Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilgrimage

IMG_2009

Akhirnya aku kembali lagi ke sini, tempat dimana dahulu kupernah merasakan sentuhan-sentuhannya. Delapan tahun yang lalu, saat aroma itu melayang di benakku. Cat baru, campuran yang unik dari keringat anak-anak yang tumbuh dan remaja, wc yang kering kerontang meninggalkan kerak kuning membatu, adrenalin, rasa tertekan dan terasing. Ia telah menciptakan segalanya, dan itulah salah satu alasanku kembali. Kuingin menghirupnya sekali lagi. Tapi memang bukan Gontor namanya, bila kau tidak menemukan hal baru di sana. Saat pertumbuhan berjalan melambat di daerah sekitar, pondok ini berjalan begitu cepat. Gedung-gedung meninggi begitu pesat, menyesakkan nafasku. Lalu lalang yang berkelebat, keriuhan yang menyingkirkan, semuanya berlomba menarikku kedalam keheningan. Ah, pondok yang damai, ataukah pondok yang sunyi?

Matahari telah meninggi, usai melihat-lihat ISID, kupergi menuju Gontor I. Kendaraan umum nyaris tidak adak ada, beruntung sekali bertemu dengan angkot yang bersedia mengantarkanku ke pondok. Padahal ku sudah berniat untuk jalan kaki saja, seandainya tidak ada kendaraan yang lewat. Ruas jalan yang kulalui masih tetap sama seperti dahulu, sepi dan didominasi oleh kendaraan pribadi dan motor. Setelah krisis moneter tahun 1997, sepertinya motor menjadi mode angkutan primadona, Tak terkecuali Ponorogo. Di jalan masuk, pagar-pagar bercat biru masih terpajang rapih. Kalau tidak salah, warna biru itu merupakan peninggalan marhalah kami, cuma yang satu ini terlihat jauh lebih gelap dibanding yang dahulu. Bisa saja sudah dicat ulang atau itu memang jenis warna yang berbeda dari yang ada dipikiranku, karena menurutku warna biru yang lalu itu sedikit norak sedang yang ini lebih universal, dongker.

Umbul-umbul terpasang kiri-kanan jalan, publikasi, yah inilah ciri khas warga Gontor, meski hanya berlangsung di area pondok saja, tapi itu sudah memberi kesan akan adanya sebuah acara wah yang tengah digelar. Namanya PG, Panggung Gembira. Perhelatan akbar generasi 683 di bidang kreatif dan seni. Panggungnya saja megah sekali dan ada sponsor segala. Wah, wah, kapitalis sejati. Begitu turun dari kendaraan ku segera pergi ke bagian penerimaan tamu. Suasana ramai sekali. Mobil-mobil dari berbagai daerah memadati lapangan Basket di halaman depan gedung. Yah inilah yang kurasakan pertama kali dan yang selalu kurasakan seperti itu saat kuberkunjung ke Bagian penerimaan tamu. Pertunjukan, show up, pamer. Entah apa yang mereka pertontonkan, tapi itu adalah tempat yang sangat emosional, dan tentunya berbagai embel yang melekat adalah bagian dari unjuk ego. Kataku dalam hati, untung tak ada yang harus kupamerkan di sini. Aku orang bebas tau. Tapi karena begitu ramai, tak urung jua kumengeluh. Ah, lebih baik keliling saja cari gambar.

IMG_1906
IMG_1873
IMG_1889
IMG_1875
IMG_1863IMG_1867
IMG_1908
IMG_1878
IMG_1870

Menyusuri gedung Indonesia, langkahku berlanjut ke gedung pertemuan. Bilik-bilik sudah terpasang sekeliling, pertanda bakal ada persiapan besar-besaran. Ratusan santri kelas enam begitu sibuk mengatur dan merancang koreografi panggung. Tampak beberapa guru senior memberikan pengarahan kepada tenaga kerja gratisan itu. Hei, tebak dengan siapa saya bertemu di sana. Khairul Umam dan Ahsan Sidqi. Dua makhluk itu masih bertahan rupanya. Khairul Umam masih dengan senyuman yang gak pernah putus, sudah menikah dia dan baru saja menyelesaikan masternya di bidang ekonomi Islam. Uh, kalah telak saya! Ada pula Ahsan Sidqi yang menjadi super sibuk. Kataku, "masih betah rupanya". Kata mereka, "lebih susah keluar daripada masuk pondok". Kataku dalam hati, lumayan ternyata kebebasan itu mahal. Tidak jauh-jauhlah perbedaan kita. Hhh... Satu surprise lagi, ternyata ustadz Tauhid hendak menikahkan putrinya. Aku tertawa dalam hati, guru aneh nan ajaib itu. Apa kuat tuh menantu punya mertua kayak begitu. Halaah, tapi dia mesam-mesem saja waktu kusalami. Yaah, waktu telah berubah rupanya.

Jumlah santri yang mencapai hingga empat ribuan orang, Gontor telah mencapai kapasitas maksimalnya sebagai sebuah lembaga. Aku sendiri selalu geleng-geleng melihat statistik itu, bukankah empat ribu santri adalah jumlah yang tidak masuk akal?! Bagaimana mungkin kita mengharapkan sebuah pendidikan yang bermutu dengan jumlah yang begitu banyaknya. Lagi pula disiplin tampaknya bukan lagi tradisi yang ketat. Dahulu saat masih menyantri di sana, hanya sekitar 2500-an saja, dan dengan disiplin yang ketat, seperti penggunaan pukulan dan rotan, ternyata kualitas yang diharapkan tidaklah terlalu tinggi. Paling tidak, saya sendiri yang merasakan hal tersebut. Dan sekarang, saat jenis hukuman semakin sama, dan jumlah orang yang ditangani semakin banyak, apa yang mau diharapkan?! Bahasa Arab dan Inggris yang belepotan? Atau rasa bangga yang sampai batas tertentu terlihat konyol? Ah, aku selalu sinis kalau bicara mengenai hal itu. Apa mungkin karena perasaan yang begitu dalam? Entahlah, Gontor selalu memiliki iramanya sendiri, selalu berbicara dengan logikanya sendiri, selalu berbeda.

Barangkali itu juga yang ditularkan Gontor padaku, seorang idealis yang hampir-hampir tidak bisa dipengaruhi. Bercita-cita tinggi dan dalam banyak hal moderat. Aku seperti melihat bayanganku di sana. Tertatih-tatih, bergelut dengan buku, tak peduli mau apa aku kelak dengan ilmu-ilmu yang marketabless. Dan segala kebencianku kepadanya tak lain dari kebencian kepada diri sendiri. Dari rumpun shigor yang sangat lugu, kemudian berkembang hingga kini, terlalu banyak jejak yang ia tinggalkan dalam diri, tak peduli seberapapun kuatnya aku berusaha menolak dan menghapusnya. Kadang-kadang ia menyeruak begitu saja, dalam cara-cara tertentu yang Gontory. Dan aku berusaha lepas, mencoba mengingkari, menjadi antitesis, sebuah rasa benci yang tak lain hanyalah sebuah sisi berbeda dari kerinduan yang dalam. Aku hilang di dalamnya, aku lebur, aku fana. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya seorang santri yang lugu, sama seperti dahulu tiga belas tahun yang lalu. Aku bukan aku.

Dalam kekaburan yang meliputi, kudaki tangga besi itu. Sebuah tempat yang selalu kutahu. Disinilah awal penafikan itu, sebuah tempat akan kesadaran penuh. Tempat pertama kali kuberkenalan dengan weltanschaaung, tempat ITQAN. Ah, tak perlulah kau bandingkan tempat ini dengan kerasnya perdebatan di luar sana antara JIL dan counterpartnya, atau kepongahan intelektual yang meraja di bilik-bilik universitas dan jurnal-jurnal ilmiah. Ia hanya sebuah lingkungan kecil yang indah. Tempatku pertama kali mengetik, membuat tulisan yang penuh dengan corat-coret type-x, tempatku pertama kali berjalan dengan pikiran sendiri. Tempatku merdeka. Wajah-wajah yang sama seperti ku, pandangan yang lurus, semangat yang agung. Biarlah ia berjalan begitu, tak ingin jua ku campur tangan. Kelak juga mereka akan belajar menemukan cara mereka sendiri untuk berada. Welcome to ITQAN.

IMG_1868
IMG_1916IMG_1914
IMG_1919
IMG_1915IMG_1921

Selepas Maghrib, perhelatan pun berlangsung. Sebuah panggung berukuran raksasa tergelar megah. Riuh rendah orang berjubelan memasuki arena, saat di mana azan kemudian berkumandang. Yah, begitulah pondok, sangat fleksibel. Dalam situasi seperti ini memerintahkan santri pergi ke masjid sangat tidak praktis, jadi mereka shalat di kamar masing-masing. Setengah jam kemudian, tiga orang MC maju kedepan membuka perhelatan, dalam suasana atraktif disertai lantunan ayat suci, Kiyai Hasan Abdullah Sahal membuka Panggung Gembira. Dan pesta pun dimulai. Sebuah paduan suara yang indah bergema, menyanyikan lagu-lagu mars pondok. Sesudah itu, pembacaan puisi disertai deklamasi mengalir bernas. Penghayatan yang bagus dan ekpresi yang pas. Inilah sebuah pesta santri. Pesta yang akhir-akhir ini terlihat slapstik dan dangkal, di sini adalah sebuah penghayatan, sebuah eksistensi, sebuah etos. Dalam keramaian kudapat merasakan semangat itu dan dalam keramaian pula aku kagum.

IMG_1962
IMG_1954
IMG_1978IMG_1987
IMG_1953IMG_1979
IMG_1994
IMG_1971
IMG_2003


IMG_2008
IMG_2015
IMG_1999

Dan kepergian ini akan selalu berupa cerita tentang diriku sendiri, tentang sebuah geneology pemikiran, sebuah kepribadian dan pandangan hidup yang penuh corak dan berliku. Dan Gontor bagiku akan selalu demikian, tertanam jauh di sana. Sesuatu yang tak akan pernah mampu aku rubah. Ia adalah sebuah struktur, sebuah organisme yang menolak segala bentuk intervensi. Dan karena itulah juga kenapa aku tidak pernah mau mengunjungi para kiyai. Ah, biarlah kita berjalan beriringan, dengan jalur yang semakin membeda. Selamat tinggal gontor, aku tak kan pernah menyesal pernah berguru padamu.

Oh Pondokku tempat naung kita
dari kecil sehingga dewasa
rasa batin damai dan sentosa
dilindungi Allah ta'ala

Oh pondokku engkau berjasa
pada ibuku Indonesia

Tiap pagi dan petang
kita beramai sembahyang
mengabdi pada Allah ta'ala
di dalam kalbu kita

Wahai pondok tempatku
laksana ibu kandungku
nan kasih serta sayang padaku

Oh pondokku.......
I....bu....ku.............

5 komentar untuk "Pilgrimage"

  1. Khairul Umam ?
    Hhhh, masih idup rupanya tu anak. Kayaknya melanjutkan tradisi keluarga dia itu. Waktu dia kelas 1, kakaknya kan sudah jadi ustadz KMI, syuyukh. Ah, rindu jg gw dg Si Umam. U know, however u tease Umam, u'll find smile on his face. Gw paling tau itu. Soalnya sejak kelas 1 - 4, trus kelas 6 sekelas dg manusia ini. Paling asik dijahilin. Gaaak pernah marah. Kayaknya gw belajar kesabaran dari Si Umam. Nah, mungkin gw kena karma-nya. Waktu kuliah, Debi dkk sadis sekali jahilin gw. Tapi reaksi gw kayak Si Umam, senyuuum aja sampe mereka bingung mo jahilin kayak apa lagi :D Anyway, alhamdulillah dia udah nikah & gak bakalan bisa lagi keluar Gontor. Syukurlah, ada wakil angkatan kita.
    Tapi sayang juga dia udah nikah. Kalo masi bujang dia, lo bs nginap di kamar dia, makan bareng di dapur ustadz. Waktu gw 2003 ke sono, gw nginap di Darussalam Computer Center di Gedung Xianjie, gedung baru 4 lt di area Komsol. Waktu itu kalo gak salah, karena ada junior ITQAN yang jadi Ustadz Pembimbing DCC. Lu payah, Wan. Masak nginap di Bagian Penerimaan Tamu, pake acara antri di kamar mandi. Lu musti sedikit luwes laaah. Kenalan aja ama junior ITQAN yang jadi ustadz disana, trus minta numpang di kamar dia deh. Payah :p

    ITQAN ?
    Wei, ada apa dengan kantor ITQAN, kok jd tampak luas begitu. Ruang Agency Majalah digeser kemana? Itu di foto, yang rame senior kelas 6 atau anak-anak Ulul Albab? Tebakan gw, pasti junior2 UA. Bilik komputernya masih ada ya? Kok pintu ke bilik senior di belakang jadi berubah letak? Anyway, lu sebenernya harus minta kumpulin semua anak ITQAN, cuap2 lah sedikit ttg dunia luar, jabarkan peta pemikiran. Berikan mereka pandangan, mo kuliah di Umum kah atau di Agama? Ciputat atau Cairo? Eksakta atau Sosial? INSIST vs JIL ? Mereka butuh alumni2 yang datang ke ITQAN & ngajak bincang2 kayak gitu. Udah tradisi kan? Dulu Ubed (692) kakaknya Hakamshah (695) pernah datang tahun 96 dan ngasih kita tasyji' bagus. Tapi gw gak bs nyalahin jg jadwal lu yg terlalu ketat. Dan saat2 PG emang masa2 sibuk tuh. Hari sabtu lu nyampe, trus minggunya ke Malang "mengurus masa depan" kan? Hhhh..

    Lu bawa oleh2 majalah ITQAN gak? Gw pengen baca. Sejauh apa tulisan2 mereka sekarang?

    FP2WS ? Terisda ?
    Tunis kamar 2, 3 lu poto2 gak? Awas kalo gak, Apa kabarnya FP2WS. Kok ga keliatan papan namanya berdampingan dg ITQAN. Itu papan nama jelek apa di atas tulisan T U N I S ? Aih, 10 thn yl gw yg ngerjain papan nama FP2WS. Kalo gak salah barengan ama Si Frank (Pranggono) yg bikin papan nama buat ITQAN. Terisda? Apa nama gantinya? Lu masuk gak ke kamar 3 ? Foto2 isinya kayak apa sekarang. Apa lukisan2 kaligrafi dari jaman kita masih nempel di dinding2nya? Atau udh tergantikan dg yg lebih bagus?

    PG?
    Wow, anak Gontor sekarang main bass gede itu? Musiknya apa? JAZZ atau KERONCONG ? Yang gw salut dari Gontor yaitu dia menciptakan budayanya sendiri meski memang mengadopsi teknik pertunjukan dari luar. Tapi cara berpakaiannya masih setia dg kesederhanaannya itu. Hhhh.. Ah background panggungnya kelewat rumit tuh. Tapi gw salut, mungkin mereka ingin menunjukkan kemampuan menciptakan nuansa 3 Dimensi diatas papan triplek tipis itu. Kalo begitu sih, sukses. Tapi dari dulu juga begitu kan? 3D. Bagi gw 3D tidak selamanya menarik. Jaman kita dulu, backgroundnya nuansa arsitektur Romawi dan Timteng kan? Ah, coba skali2 nuansa pemandangan / landscape gitu.

    FOTO2 lain ?
    Awas lu kalo ngirit moto di Gontor. Gak rela gw. Lu mustinya bawa flashdisk atau minta tolong si Umam, burning ke CD. Hari sabtu ketemu di JCC, kasih gw CD nya. Gw kayaknya bawa laptop tuh.

    YAH, sejauh apapun kita MEMBENCI, brsh MELUPAKAN Gontor, dia tetap mendarah daging. Indegenously in our attitude. Di jidat kita ini sudah tertempel tulisan "PM" dan susah nghapusnya. Standar Gontor itu tinggi. Kalo gw liat acara2 di kampus gw atau di mana lah yg gak rapi, gw selalu ingat cara kita menangani kepanitian dulu. Gw masih ingat dulu di pertengahan Krisis Moneter 1998, Gw harus memutuskan ttp mengadakan ORIENTASI KEPUSTAKAAN atau tidak. Dan pilihannya tentu HARUS. Malu dong gw, tradisi yg sudah bertahan puluhan tahun, gak terlaksana di masa kepemimpinan gw. Akhirnya jd jg OK atau OP itu dg biaya Rp 7.500 / peserta. Pesertanya hampir 500-an waktu itu. Alhamdulillah. Aula Gedung Saudi jadi penuh juga. Tapi gw, gak ngasih diktat di akhir acara biar irit. Cuman cetakan isi diktat dlm format A4 yang gw cetak di Percetakan Trimurti. Jadi sebelum sessi dilangsungkan, mereka sudah punya materinya. Plus map cantik yg ada sakunya buat nyimpan materi orientasi.

    Nah, dulu kan setelah kejadian di Muker Ramadhan, DP - ITQAN - FP2WS jadi solid tuh. Trus kita ngadain Simposium ttg upaya meningkatkan budaya baca tulis di Gontor. Gw masih ingat baju putih gw keciprat tinta mesin cetak giling itu. Kita jg sih yg bodoh. Serahin aja ke Percetakan Trimurti yg murah meriah itu. Pengen ngirit jd malah repot. Tul kan?

    Sorry ya gw gak bs ikut kemaren. Januari / Februari lo mo ke Malang lagi ya? Gw insyaAllah bs itor. Ntar gw bikin presentasi deh buat bicara di depan anak2 Tunis. Dari sekarang mo gw siapin nih.

    Lu pergi ke MASA DEPAN, biar gw pergi & ngurusin MASA LALU. Ok ?

    BalasHapus
  2. tambahan

    Hey, wan, ini era Web 2.0 kan. Lu punya email anak Tunis gak? We'd make contact w them. Ajak mrk ber-blogging ria. Pengen gw seret mereka ke teknik menulis advance. Cihui !

    BalasHapus
  3. Akhi
    sebuah catatan perjalanan "pulang" yang sangat menarik. melihat pm dengan kacamata orang luar yang pernah tinggal disana.
    kebetulan sekali, saya juga anggota pasukan tunis. saya di-itqan tahun 1991. persis, disanalah pertama belajar menulis buat penerbitan. sebuah pengalaman tidak terlupakan. tempat yg jarang dikontrol komas, mungkin krn hanya sepelempatan batu. tahun 2003 untuk pertama kalinya saya kembali setelah lulus 92. dan tentu saja saya ke itqan, mengumpulkan mereka dan memberi tasyji yang berapi..ha..ha... bukankah kita gemar tasyji. diam-diam pm telah mengembangkan teknik motivasi yang canggih sejak dulu, secara tidak sadar juga ada teknik NLP juga. tentu dg gayanya sendiri.
    foto2 ente bagus-bagus, angle dan pemilihan subjeknya tidak biasa. salam

    BalasHapus
  4. @sonny, I am not in mission, but mission was in me. So, let me into future and I'll let you into past.

    @duotravelers, thank for your attention. For compliment I add your blog in my blog list, perhaps I can learn much more there. syukron.

    BalasHapus
  5. Akhi, Antum punya gak video pg khususnya tarkom ato kobination dance?

    BalasHapus