberapa setting yang menurut saya terasa janggal.

    Selamat untuk Abang Fuadi untuk novel terbarunya itu.

    BalasHapus
  10. waaaah aku bukannya muggle lagi
    aku smuggler kali ya...

    but aku senang bisa "mengintip" cerita mengenai gontor, apalagi dianalogikan spt hogwart. Jadi lebih mengerti deh

    salam saya
    EM

    BalasHapus
  11. sangat menarik, terima kasih

    BalasHapus
  12. Wah Gontor sangat keras sekali dalam mendidik :D dan saya merasakannya.
    Mohon bantuannya ya saya murid gontor juga tapi masih baru :D kelas 1 intensif

    BalasHapus