Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Aku, Kereta & Perjalanan

IMG_2068

Pernahkah kubercerita kepadamu tentang sebuah perjalanan jauh, mengarungi tanah Jawa di atas sepasang besi yang memanjang beribu-ribu mil, dan bertumpu pada balok-balok kayu dan beton yang melintanglintang di bawahnya. Atau tumpukan kerikil sekepalan telapak tangan dan yang lebih kecil dari itu, berkelok-kelok membelah gunung dan hutan, menerobos masuk ke dalam keramaian kota, menusuk jauh di bawah gundukan bukit. Tentang orang-orang yang hidupnya bersandar atas lalulalang kereta, atau sekedar menumpang hidup di bantarannya yang amat panjang itu. Ini bukan lagi sebuah kisah mengenai seberapa cepat kau sampai ke tujuanmu, tapi seberapa kuat kau sanggup menahan godaannya. Karena di negeri ini, kereta akan selalu berarti cerita tentang manusia dan likaliku kehidupan.

Pukul 14.30, KA. Matarmaja (Malang - Blitar - Madiun - Jakarta) belum juga tiba di stasiun Bekasi. Siang itu, waktu berjalan murung. Orang-orang menikmati keheningan yang merayap antara kedatangan sebuah kereta yang disambut dengan kesibukan di atas peron dan jam-jam kosong yang diisi oleh alunan suara MP3. KRL Jabotabek Jurusan Bekasi-Kota sudah berangkat 6 menit yang lalu, sementara KRL AC Ekonomi telah kembali ke depo untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaannya pada sore hari nanti. Di peron 3 suara pengawas perjalan kereta api mengumumkan kedatangan Matarmaja yang akan tiba dalam 2 menit lagi. Aku bersiap-siap kepinggiran peron menantikan kereta yang akan membawaku ke sana. Tiket seharga 55 ribu rupiah untuk tujuan Malang telah kutebus sehari sebelumnya, meski hanya turun di Madiun yang berarti lebih mahal 10 ribu rupiah.

Ini bukanlah kali pertama aku naik kereta api. Kakekku dulu merupakan pegawai rendahan PJKA yang kerjanya menyambung rangkaian gerbong dan mengeceknya sebelum berangkat. Kakek buyutku juga begitu, telah lama bekerja di perusahaan kereta api sejak zaman Hindia Belanda. Kadangkala saat kuberkunjung ke tanah kelahiran ayahku, sering kuminta cerita dari kakek mengenai masa lalunya dengan kereta. Beliau orang yang tertutup, tapi untuk cucunya ia akan menceritakan segala hal meski dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah. Tentang berbagai macam tragedi, kecelakaan-kecelakaan kereta yang mengerikan, masa-masa teror DITII atau zaman PKI dulu ketika pembajakan kereta dengan menggulingkan batu sebesar rumah ke tengah-tengah rel atau pemotongan jalur yang disengaja, membuat ia benar-benar sibuk. Dunia grassroot adalah dunia karpet tempat para pembesar negara ini membuang kesialan, dan beliau dengan lugu akan selalu menerima itu apa adanya. Namun, Ayahku tidak mengikuti jejak kakek. Mungkin ia ingin anaknya berkembang maju agar tidak menjadi pegawai rendahan seperti dirinya, dan bapak melanjutkan karirnya sebagai pegawai negeri di Jakarta. Tapi dasar, mungkin karena keturunan, pangkatnya tidak pernah naik dari sekedar sebuah kantor kumuh di Humas Deppen, sama seperti kakekku, ia orang lugu yang jujur, meski memiliki pembawaan yang terbuka. Dan sekarang tiba-tiba gen-gen itu mengalir lagi ke dalam darahku, meski kuberusaha menjadi antitesis dirinya, tak urung kecenderunganku untuk berusaha jujur dan lugu malah membuatku seperti dirinya. Yah, kode genetik itu susah sekali terhapus.

Genetik, mungkin dari sanalah aku diwarisi kecintaan yang sangat kepada kereta api. Aku sendiri ingat perjalanan pertamaku, saat itu umurku tiga empat tahunan sekeluarga bersama nenek dan kakek dari pihak ibu. Kalau tidak salah aku mengalami step dan dibaringkan di atas bangku penumpang. Kala itu kereta yang kami tumpangi tengah berhenti lama menunggu sinyal masuk di atas sungai Serayu. Sungai terpanjang di Jawa Tengah dengan buaya buayanya, udara panas dan alam di luar begitu gelap. Suasana malam itu selalu membekas dalam di ingatanku. Juga kejadian histeris saat aku berteriak teriak minta diambilkan sandal milikku yang tertinggal di rumah kakek padahal saat itu kami sudah berada di stasiun dan sebentar lagi kereta akan berangkat. Ibuku geleng-geleng, seakan barang yang ketinggalan itu barang mahal yang langka. Padahal hanya sepasang sandal jepit biasa dan murah lagi. Bagiku, setakberharganya barang tersebut, ia tetap milikku yang sah. Lagi juga saya enggan dipinjami sandal yang memang bukan hak saya. Jadilah paman pontang-panting berlari ke rumah mengambil sandal jepit tadi. Uh, anak kecil yang keras kepala.

Pukul 14.42, tak sampai dua menit berhenti, kereta kembali diberangkatkan. Aku mendapat gerbong pertama, tepat di belakang lokomotif. Suaranya begitu pekak dan unik, aku laksana berada di atas sebuah mesin raksasa berkekuatan 2000 tenaga kuda. Asap rokok melayang tipis di udara, orang-orang mulai berbincang dengan bahasa Jawa mereka, sekedar menanyakan tujuan atau menceritakan kisah-kisah menarik di tanah rantau. Seperti biasa, aku duduk tenang, dengan punggung yang tegak, berusaha menikmati suasana ini. Kalau di sorot kamera, tampangku persis seperti orang asing yang baru pertama kali naik kereta. Kaku, serius, dan berbeda, kontras dengan orang-orang sekeliling meski busana yang saya kenakan tidak jauh berbeda dengan mereka. Hmm.. aku ingin merasakan sensasi yang berbeda saat naik kereta. Dan saat ini aku ingin seperti seorang borjuasi kere bertampang kota yang memilih berbicara dengan bahasa Indonesia yang lengkap sesuai EYD, dan menampilkan keintelektualan saya dengan membaca buku ilmiah. Celingak celinguk kiri kanan, ternyata semua menampilkan wajah kedesaan mereka, bahkan seorang pemuda di depanku berusaha menjadi bagian dari realitas Jawa yang berusaha ia tampilkan dengan terbata-bata. Yes, I like to be different!

Antara Bekasi - Cikampek, sebenarnya tidak ada perbedaan antara kereta eksekutif dengan ekonomi, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Kecuali di beberapa tempat seperti Karawang, kereta yang kutumpangi melambatkan lajunya beberapa kali untuk menyesuaikan dengan lampu sinyal. Di jalur-jalur tunggal selepas Cirebon, kami akan berhenti barang 7 menit menunggu persilangan dengan kereta dari arah berlawanan. Bila ada kereta eksekutif di belakang kami, tambah 7 menit lagi. Bila masih ada kereta bisnis yang menyusul, tambah lagi 5 menit. Bila dari arah berlawanan yang muncul kereta eksekutif diikuti kereta bisnis waktu tunggu mencapai 12 menit. Total ada setengah jam harus menunggu sinyal dan itulah masa-masa paling membosankan di seluruh dunia. Kadangkala kita bersilangan dengan kereta barang yang sangat lambat, dengan terengah-engah kereta ini masuk dari jalur sebelah dan setelah meneriakan lolongan pilunya berhenti begitu saja di samping kita seperti kakek tua yang kelelahan. Bila yang tiba kereta ekskutif, maka dengan sombongnya ia berlalu begitu saja, berderap keras dengan kecepatan di atas 70 km/ jam, dan suara seperti rentetan peluru. Naik kereta ekonomi adalah uji kesabaran sekaligus uji nyali.

Begaimana tidak! Jangan sekali-sekali mengharapkan kemanusiaan dalam standarnya yang tinggi di sini. Toilet yang berada di bagian kiri depan dan belakang gerbong seringkali tidak memiliki kapasistas air yang cukup, kalau hanya bau pesing saja itu tidak seberapa, coba kalau mampet. Belum lagi rangkaian pedagang keliling, penjual TTS, penjual batik, peminta sumbangan, kaum difabel, tukang sapu, tukang semprot wangi-wangian, pengamen solo, pengamen duo, pengamen satu RT, semua bolak-balik di atas 10 gerbong penumpang mengais rejeki dari orang-orang yang hanya memiliki pendapatan UMR Jakarta. Kawasan Cirebon dan Indramayu dengan kota-kotanya yang terpencil yang hanya dapat diakses dengan mudah melalui lintasan kereta, adalah gambaran terluas tentang kemiskinan di negara ini, sama seperti daerah selepasnya akan kamu temui anak-anak kecil berlarian sepanjang pinggiran rel mengadahkan tangannya untuk sekedar mengharap uang recehan. Dan saat koin-koin itu dilemparkan mereka dengan semangat mengejar dan memperebutkannya, sebuah pemandangan yang mengiris rasa kita. Yah, setelah 63 tahun merdeka, seperti inikah hasilnya?

IMG_2069
IMG_2070
IMG_2067
IMG_1823

Tapi tidak semua orang tidak menikmati kepenatan tadi. Dengan rokok, mereka berusaha melepaskan itu semua, beberapa bercengkerama meskipun baru saja bertemu, seakan-akan mereka saudara atau sahabat karib yang dipertemukan oleh nasib untuk sekedar merasakan ketidakberuntungan di atas kereta kelas bawah. Sebagian ada yang menukarkan uang sepuluh ribuannya dengan uang receh guna memberi sekedarnya bila gangguan itu tiba. Dan bila kau duduk di lantainya yang kotor dan berkarpet karet itu akan kau rasakan dunia bahkan jauh lebih luas dibanding saat engkau berdiri atau duduk di bangku penumpang. Para penumpang gelap dan rombongan pedagang dengan keranjang dagangannya yang menyumbat pintu-pintu masuk gerbong di sekitar bordes dan sambungan-sambungan akan merasakan hal tersebut. pemandangan yang apik dari gerak laju memberikan dampak psikologis tentang kecepatan dan kebergerakan, suatu kemewahan yang jarang mereka rasakan. Tidak salah bila dikatakan bahwa kecepatan itu memabukkan. Sama seperti kita yang selalu mengukur kbps modem, atau barang dagangannya Maseratti dan Ferrari, dan itu juga yang menjadi jualan PT. KAI. Seberapa cepat kau ingin sampai di Surabaya? Sayang sekali, padahal itu hanya sebuah gerak relatif semata sama seperti perasaan eksotik dan pengalaman takzim yang dirasakan orang-orang di atas bordes itu. Untung Tuhan menciptakan perspektif.

Pukul 18.13, hari sudah gelap. Cirebon sudah jauh di belakang. Inilah masa-masa ketika kelambanan itu terjadi, sebuah primetime yang memaksa pemberhentian tiba-tiba setiap 30 menit. Didahului Argo Bromo, Argo Lawu, Anggrek, Mutiara Malam Utara, dan bersilangan dengan sesama Matarmaja atau Brantas.Benar-benar bosan. Yang menjadi hiburan adalah saat jalur kereta tunggal ini bertemu dengan jalur pantai utara saling berseberangan. Poros Cirebon - Kendal, dalam jalur pos peninggalan Daendals itu memberikan semacam hiburan tersendiri. Lampu-lampu jalanan atau barisan truk, bus, dan kendaraan bermotor lainnya, seakan-akan gerak mereka melambat saat berhadapan dengan laju kereta yang tanpa rintangan itu. Yah, satu hal lain yang kunikmati saat naik kereta adalah keperkasaannya ini. Sebuah keperkasaan sumir saat dibandingkan dengan kebengisan si Belanda yang memaksa pembuatan sebuah jalur pos di sebelah kiri saya. Kereta ekonomi, jalan raya Pantura, keduanya dipertemukan oleh nasib dan struktur pemerintahan yang korup. Maka jangan salahkan Diponegoro yang lalu memberontak dan meletuskan perang Jawa serta membuat pemerintahan kolonial ini bangkrut. Tanah ini selalu segar oleh darah dan kemarahan sehingga tanahnya subur makmur, menciptakan kultur tanam yang berkembang ke era industrialisasi. Lalu kekejaman kapitalis merenggut segalanya, menyisakan rasa cemburu yang dalam, hingga di masa-masa awal reformasi, medio 98, saat batu berterbangan ke jendela-jendela kereta, menyisakan teror yang kuat. Juga saat pertandingan bola yang dipenuhi suporter Persebaya, kaca-kaca pecah oleh hamburan lemparan. Orang-orang itu, di kereta, di bantarannya, di sepanjang Cirebon - Semarang, gambar terindah dari masyarakat marjinal.

Coba bayangkan sebuah bak sampah sepanjang lebih dari 500 km membentang antara Jakarta hingga Surabaya. Juga tanah-tanah pertanian di sepanjangnya, gubuk-gubuk liar, dan kereta yang lalu lalang memproduksi berbagai macam sampah. Botol air mineral, bungkusan nasi, gelas-gelas plastik, juga limbah buangan wc, coba terka raut mereka yang lahan padinya terkotori barang-barang impor itu. Karena kita memperlakukan mereka bagaikan sampah, maka mereka pun memperlakukan kendaraan ini sebagai sampah. Sayangnya para petinggi negeri juga memberlakukan pengalaman kereta api sebagai sampah. Jadilah kita para sampah yang berterbangan antara Tegal dan Kaliwungu. Ah, untung juga malam ada, dan malam selalu bisa menyembunyikan keburukan. Sama dengan struktur itu yang lihai membedakan antara ketinggian dan kerendahan. Coba tanyakan, kenapa kita hanya dapat turun di Senen bukan Gambir? Atau di Prujakan bukan Cirebon, juga di Poncol bukan Semarang Tawang, begitu pula di Jepres bukan Balapan Solo? Yah, semua selalu mengenai kelas dan kedudukan. Lalu apa kelas anda?

Pukul 23.12 aku baru tiba di Semarang. Kenapa juga selalu malam, padahal ia begitu indah dilihat bersama matahari. Dari tambak-tambaknya yang tepat di samping rel kereta, memberikan ilusi seolah-olah kita berkereta di atas air. Serta genangan-genangan rob dan banjir bawaan yang merendam, aku merasa berada di atas kanal-kanal Venisia, dengan lorong-lorong panjang yang tak lebih dari perkampungan kumuh masyarakat urban. Serta lantai tanah yang berminyak di luar stasiun, juga para penjaja makanan dengan nampan-nampan selebar jangkauan tangan yang menanti di setiap pintu keluar gerbong, rayuan akan perut dan isinya. Tapi tidak, aku begitu mengantuk. Yang kuinginkan hanyalah sebuah kehormatan dan tempat yang tenang, bersih lagi terang, hal janggal yang jarang kutemui bersama kereta ini. Tapi aku begitu mengantuk, hingga melewatkan perjalanan melalui bukit-bukit gersang menuju Solo. Saat debu-debu kemarau berterbangan, tapi di sini, malam begitu dingin dan angin berteriak keras. Leherku yang berdaki itu mulai meradang. Aku batuk.

Rupanya kereta berguncang keras. Gerbongnya bergoyang-goyang kekiri dan kekanan. Sementara lokomotif terus berderu keras, dan beberapa kali berteriak mengusir penat. Jalur Solo Madiun adalah jalur lurus yang stagnan. Rel-rel di sini lahir saat Indonesia belum merdeka. Bantalannya, kayu-kayu yang kuat. Berbeda dengan dual trek Jakarta Cirebon yang seluruhnya merupakan rel baru dengan bantalan beton. Ukuran relnya pun katanya jauh lebih kecil. Dan begitulah, ia menyuguhkan sebuah sensasi berbeda, dan dengan kecepatan seperti ini, aku bagai diantar ke pintu neraka. Ingin rasanya lekas sampai, tapi ya itu, aku begitu mengantuk dan batuk. Hawa dingin dan kegelapan mulai menyelimutiku, akupun terlelap.

Dalam mimpi ku melihat ruang yang benderang, keceriaan dan bahagia. juga daundaun pintu serta jendela yang menyambut tersenyum, kuraba pinggirannya, halus. Lalu kumelangkah keluar menuju beranda. Semilir angin, rimbunnya pohon, bunga-bunga yang bermekar dan aroma pagi. Mentari bersinar dangan warna emasnya. Suasana tersenyum. Lalu kulihat mimpi-mimpi orang di sana, warnanya sama sepertiku. Semua tentang perjumpaan, kegembiraan, dan gairah. Tentang ibu yang hendak bertemu putrinya, tentang ayah yang berlarian menyambut sang belahan hati, tentang sepasang kekasih yang lama memendam rindu, tentang harapan dan lamunan, tentang cerita yang datang dari negeri ujung sana, tentang hidup. Tapi bukan itu yang kurasakan, hanya ruang gelap yang menantiku di depan. Aku tidak seperti mereka, aku pergi dan mereka pulang. Aku menuju dan mereka kembali. Aku dingin dan mereka dihangati tenang. Dan itu juga yang selalu kurasakan dalam penggalan-penggalan waktuku ke Gontor. Aku menuju masa depan yang tak mampu aku kuasai. Aku merasa terasing.

Pukul 02.55 Kutiba di Madiun. Hari masih gelap, karena kumal kuputuskan mandi di kamar mandi umum, bersalin pakaian kemudian duduk di bangku kayu sepanjang peron. Sekedar bersantai atau melanjutkan mimpi hingga pagi datang menjemputku. Perjalan yang jauh, perjalanan yang melelahkan. Dan aku merasa ringan, karena bagiku, perjalanan selalu merupakan penciptaan, sama seperti hidup yang kini kujalani. Aku tengah mencipta, aku menciptakan mimpi menjadi nyata.

IMG_1830

5 komentar untuk "Tentang Aku, Kereta & Perjalanan"

  1. whew!!!
    panjaaaaaaanggg...... :-D

    BalasHapus
  2. @Dewi, Iya panjang. Sama kayak kereta :P

    @Hery Azwan, :D. Nanti deh kalau sudah ketemu Maryamah Karpov. Kalau sekarang nanti ceritanya menggantung, jadi kagak enak. Hee..

    @Nocturnal-Mona, saya lebih suka yang aslinya.

    @Surauinyiak, saya juga setuju!

    Dan terimah kasih kepada kalian semua karena telah berkunjung.

    BalasHapus