Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keep Your Hand Clean or Get Dirty!

Sebuah mail lagi dari bos. Isinya, tasji' (apa ya bahasa Indonesianya, sudah terbiasa sih mengartikan model seperti itu dengan bahasa Arab. Aha, tulisan penyemangat) yup, itu yang saya maksud. Jangan lekas cepat menyerah, harus percaya diri dan bekerja dengan penuh semangat, bla, bla, bla... Dalam bahasa Inggris, motivation letter. Dan tujuannya sebagaimana telah saya sebutkan adalah untuk memotivasi para karyawan agar bekerja lebih baik, bahkan walaupun hujan turun dan jalanan banjir, serta sungaisungai di Jakarta meluap. Intinya, sales bulan ini harus masuk. Ha, yang benar? Apa memang itu tujuannya? Apa mungkin ada korelasi antara suasana kejiwaan dengan suasana pasar yang entah kenapa sedang lemas terkulai? Atau janganjangan saya yang salah mengajukan pertanyaan. Semestinya, kenapa kamu dapat surat macam itu? Ada apa denganmu?

Well, semenjak saya bergabung dengan tim Jakarta ini, banyak sekali perubahan yang terjadi. Semua jadi jauh lebih etis dalam berbisnis. Kami tidak lagi menggunakan uang dalam melakukan deal dengan customer (peraturan ini sebenarnya sudah efektif diterapkan 3 tahun yang lalu). Penggunaan uang atau cash money bukan saja melanggar kode etik PEDFI, tentang pemasaran obatobat ethical kepada dokter tapi juga melanggar peraturan internal perusahaan sendiri, meskipun realitas di lapangan sangat berbeda sekali. Coba bayangkan, ada dua perusahaan farmasi yang menawarkan dua preparat yang serupa. Satu diantaranya mengimingimingi uang kepada dokter jika dia meresepkan obat produksinya dan perusahaan yang lain hanya mengatakan, 'dokter, saya sponsori untuk mengikuti event Kardiologi di Jakarta'. Kirakira? si dokter milih yang mana ya? Pilihan pertama, ia dapat uang sejumlah yang disepakati, dan kedua, ia hanya duduk dari jam 8 pagi sampai 4 sore, mendengarkan ceramah yang isinya lebih banyak disponsori perusahaan farmasi. Itukan seperti antara memilih dapat kail dengan 'cuci otak' obatobat terbaru! Kalau dia pintar, dan memang ratarata dokter itu begitu, dia akan terima uang tadi dan menunggu sampai detikdetik terakhir ditawari perusahaan farmasi yang gratisan. Dapat deh duaduanya, plus SKP untuk mengejar target 5 tahunan sebanyak 200-an SKP agar tetap buka praktek.

Tapi dalam undangundang PEDFI jelas. Pemberian uang atau cash money itu adalah sebuah pelanggaran. Dan sebagai wujud dukungan terhadap peraturan ini, sejumlah perusahaan farmasi asing (asing lho, PMA bukan dalam negeri) sepakat tidak menggunakan praktekpraktek kotor macam ini lagi. Dan memang di lapangan yang terjadi demikian. Perusahaan internasional besar macam Pfizer, Bayer, AstraZeneca dan Merck sudah bermain bersih. Dan syukurnya, dokterdokter pun sudah mengerti untuk tidak berbisnis uang bila yang berkunjung Medrep perusahaanperusahaan asing tadi. Cuma masalahnya, ya tadi. Ketika si dokter terjebak kedalam dilema moral dan katakan juga, ia tengah memiliki problem keuangan, pilihannya jelas dan sangat susah untuk ditolak. Lihat, betapa susahnya hidup lurus di negara ini. Si dokter tergoda dan Medrep-nya juga tergoda. Bukankah tujuan kunjungan mingguan itu agar timbul demand, kalau sudah sepakat, kenapa menolak? Win win solution bukan!

Tapi tidak semua dokter seperti itu lho. Beberapa diantaranya bahkan lebih kritis dan bergabung dalam sebuah kelompok bernama nofreelunch. Ini situs luar negeri, jadi permasalahan yang saya ungkapkan di atas, merupakan sebuah fenomena global. Industri farmasi dan healthcare sama seperti industri lainnya di dunia: profit! Ya iyalah, kalau ga profit, mana mungkin bisa gaji saya, memang uang datangnya dari langit apa!? Sekarang kita bayangkan lagi, dua kelompok yang memiliki pendirian yang serupa, samasama tidak berkeinginan untuk berbuat jelek, apa mereka bisa bekerja sama? Eeitts tunggu dulu, keinginan untuk tidak berbuat salah itu satu poin, tapi apakah preparat kamu bakal digunakan dokter, itu persoalan yang berbeda. Complicated ya.

Seperti profesi lainnya, dokter juga terikat dengan aturanaturan baku dalam penanganan pasien. Seorang pasien hipertensi, misalnya, mungkin cukup ditangani dengan Enalapril saja. Tapi, pasien hipertensi yang lain, sudah harus diberikan Bisoprolol karena memiliki komplikasi CHF atau post-myocardial infaction. Semuanya telah tertulis dalam guidelineguideline pengobatan yang diterbitkan lembagalembaga nasional dan internasional. Rujukan utama untuk hipertensi misalnya AHA (American Heart Association) di Amerika, ESC (European Society of Cardiology) di Eropa dan BHS (British Heart Society) di Inggris. Semuanya memiliki guideline pengobatan hipertensi masingmasing, yang meskipun mirip tapi memiliki sejumlah perbedaan kecil. Beta-Blocker seumpamanya, bisa digunakan sebagai firstline theuraphy pada hipertensi dengan komplikasi di AHA dan ESC, tapi tidak rupanya di BHS. Ia memiliki argumentasi berbeda, karena sumber penelitiannya yang berbeda dengan kedua lembaga lainnya. Masalahnya, hampir setiap penelitian yang berkaitan dengan guideline tadi, disponsori oleh perusahaan farmasi internasional. Dan jelas, sebuah penelitian level internasional itu harganya sangatlah mahal, bisa miliaran bahkan triliunan rupiah. Jadi, siapa sih yang mau rugi?!

Tambah pelik lagi, setiap asosiasi dokterdokter spesialis juga memiliki guideline pengobatan sendiri. Gaya pengobatan seorang internis misalnya berbeda dengan pengobatan kardiolog dan neurolog. Tidak ada yang lebih lucu dari perdebatan soal apa yang harus ditangani terlebih dahulu pada pasien hipertensi. Kata kardiolog jantungnya terlebih dahulu, agar tidak terjadi gagal jantung. Kata neurolog otaknya, agar tidak terjadi stroke. Yang lebih seru, macammacam obat yang berguna untuk hipertensi itu memang ada yang berguna untuk mengatasi stroke tapi ada juga yang mencegah gagal jantung. Semuanya memiliki indikasi yang spesifik. Jadi ada obatobat hipertensi tertentu yang laku keras di neurolog, tapi gagal total di kardiolog. Nah, di sinilah orangorang seperti saya masuk dan "mengkampanyekan" sejumlah guideline terbaru. Benarbenar perang konsep dan psywar!

Ah, tapi itu kan hanya di atas kertas saja. Realitas di lapangan kadang berbeda. Sewaktu saya tanya seorang dokter,
"...dok, apa dokter terpengaruh oleh guideline?"
ia hanya menjawab, "penggunaan obat itu individual, kadang satu cocok dengan obat ini, sedang yang lain tidak".
Lanjutku,  "...kalau pasien hipertensi, apa dokter bisa menggunakan Beta-blocker?"
dan jawabnya
"bisa saja...".
"atas dasar apa dok?"
"banyak hal" tanggapnya diplomatis.
Banyak hal. Dalam kamus besar perniagaan, ia bisa berarti apa saja. Mulai yang terpuji hingga yang tidak terpuji. Dari kerajinan mengunjungi dokter hingga permainan bawah tangan. No body know, because everybody knew! Kata sebagian orang, healthcare was'nt completely business field. Sebagian lagi bilang, business is business, ga peduli kamu terjun di bidang apa. Etika dan uang, sayangnya yang pertama selalu datang terlambat :D

Kembali menanggapi email bos saya tadi, sepertinya cuma itu saja yang dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi di dunia farmasi. Tasyji', tasyji', tasyji'! Apalagi saat ini di luar sana tengah hujan deras. Dan memang ini adalah tantangan yang berat kalau terjun di dunia bisnis. Stay keep your hand clean or completely involved and get dirty. Hey, ada ga sih pilihan yang lain?!



6 komentar untuk "Keep Your Hand Clean or Get Dirty!"

  1. seperti sedang baca artikel buat di presentasikan di kuliah etika bisnis. etis apa tidak etis? Banyak hal di dunia bisnis ternyata tidak bisa dinilai secara hitam atau putih saja, kebanyakan malah abu-abu. Nah dari abu abu itulah kita melihat kecendrungan arah hitam atau putih atau bener-bener abu abu?
    mata kuliah ini sangat menyenangkan pak, kalo besok dirimu berkesempatan ngambil S2 ekonomi, mungkin bakal bertemu dengan bahasan seperti ini. tapi berbisnis dengan etika, tanpa disadari akan menjadi kemasan bisnis yang bagus apalagi di masa sekarang dimana pihak-pihak yang berkepentingan sudah mampu melihat dengan lebih cerdas..

    BalasHapus
  2. Wah analisisnya dalam mas...praktisi di industri farmasi ?
    But anyway, keep clean whatever the enviroment is dirty.

    Nofa (Mr)

    BalasHapus
  3. To Hesty & Nofa, setuju juga dengan model bisnis yang bersih itu, dan memang seharusnya begitu. Perubahan Indonesia semestinya berawal dari sana.

    BalasHapus
  4. Bisnis bersih hny bisa jika aturan ditegakkan. Entah itu aturan legal formal, aturan asosiasi, dan etika profesi. Masalahnya, ikatan profesi lebih sering melindungi anggotanya ketimbang menindak. Sejenis kolektivisme yg jelek :)

    BalasHapus
  5. Saya tidak mengerti bisnis, tapi saya pikir bisnis itu memang complicated.
    Semangat saja mas!

    EM

    BalasHapus