Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Purnama di atas Bromo (2)

IMG_2700

Ia disebut tengger karena di sanalah
Joko Seger menikahi Dewi Loro Anteng
Anteng dan Seger maka jadilah Tengger
Atau saat Ki Dadap Putih mengatakan bahwa
ini adalah tetengger, tengger atau tanda
maka untuk seterusnyalah ia dinamakan demikian.

Entah kenapa saya begitu alpa mencari tahu tempat tujuan saya, karena biasanya selalu saya cek terlebih dahulu di internet atau bukubuku yang banyak dijual tentang historigrafi atau sosiografi tempat yang akan saya tuju. Satu yang malah mengemuka dalam pikiran saya saat berangkat justru adegan Dian Sastro menggambar di atas pasir, dalam film Pasir Berbisik. Film bertempo lambat ini dan menurut saya bergenre surealis, setidaknya membawa imaji mengenai Bromo sebagai sebuah tempat yang penuh dengan mitologi dan eksotika. Bromo dari kata Brahma, salah satu dewa utama dalam sistem kepercayaan masyarakat Hindu, merupakan pengejewantahan dari sifat Tuhan yang Maha Pencipta dan damai, dibandingkan dengan Syiwa yang berada pada sisi perusak dan penghancur. Dan memang dalam bukitbukit yang meliuk di sudutsudut jalan, kutemukan kedamaian sepanjang waktu.

Barangkali kata kunci dari perasaan ini adalah pengalaman akan ketinggian. Dulu, saat Nabi dilanda kesedihan akibat ditinggal mati istri dan pamannya, Tuhan menghadiahkan sebuah perjalanan spiritual yang tiada duanya. Sebuah
return trip ke sidratul muntaha tempat di mana Tuhan "berada", dalam sebuah perjalan malam, isra, beliau lalu diangkat ke langit ketujuh, mi'raj. Melewati batasbatas tertinggi impian Einstein akan kecepatan cahaya, berjumpa dengan seluruh nabi dan menerima perintah shalat lima waktu. Kau tahu, saat dirimu terangkat jauh ke atas, semua yang ada di muka bumi ini begitu kecil. Kemacetan jalan, sosoksosok yang berusaha menjegalmu, kebencian dan permusuhan, mereka perlahan lenyap dan berubah menjadi titiktitik mungil cahaya malam yang berkelapkelip ringan. Dan lampulampu malam itu akan semakin indah saat dirimu berada jauh duaribumeter di atas permukaan air laut. Entah apa yang dirasakan oleh Nabi dengan segenap ketakziman isra mi'raj-nya, tapi pada malam saat ku pergi menuju Bromo, hanya ada kepuasan yang menyeruak di dada.

***

Hampir pukul dua dini hari. Sebuah KIA Pregio berwarna sepia telah menunggu di depan lobi hotel. Hanya ada Ali dari cabang Malang dan seorang supir yang akan membawa kami menuju Bromo. Kupikir akan ada kawankawan rep Malang lainnya yang juga menemani, tapi tengah malam itu, dengan kursi terisi lega, tak apalah. Lagi juga saya ingin space yang luas sekedar merenggangkan badan yang masih terasa penat.

Jalanan senyap, hujan telah membawa kesegaran di penjuru kota, membawa sisa debu dan kotoran pergi, menyapu badan jalan dan menyajikan sebuah kejernihan yang hening. Dari hotel Kalpataru kami pergi menuju arah stasiun. Entahlah, orientasi saya akan arah tibatiba saja kacau. Meski sudah pernah ke Malang sebelumnya, tapi masih saja belum profecient untuk mengetahui mana Utara dan mana Selatan. Satu hal yang pasti adalah, kami dibawa meluncur menuju jalan poros utama Malang - Surabaya. Ya, saya ingat jalan ini. Dua lajur jalan dibelah sebuah separator beton yang dipadati tiangtiang lampu. Lurus menuju arah stasiun Malang Lama, kemudian melompati sebuah fly over di atas rel kereta api hingga masuk ke kecepatan yang tinggi di areal yang rata dan landai. Beberapa menit kemudian menanjak sekali lagi ke atas sebuah fly over yang jauh lebih curam dan panjang. Benarbenar fly over yang aneh pikirku, tidak manusiawi!

Sepanjang perjalanan malam itu, Ali bercerita banyak tentang pengalamannya bekerja di Malang. Ia sendiri baru genap delapan bulan bergabung, sebelumnya pernah bekerja di perusahaan dalam negeri, dengan profesi yang sama. Selama bergabung itulah ia mendapat banyak sekali manfaat. Dengan biaya hidup yang sangat rendah, biaya kos hanya seratusdelapanpuluhribu rupiah sebulan dan biaya makan yang tidak sampai limaratusribu rupiah, berarti banyak sisa uang yang ia terima dan digunakan untuk menabung. Bu Wulan menimpali dengan pengalaman rep Jogja yang meninvestasikan uangnya untuk membeli berhektarhektar tanah. Ah, jadi iri rasanya. Dua tahun lebih bekerja, apa sebenarnya yang saya dapatkan? Kalau saja bukan karena keinginan untuk belajar, saya sudah lama hengkang dari sini. Betul itu, karena pekerjaan kita adalah pegawai, rugi besar kalau cuma berharap dapat uang bulanan. Jadi teringat nasehat ust. Syukri, kalau mau kaya, berdagang! Oke, oke, saya kan sedang belajar berdagang :p.

IMG_2606
IMG_2617

Tigapuluh menit berlalu sejak kami meluncur dari hotel. Di sebuah pertigaan, kami keluar dari jalan besar dan masuk menuju jalanan desa yang sempit. Lenggang sekali, pintupintu dan jendela tertutup rapat, tidak ada orang sama sekali. Hanya lampulampu rumah yang berbaik hati menemani perjalanan ini. Kawankawan yang lain juga sudah mulai mengantuk. Ali kembali diam, Erna dan Lala benarbenar tenggelam dalam mimpi. Indah juga tidak bersuara, sesekali kepala bu Wulan terlihat menyembul dari balik penahan kepala, melihat sisi kanan jalan yang kami tempuh. Aku dan Agus duduk di bagian belakang, kadang kami mengobrol ringan mengenai perjalanan ini, tapi lebih banyak diam.

Dari perkampungan penduduk yang padat, perlahan terus merayap ke dukuhdukuh kecil. Jalanan masih terus menanjak. Di beberapa bagian, bahkan mencapai empatpuluhlima derajat, sehingga kecepatan mini van harus diturunkan ke gigi satu. Saya benarbenar memuji cara berkendara si supir yang halus dan cekatan. Di malammalam gelap seperti ini, supir yang cakap adalah aset yang sangat berharga. Apalagi saat kendaraanmu bergerak diatas punggung bukit yang terjal, dengan jurang yang dalam di kanan kiri jalan. Atau ketika kendaraan harus berputar tigaratusenampuluh derajat sambil menanjak curam, bila bukan pengendara yang ahli, tentu akan jadi pengalaman terburuk mendaki ke gunung Bromo. Dan di sini, saya bukan saja terganjar dengan keahlian mengemudi sang supir, tapi juga sebuah pemandangan yang tiada duanya.

Sudah dua jam kami berjalan, dan diantara pohonpohon pinus itulah kusaksikan gambaran indah dari sebuah malam. Di bawah tampak Malang yang bermandikan cahaya terapit antara gunung Kawi yang begitu besar dan gunung Bromo Tengger yang tengah kami daki. Siluetnya begitu agung, ditambah lautan halimun tipis yang seakan samudera putih menaungi dari atas. Seperti negeri di atas awan. Aku kini tengah pergi ke negeri di atas awan.

***

Mereka yang menghuni kawasan Bromo-Tengger-Semeru adalah orangorang Tengger. Mereka keturunan langsung dari Majapahit. Dari sudut pandang sejarah, setelah kebesaran Majapahit memudar, Islam menjadi sebuah agama mayoritas di tanah Jawa. Karena sebagian besar penduduk Majapahit beragama Hindu, maka mereka yang tetap setia dengan ajaran lamanya itu, ber
gerak mengasingkan diri ke puncak gunung Tengger, dan menetap di sana. Kisah yang nyaris sama dengan keterasingan suku Baduy di Banten yang mengaku keturunan Padjadjaran. Yang berbeda adalah, masyarakat Baduy tidak pernah mengakui diri mereka sebagai pelarian, hanya saja wilayah mereka mendapat madala 'kawasan suci' secara resmi dari raja. Pun, agama kedua suku ini juga berbeda. Tengger adalah Hindu, sedangkan Baduy adalah Sunda Wiwitan. Bagi saya, cerita mengenai perpindahan tempat karena suatu kepercayaan hampir ada dalam agamaagama besar dunia. Nabi juga pernah hijrah ke Madinah guna membentuk komunitas yang lebih baik dan menghindar dari agresi orangorang Quraish.

Ada kalanya terjadi friksi antara dua kelompok yang berbeda agama dan budaya. Antara tahun 1955 hingga 1965, Tengger juga mengalami hal serupa. Adalah NU yang Islam dan Tengger yang Nasionalis yang berkonflik, ketika sekelompok aktivis muslim (yang secara longgar terkait dengan fraksi radikal NU) menyerbu salah satu tempat yang paling dikenal dihuni dhanyang, yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan pemandian Hindu abad XIV M (lihat). Di bawah gelapnya malam, orang-orang militan tersebut memasuki tempat keramat, menghancurkan patung-patung Hindu Kuno dan menurunkan patung itu lalu membuangya di dekat sungai. Berita penyerangan itu menyebarkan teror di seluruh pegunungan, yang menyebabkan perasaan takut di kalangan warga Tengger. Itulah barangkali peristiwa yang melatari
penulisan buku Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKIS) karya Bob Hefner. Menarik sekali, karena buku tersebut membuka sejarah gelap NU, padahal LKiS sendiri merupakan salah satu penerbit bukubuku karya warga Nahdhiyin. Sepertinya mereka berusaha berdamai dengan masa lalu, meski dampaknya ke grassroot tidak terlalu besar (Lihat).

***

Pukul tiga pagi kami sudah sampai di bukit Pananjakan. Di sinilah terletak viewpointpaling masyhur untuk melihat gunung Bromo dari dekat. Kawasan Bromo memang unik. Ia memiliki sebuah kaldera, lautan pasir, yang luas hinga sepuluh kilometer persegi. Ibarat gunung Toba di Sumatera Utara, maka danau yang ada di di gunung itu adalah pasir bagi Bromo. Ditengahnya mencuat gunung Batok yang bergerigi, dengan sebuah kawah di samping kanannya. Di sinilah setiap tahunnya masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasada untuk memperingati pernikahan Joko Seger dengan Dewi Loro Anteng. Sayangnya, kami tiba bukan pada waktunya, jadi tidak sempat menyaksikan peristiwa budaya tersebut.

Udara cukup dingin. Tokotoko cinderamata menjajakan berbagai pakaian pengusir rasa menggigil. Mulai kupluk, slayer, hingga sarung tangan yang masingmasing terbuat dari wol. Awalnya saya berkeras hanya memakai jaket kulit saja, tapi begitu pintu mobil dibuka, brrrr... semburan hawa dingin langsung menusuk kedalam poripori. Jemari saya langsung beku. Kawankawan perempuan mulai membeli perlengkapan penghangat, saya tidak. Hanya sebuah kupluk biasa untuk menutupi kepala dan telinga dari udara. Ali yang sebenarnya sudah membawa sarung tangan bikernya, malah membeli sarung tangan lagi, demi melihat saya yang tidak memakai sarung tangan ia meminjamkan miliknya tersebut. Saya menerimanya, tapi hingga kami turun belum pernah kupakai sarung tangan biker tersebut. Belum tahu ya efek dari kelebihan lemak tubuh?! Hee...

IMG_2646
IMG_2648IMG_2610
IMG_2585

Sambil menunggu waktu fajar, kami berkumpul bersama di atas tungku bara yang hangat, menikmati kopi, sereal dan cokelat panas. Berbincang ngalor ngidul tentang berbagai hal, dan bercerita sekedar mengahangatkan badan saja. Beberapa turis mancanegara juga ada di dekat kami, dari bahasanya besar kemungkinan berasal dari Jepang. Mungkin Cina, bisa juga Korea, ah, tapi Taiwan pas juga tuh. Suer, saya tidak benarbenar tahu asal mereka, lagi malas saja menyapa. Mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Hmm... ini adalah world heritage, jadi kupikir kenapa tidak membiarkan mereka merasa at home tanpa harus menyapa dengan bahasa Inggris yang kacau balau. :p

Dan tibalah saatsaat yang dinantikan, ketika matahari menyembul dari balik awan. Para turis bergerak menuju ke view point yang sempit itu. Mendaki beberapa puluh anak tangga dan mengabadikan momenmomen berharga. Ya, ini adalah wisata waktu, sayang sekali kalau tidak diabadikan. Bahkan, meskipun dapat diabadikan, belum tentu akan tertangkap dengan pas. Seperti kamera saya yang luluh lantak kalau memotret malam hari, tapi suasana malam yang terlindas hujan benarbenar membuat matahari enggan beranjak dari peraduan. Hanya mega merah yang berpendar di antara awanawan di ujung kaki langit, tidak ada bola terang nan aduhai itu, atau pancaran sinar yang menembus tentram. Tapi tak apalah, suasana benarbenar menakjubkan bagi saya. Dan di atas pelataran itu, dengan bangkubangku kayu bak amphitheater orangorang ramai mengambil gambar. Hey, aku turis! Dan layaknya turis, kami fotofoto di sana. Maaf nih, hanya beberapa foto saja yang layak untuk disajikan.

IMG_2630

IMG_2666IMG_2665
IMG_2679
IMG_2669IMG_2677

Puas melihat sunrise yang invalid itu, kami melanjutkan perjalanan menuju kawah gunung Bromo. Kembali mengendarai mini van Korea, mengambil rute yang sama dengan arah menuju bukit Pananjakan, hanya kali ini, sinar mentari telah menyibak segalanya. Keindahan alam yang samarsamar terlihat di malam hari berangsur pulih dari tidur panjangnya. Kami disuguhi pemandangan yang begitu rupawan. Deretan pohon pinus berikut hijau bukit yang terlukis sempurna, beradu dengan legamnya aspal yang berani. Bumi mulai bangkit dari tidurnya. Di sebuah persimpangan, kami mengambil arah ke kiri menuju kaldera Bromo. Ini jalan yang sangat curam. Seperti goresan grafiti yang terukir dalam di dinding lereng yang terjal. Beberapa kali disalip oleh Jeep yang membawa penumpang turun ke bawah, maklum ini mini van dan jalan macam ini memang bukan tandingan jeepjeep Jepang itu.

Ternyata, pemandangan dari atas kaldera tidak kalah menariknya! Kami masuk dari arah Barat, keluar di sebuah jalan yang bumpy langsung di sambut lautan pasir yang indah. Di sebelah kanan terbentang gugusan stepa nan hijau, kontras pasir berwarna abuabu di sis kiri. Tidak ada jalan di sini, hanya tapaktapak roda kendaraan yang lama kelamaan membuat keras pasir dan membentuk sebuah rute off road yang lembut. Di kejauhan tampak pura Luhur Poten tempat diadakannya ritual Kasada dan Karo oleh masyarakat Tengger. Di sekitar tempat tersebut, berjajar patokpatok beton. Saya tidak mengerti arti patokpatok itu, apa mungkin sebuah pagar, atau seperti yang disebut dalam beberapa situs, merupakan petunjuk agar tidak tersesat saat berjalan di atas kaldera pada malam hari. Entah mana yang benar, tapi di sekitar petakpetak itu banyak sekali penunggang kuda menawarkan jasa kepada para pengunjung.

Ini pertama kalinya saya naik kuda. Awalnya sedikit limbung karena belum terbiasa, lama kelamaan bisa juga menyesuaikan gerakan jalan si kuda. Pemilik kuda ini anak Tengger asli, umurnya baru enambelas tahun. Setiap hari bekerja mencari nafkah bersama kuda tunggalnya yang baru berumur tiga tahun di kaldera. Seperti kebanyakan orang Tengger, ia beragama Hindu. Sayang sekali saya lupa menanyakan namanya, yang kutahu hanya nama si kuda, Sally. Kenapa juga dinamakan begitu, padahal kuda yang kutunggangi ini kan berkelamin jantan. Masa bodoh pikirku, toh di Belitong sana ada pria tulen yang bernama Andrea. Hee..

IMG_2724IMG_2726
IMG_2742

IMG_2689IMG_2685

Dari tempat parkir kendaraan di bagian luar patokpatok beton, kami berjalan melewati pura menuju dasar anak tangga. Dari atas kuda kulihat beberapa orang terperosok ke dalam pasir. Lumayan juga sih pikirku kalau berkuda, tidak perlu merusak sepatu. Tapi alasan yang paling tepat justru akibat banyaknya kotoran kuda di sepanjang jalur menuju kawah. Baunya benarbenar menyengat! Belum lagi jalur yang lumayan terjal saat menuju dasar anak tangga. Saya sendiri sempat sangsi dengan kemampuan Sally, tapi ia terbukti membawa saya pulang pergi dengan selamat. Kawankawan lain bahkan memiliki pengalaman yang berbeda. Lala misalnya langsung melejit dengan kudanya saat turun dari kawah, untung tidak apaapa. Sedangkan kuda Indah terus menerus buang angin membuat Agus yang berada di belakangnya menutup hidung. Adapun Erna, berbakat menjadi penunggang kuda teraneh. Bagaimana tidak, waktu berada di atas sadel, tangan kanannya memegang haluan sedang tangan kirinya memegang buritan. Dan dengan ekspresi orang ketakutan ia terus saja berdoa sepanjang perjalanan itu. Sewaktu peristiwa itu diceritakan kembali di atas kereta, sontak semua tertawa terbahakbahak.

Sesampai di bawah tangga, kami segera turun dari kuda. Para pemilik kuda kemudian menunggu dengan sabar di bawah untuk membawa kami kembali kedalam mobil. Tangga di dinding Bromo lumayan curam, sekitar tujuhpuluhlima derajat. Awalnya kupikir dapat kulalui dengan mudah, ternyata baru beberapa anak tangga, nafas sudah tersengalsengal. Saya lupa menghitung jumlah anak tangga yang ada. Ada yang bilang duaratuslimapuluh, ada juga yang bilang duaratusempatpuluh, bahkan sampai ada yang korting hingga seratusduapuluh anak tangga. Saya juga heran, apa mungkin yang bilang begitu melompati dua anaktangga sekaligus. Hebat juga sih kalau seperti itu. Pastinya, ketahuan deh di sini siapa yang tidak pernah olah raga :p.

Saat menanjak, beberapa material kecil yang terbawa oleh pembakaran dari dapur magma menguap ke atas dan mengguyur kami dengan abu vulkanik yang turun perlahan laksana salju, membuat kamera saya kotor. Beberapa ibuibu sibuk berjualan minuman dan makanan ringan. Beberapa turut menjajakan bungabunga eidelweis yang banyak ditemukan di lerenglereng gunung. Saya lupa mengabadikan bunga tersebut, entahlah, mungkin karena gambarannya yang tidak begitu menarik dan kasar. Khas bungabunga liar. Bagaimanapun juga, ia dupuja berkat letaknya tumbuh, dimana seseorang harus mendaki tinggi agar dapat mengambilnya, serta kemampuan survival bunga tersebut. Makanya ia dijadikan perlambang bagi usaha keras (tolong koreksi kalau saya salah). Ingat eidelweis, ingat pula Sound of Music. Film lawas ini memang begitu menarik, apalagi ada salah satu lagunya yang berbicara tentang edidelweis. Gimana ya liriknya, eidelweis... eidelweis...

IMG_2696IMG_2688
IMG_2698IMG_2701

Yap, inilah kami berdiri di bibir kawah gunung Bromo, menyaksikan ujungujung kaldera yang bagaikan benteng permai mengitari kawasan kawah yang luas ini. Asap terus mengepul dari celahcelah kawah, mengingatkan saya akan legenda lama Dewi Loro Anteng.

Alkisah, setelah menikah dengan Joko Seger, selama lebih dari sepuluh tahun, pasangan ini belum juga memiliki keturunan. Keduanya lalu meminta kepada dewata agar memberi mereka keturunan. Permintaan keduanya dikabulkan, tapi dengan satu syarat. Anak keduapuluhlima harus dikorbankan kepada para dewa. Singkat cerita, Dewi Loro Anteng sukses melahirkan keduapuluhlima anaknya, kini giliran dewata meminta balasan. Rupanya Anteng tidak berkenan dan mencoba melarikan diri dari janjinya. Dewata marah sampai sang Dewi pasrah agar anaknya dikorbankan. Raden Kusuma, si putra bungsu kemudian berkenan mengorbankan dirinya dengan terjun ke kawah gunung Bromo. Ketika jasadnya hilang tertelan bumi, bergema suara agar saudarasaudaranya tinggal menetap di gunung Bromo dan agar tiap tahun mereka memberi persembahan di kawah gunung ini.

Dari legenda inilah dasar diadakannya upacara Kasada. Dan sebagaimana mitosmitos serupa di tanah air, lewat mitos tentang Dewi Loro Anteng inilah kita melihat bagaimana proses historis suku Tengger yang menyingkir ke Bromo terjadi. Saat bahasa yang jelas tersurat begitu riskan digunakan, mereka menggunakan bahasa tersirat yang penuh kreativitas. Di sinilah kenyataan berkelindan dengan mitos. Alam memberikan sajian yang dahsyat tentang sebuah eksodus. Dan di tanah Jawa inilah, bangunan alam jauh lebih abadi dari segala monumen buatan manusia. Bila Syah Jehan membangun Taj Mahal sebagai perlambang cintanya yang agung, maka manusia Jawa cukup menunjuk kepada Gunung-gunung sebagai monumen abadi yang tak tergantikan.

Sebelum Rara Anteng dinikahi Joko Seger, banyak pria yang naksir. Maklum, kecantikannya sangat alami sebagaimana Dewi. Di antara pelamarnya, terdapat Kyai Bima, penjahat sakti. Rara Anteng tidak bisa menolak begitu saja lamaran itu. Ia menerimanya dengan syarat, Kyai Bima membuatkan lautan di atas gunung dan selesai dalam waktu semalam.

Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah untuk membuat lautan dengan menggunakan tempurung (batok) yang bekasnya sampai sekarang menjadi Gunung Bathok, dan lautan pasir (segara wedhi) terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo. Untuk mengairi lautan pasir tersebut, dibuatnya sumur raksasa, yang bekasnya sekarang menjadi kawah Gunung Bromo.

Rara Anteng cemas melihat kesaktian dan kenekatan Kyai Bima. Ia segera mencari akal untuk menggagalkan minat Kyai Bima atas dirinya. Ia pun menumbuk jagung keras-keras seolah fajar telah menyingsing, padahal masih malam. Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bangun dan berkokok. Begitu pula burung. Kyai Bima terkejut. Dikira fajar telah menyingsing. Pekerjaannya belum selesai. Kyai Bima lantas meninggalkan Bukit Penanjakan. Ia meninggalkan tanda-tanda: 1.Segara Wedhi, yakni hamparan pasir di bawah Gunung Bromo. 2.Gunung Batok, yakni sebuah bukit yang terletak di selatan Gunung Bromo, berbentuk seperti tempurung yang ditengkurapkan. 3.Gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger, yaitu: Gunung Pundak-lembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga. Gunung Gendera, dan lain-lain. (Alpha Savitri)


Coba bandingkan mitos ini dengan mitos Dayang Sumbi, Candi Sewu, dan lain sebagainya. Perhatikan pula tokohtokohnya, baik yang antagonis dan yang protagonis. Lihat juga bagaimana taktik perempuan keluar dari sebuah persoalan dilematis, saat tantanganya mampu dipenuhi sedang ia berharap bahwa itu tidak akan terjadi. Atau bagaimana gambaran para cerdik pandai yang mampu mencipta seribu candi dalam semalam atau menggali gunung dan membuat perahu yang besar, yang selalu ditampilkan dalam bentuk yang buruk rupa, jelek dan penuh hawa nafsu. Apakah ini sebuah sindiran? Sindiran terhadap kaum pendeta yang kala itu memegang obor pengetahuan. Melawan kaum bangsawan yang tahunya hanya berperang dan berwajah tampan. Siapapun mereka, tampaknya sangat membekas dalam alam pikiran masyarakat Jawa yang kemudian menghidupkan mitos dalam kehidupan mereka seharihari. Mitos tentang baik dan buruk, mitos tentang kecantikan, mitos tentang apa yang seharusnya seseorang perbuat di masa hidupnya. Semuanya, tanpa meninggalkan satupun catatan tertulis tentang apa yang terjadi sebenarnya. Semuanya, saat pengetahuan dibungkam dan tersimpan rapih dalam agendaagenda politik penguasa. Dan itulah yang mungkin terjadi pada Supersemar dan peristiwaperistiwa aneh yang kerap terjadi di negeri ini. Kita dibawa kembali ke alam mitos, sama seperti para leluhur kita yang kerap memanipulasi sejarah.

Ah, aku hanya ingin melihat, merasakan, menghirup apa yang ada didepanku saat ini. Karena purnama di atas Bromo adalah sebuah sajian yang tak akan pernah terlupa sepanjang hidup dan suatu saat aku akan kembali lagi kesana.

IMG_2751
IMG_2753
IMG_2755

6 komentar untuk "Purnama di atas Bromo (2)"

  1. akhirnya saya jadi jadi frequent reader niy..tulisannya keren, gambarnya juga keren...

    Susah ga sih nyampe di bromo? mungkin kalo ada informasi anggaran biayanya bolehlah saya di bagi..

    Thanks for Share ya..I have to be there some day..before I leave this island..

    BalasHapus
  2. GegerTengger emang menarik. LKiS sndiri mmg lahir dr rahim NU tp melampaui tradisionalisme NU. Sprt Ulil, mereka anak-anak "penafsir" pikiran2 Cak Nur, yg bapaknya NU tp memilih Masyumi sbg partai politik & Gontor yg modernis sbg tmpt ngaji.

    Gw jd inget buku Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu" jg menguak keterlibatan BANSER NU membasmi org2 yg dianggap PKI. Dlm konflik horizontal antara 1965 - 1966, tercatat 54.000 org terbantai.

    Trus ada lagi satu buku yg menggambarkan Teror Subuh di sebuah dusun. Hampir tak ada yg selamat di dusun itu. Aku lupa siapa yg jadi korbannya. Kl gak salah sih PKI Madiun yg jd pembantainya.

    Kita harus mengakui dosa2 sejarah sbg basis rekonsiliasi bukan u dibawa ke pengadilan

    sip,

    BalasHapus
  3. waduh, bisa jadi novel nich *_^

    BalasHapus
  4. @ Hesty, Terima kasih.. Mengenai anggaran perjalanan nanti ta posting di seri yang ketiga. Masih sibuk nih, maklum manusia lapangan :p

    @ Sonny, setuju! Semestinya kita sudah semakin matang menyikapi setiap perbedaan yang ada di bangsa ini.

    @ Dewi, Iya. Apalagi kalau bumbunya banyak yah. Macam rempahrempah gitu... Sepertinya sudah ada yang lapar tuh :D

    BalasHapus
  5. Suatu saat,tulisan ini bisa jadi buku, Bro.
    Teruslah menulis.
    Pake bumbu sebanyak mungkin dan semenarik mungkin...
    Ha ha...

    BalasHapus
  6. wahhh indah sekali
    kapan ya saya bisa ke sana
    mimpi dulu deh
    soalnya masih ada balita

    EM

    BalasHapus