Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

On Musashi (1)


 Musashi


My review


rating: 4 of 5 stars
Pertama kali melihat buku ini, kira-kira 2 tahun yang lalu. Ia begitu tebal, dan terusterang itu membuat saya terprovokasi untuk membacanya. Dalam benak saya apa gerangan Gramedia menerbitkan buku yang begitu tebal seperti ini, apa buku ini bagus dan terkenal? Perasaan itu mengemuka, tapi tidak cukup menggerakkan saya untuk membeli. Kemudian, beberapa bulan terakhir, di blog teman saya ada sebuah tulisan mengenai Musashi, kupikir, betapa hebatkah tokoh ini dan bila benar demikian, apakah saya layak untuk mengetahuinya? Akhirnya, penentuan itu tiba. Dua hari yang lalu, di Trimedia Kuningan, saya putuskan untuk memiliki karya Eiji Yoshikawa tersebut. Peristiwanya sendiri agak dramatis sih, dari harga semula 190 ribuan, tapi karena kesalahan label harga, malah dikasih harga 155 ribu. Lumayanlah, dan setelah menamatkannya dalam kurun waktu dua hari tiga malam, sepertinya saya tidak menyesal mengeluarkan uang tadi.


Satu yang semestinya dipahami para pembaca adalah buku ini fiksi, walaupun Musashi sendiri merupakan tokoh historis. Meskipun demikian, kehandalah Eiji Yoshikawa dalam meramu cerita begitu kaya akan informasi dan fakta yang terjadi saat itu, sehingga tidak sulit membawa angan kita memasuki dunia keshogunan Tokugawa 400 tahun silam. Dan kekuatan tokoh-tokohnya begitu terasa tanpa membosankan sepanjang 1200-an halamannya. Semua bermula saat Musashi yang saat itu masih dipanggil Takezo bersama Matahaci, bangkit dari sisa-sisa kekalahan di perang sekigahara. Keduanya, bertemu dengan ibu anak, Oko dan Akemi. Dari sini, nasib kedua orang tersebut benar-benar terpisahkan. Takezo dengan segala kepahitan hidupnya, bertemu dengan Takuan, yang memberinya sebuah pencerahan untuk mengikuti jalan pedang dan menjalani takdirnya sebagai samurai sejati. Adapun Matahaci, tenggelam dalam nafsu birahi dengan Oko dan hidup terluntang-lantung tanpa tujuan.


Kegalutan Matahachi itu membuatnya memutuskan pertunangan dengan Otsu. Otsu yang patah hati menemukan tambatan hatinya pada Musashi. Sayangnya, kala itu ia sudah berketetapan hati hidup mengikuti jalan pedang, dan penantian Otsu yang tiga tahunpun berlalu sia-sia. Meskipun demikian, cinta Otsu benar-benar murni, dan ia pun berusaha mencari Musashi seantero Jepang. Dalam pengembaraannya, Musashi mengangkat murid pertamanya, Jotaro, yang selama perjalanan hampir tidak pernah diajarkan ilmu pedang, tapi jotaro sangat menghormati gurunya tersebut. Sementara itu Osugi, ibu Matahaci yang kecewa calon menantunya lari bersama Musashi, menjadi berang dan mulai mengobarkan perang pribadinya kepada ronin tersebut.


Musashi sangat tertarik dengan kesempurnaan, dan ia berusaha menemui para master ilmu beladiri untuk menguji kemampuannya tadi. Pada masa itu, hal ini sangatlah wajar, meskipun duel-duel penting antar dua samurai sering berakhir pada kematian dan mengakibatkan tradisi balas dendam, tapi hal tersebut diterima sebagai jalan pedang. Duel penting pertama Musashi saat berhadapan dengan perguruan Yoshioka. Ia berhasil mengalahkan seijuro, pemimpin perguruan tersebut. Pristiwa tadi membuat namanya terkenal. Bagi para murid Yoshioka, kekalahan ini merupakan tamparan besar dan mereka kembali menantang Musashi bertanding pada dua duel lanjutan. Jarak antara pertemuan pertamanya dengan perguruan Yoshioka hingga pertempuran terakhir di Ichijoji, menyatukan musuh-musuh Musashi. Yang paling besar adalah Sasaki Kojiro, seorang samurai berdarah dingin, yang ambisius dan iri dengan kemasyhuran nama Musashi. Bersama Osugi yang dendam kesumat, mereka berkampanye negatif terhadap Musashi, sehingga pengangkatannya menjadi pemimpin dojo shogun dibatalkan.


Jalinan cerita semakin rumit ketika permusuhan kedua pihak mulai melibatkan friksi-friksi politik yang tengah mengalami masa psywar. Untuk mencegah kerusuhan yang lebih parah, Musashi menyetujui tantangan Kojiro untuk berduel. Dalam duel singkat yang sangat terkenal di Ganryujima, Musashi berhasil mengalahkan Sasaki Kojiro dan membuktikan kemampuan dirinya tersebut.

***

Buku eiji Yoshikawa ini memang tidak mengisahkan keseluruhan masa hidup Musashi, ia hanya memuat fragmen antara umur 19 hingga 29 tahun. Sebuah masa pencarian jati diri dan pembangunan karakter. Ceritanya mengalir lancar, dengan menggambarkan detil suasana batin setiap tokoh dengan baik. Penggunaan tanda petik pada sebuah statment seseorang yang lalu menghilang kepada deskripsi subjektif orang tersebut, dan tiba-tiba muncul dalam bentuk orang lain, sering mengecoh pembaca untuk membedakan pendapat siapa yang tengah diutarakan oleh si penulis. Namun, dari lontar pendapat yang cerdas antar tokoh, suasana mengambang tersebut terasa menempatkan kita pada sebuah pemahaman, yang bahkan tidak akan terungkap di dunia nyata. Akhirnya, realitas semakin sumir, meski terdapat keengganan dari Yoshikawa sendiri untuk membawa pembacaan Musashi kepada surealisme. Dapat dipahami, karena novel ini merupakan jenis novel koran yang kemudian dibukukan.

Unsur cinta merupakan sebuah side story yang menarik. Dalam Musashi, ia dibenturkan dengan cara hidup yang dianut tokoh-tokohnya. Seperti keengganan Musashi menerima cinta tulus Otsu, karena ia hendak menempuh jalan yang memaksanya menyingkirkan cinta. Bahkan, setelah ia benar-benar tersiksa, Musashi tetap tidak jelas mengungkapkan perasaannya tersebut. Di lain pihak, plot-plot baru saling muncul tidak secara liniar dan dipertemukan secara kebetulan pada pertemuan-pertemuan tanpa sengaja antar para tokoh, mirip cerita-cerita silat macam Wiro Sableng. Dengan demikian pencampuran tokoh-tokoh historis dengan fiktif berjalan sempurna tanpa ada perasaan janggal, apakah tokoh ini nyata atau rekaan. Mungkin yang membuat saya curiga adalah kesamaan plot antara Musashi dengan film animasi Samurai X. Mulai dari kehadiran wanita, murid-murid belia, hingga lawan dan kawan. Apa memang, bentuk cerita saga hampir sama? Atau mungkin saya lebih dahulu kenal samurai X daripada Musashi, padahal buku tersebut terbit pertama kali diakhir tahun 1930-an, sehingga pembacaannya membuat pandangan saya soal originalitas terganggu? Dibalik itu semua, penghabisan cerita yang terasa menggantung dan cara sang penulis menggambarkan momen-momen penting seperti pencerahan Takezo, atau kesadaran diri Osugi, dan scene duel, terasa tidak proporsional dengan cerita yang melatarinya. Mungkin memang bukan itu penekanan yang diinginkan sang penulis, yang bagi saya justru terletak pada semangat yang hendak dituju.

Dalam sebuah kata pengantar J.B Kristianto, buku Musashi ini memecahkan rekor penjualan sebanyak 120 juta di Jepang. sebuah angka yang fantastik, mengingat penduduk Jepang yang menurut Kristianto kurang dari angka tersebut. Hal ini dapat diterjemahkan betapa kemasyhuran Musashi telah melekat di hati setiap orang Jepang.




View all my reviews.

2 komentar untuk "On Musashi (1)"

  1. hhh, himawan
    gw baca novel ini 6x dg antusiasme yg nyaris tdk berkurang. Saran gw, lo hrs mengelaborasi usaha mencapai "kesempurnaan" itu

    Mulai dari dikurung di benteng kyoto & mnjd manusia baru; diajak bertamu & ditahan u tinggal di rumah geisha. Eiji dg cantik menunjukkan bhw Musashi tlh mencapai kesempurnaan sblm menerima tantangan Sasaki Kojiro.

    Ia sama sekali tidak berlatih pedang, ia sibuk mengalahkan ketegangan dalam dirinya menjelang hari H pertarungan. (Mengalahkan diri sendiri). Ketika pergi, dg tepat ia menggunakan arus pasang - surut selat u pergi - pulang k / dr tempat pertarungan. Efisien, menyatu dg alam. Selama di atas perahu, ia sibuk meraut sebuah dayung rusak menjadi semacam pedang kayu. Ia hanya butuh memukul Kojiro sekali saja untuk mengalahkan kepongahannya. Ia sempat memastikan Kojiro tidak tewas sbl pergi kembali dg perahu. Teknik pedang tertinggi adalah welas asih.

    Estetika Musashi adlh bagian menarik yg diekplorasi Eiji. Ia dpt melihat teknik pedang tingkat tinggi dari seorang master pedang yg sudah uzur hny dari melihat pola potongan serangkai bunga. Ia amat waspada ketika melewati seorang rahib besar / guru beladiri tingkat tinggi yang menyamar dlm pakaian petani hanya dari teknik mencangkul dan bunyi cangkul itu.

    Ia belajar melukis & membuat patung meski tak punya dasar-dasar pengetahuan seni. Ia bs mengagumi lukisan2 krn dlm dirinya ada "perasaan keindahan" meski hidupnya selalu dlm bayang2 darah & kematian. Toh pada dasarnya filosofi teknik pedang Musashi adalah luwes, mengalir, nir-teori, estetik, intuitif !

    Musashi jg bljr mengubah sebuah tanah yg sama sekali tidak layak menjadi lahan pertanian yg menjanjikan. Ia jg mengajarkan sebuah kampung untuk percaya pada kemampuan mereka sendiri dlm mengusir para penyamun.

    Ia mencapai ketinggian ZEN bukan dalam pakaian rahib, tapi dari persistensinya yang nyaris tanpa kompromi (dg urusan cinta yg "remeh temeh") meniti JALAN PEDANG.

    Akhirnya,
    harus kusarankan jg untuk mengelaborasi konsep KESEMPURNAAN MUSASHI dan membandingkannya dg KONSEP UBERMENSCH tokoh idola lu si Nietzsche & konsep INSAN KAMIL nya Imam al-Ghozali, Mulla Sadra. Atau lo bisa merambah ke eksistensialisme nya JEAN-PAUL SARTRE.

    sip, Himawan
    c'mon, read it slowly..

    BalasHapus
  2. tambahan :

    Novel Musashi ini lahir sebagai pelipur lara bagi Jepang yg kalah perang. Ia membangkitkan semangat sebuah bangsa pecundang ! Musashi pun adalah pecundang di Sekigahara.

    Surealisme tidak selamanya aliran sastra paling ampuh. Kalau kita bicara soal sastra yg menggerakkan, tampaknya SASTRA REALIS, entah itu REALISME SOSIALIS ala Pram atau REALISME POP ala Andrea Hirata, yg bs diharapkan.

    Dalam konteks ini, Kuntowijoyo dg cerpen / novelnya yg cendrung surealism sedikit gagal menerapkan ide SASTRA PROFETIK nya.

    Surealism itu mirip JAZZ, audiens nya cuman minoritas elite. Tapi mungkin Kunto menganggap dg menggerakkan kalangan terbatas itu, bs terjadi trickle down effect. Tp sekali lg, budaya kita saat ini adalah budaya massa. Andrea benar dlm hal ini ketika menghadirkan LASKAR PELANGI sbg pemuas dahaga massa akan bacaan berkualitas.

    Eureka !

    BalasHapus