Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

At The End of Civilization


Minggu pagi berangkat ke Kota Tua di bilangan Stasiun Kota Jakarta Utara. Udara masih sangat sejuk. kereta yang membawaku berderu keras beradu dengan angin membuat telinga pekak. Maklumlah, kereta buatan dalam negeri. Setiba di tempat tujuan hari mulai panas. Sisa-sisa air seni menguap tipis, meninggalkan bau yang teramat pekat. jalan-jalan mulai ramai oleh manusia berlalu-lalang, dari bajunya kurasa mereka habis berolah raga. Dan jadilah pengembaraan saya kedalam labirin kota tua ini dimulai.

Kata yang paling tepat untuk menggambarkan situs sejarah ini hanya satu kata, kotor. Tua dan kotor tepatnya. Bangunannya lapuk dan tanpa penghuni, hanya gelandangan yang mengisi. di depan guvernoorkantoor, lebih parah lagi. tampak sisa-sisa resepsi bertebaran mengganggu pemandangan. Saya jadi bingung, apa sebenarnya yang mau saya ungkapkan, apalagi banyak sekali fotografer yang sibuk mencari gambar. Jadilah pagi itu pertunjukkan kesemerawutan dimulai. karena bingung, ya saya foto ujung-ujung langit untuk menggambarkan betapa sepi dan merananya sisa-sisa kolonialisme itu.

Pukul sembilan lewat Museum Fatahillah dibuka. Dan dengan seremoni sebentar dari mantan orang nomor satu Jakarta, museum pun dibuka untuk umum. Saat itu memang dalam masa perayaan sumpah pemuda, jadi beruntung juga bisa memasuki markas besar Hindia Belanda itu di hari Minggu. Yang sebenarnya, saat masuk, saya hanya terkesima dengan patung Hermes yang indah itu. Begitu anggun dan menawan seakan berusaha terbang keangkasa menjemput wahyu. Di depannya sebuah meriam kuno siap menembak. Lantai-lantai gedung tersebut dari kayu yang amat tebal, jadi berjalan di atasnya seperti bergoyang-goyang. Yang juga menarik adalah, lukisan governoor Jendral Deandels yang membuat jalan pos Anyer - Panarukan. Menurut Pram, orang ini sangat bengis dan jahat, hingga tega membunuh ribuan nyawa dan mempekerjakan orang-orang secara rodi untuk menyatukan pulau Jawa dan membangun jalur pos itu. Wajah orang bengis ini begitu manis, hingga kau tidak akan percaya kalau tangannya itu berlumuran darah. Jadi ingat ungkapan Hirata tentang Napoleon, sebagai pembunuh berdarah dingin yang tampan.

Raden Inten
IMG_0544 IMG_0558

Awalnya, saya terlebih dahulu pergi ke jembatan Kota Intan sekitar lima ratus meter ke utara, melewati terminal Kota Tua yang becek dan berjalan menelusuri Kali Besar yang saat itu tengah direhab. Dari jargo-jargon Pemda Jakarta mengenai revitalisasi Kota Tua saya tidak melihat hal yang membanggakan di era Sutiyoso. Material bangunan yang bertimbunan seakan menjawab betapa lambannya kita berhadapan dengan usia. Jembatan Kota Intan sendiri merupakan jenis jembatan gantung yang dapat diangkat untuk keperluan keluar masuk kapal era penjajahan. Bahan dasarnya kayu, dan karena faktor usia, ia tidak lagi digunakan. pintu masuk bagian timur, digembok dan sekeliling situs ini dikitari pagar. Sementara di bagian barat, sebuah taman kecil dipadati ibu-ibu yang tengah mengadakan senam pagi di pelatarannya. Hampir tidak ada tempat bernapas di sini. Kepadatan penduduk, lalu lintas yang ramai dan jembatan kereta, saya jadi bertanya, dimanakah letak yang tepat untuk menikmati peninggalan bersejarah ini? Akhirnya, karena tidak ketemu jawaban yang pas, kembali lagi ke governoorkantoor.

Sebuah selentingan ide muncul tiba-tiba di benakku saat menunggu museum fatahillah dibuka. Seorang yang entah juru kampanye atau apa, berkoar-koar lewat mikrofon agar orang-orang berkumpul di depan museum. Maksudnya mungkin mengumumkan secara besar-besaran bahwa museum saat itu tengah dibuka gratis untuk umum dan mengajak masyarakat luas berpartisipasi. Yang saya sayangkan, cara orang tersebut mengajak, persis seperti para penguasa tempo doeloe. Caranya berkata seolah ia merupakan agen kekuasaan yang sangat kuat. Ia lupa, bahwa orang-orang yang ia suruh berkumpul itu adalah orang-orang bebas yang tidak tunduk kepada apa-apa. Rupanya kekuasaan itu manis dan semua yang ada di sana, termasuk Sutiyoso yang disambut bak orang besar itu, begitu menikmati atmosfer kesemuan tadi. Mungkin karena itulah para politikus sering bicara tentang menghormati jasa pahlawan yang tak lain eufisme menghormati jasa kekuasaan. Sejarah selalu menjadi sejarah kekuasaan dan orang yang memiliki kekuasaanlah yang akan memiliki sejarah. Dan di sini, sejarah dan kekuasaan tidak lagi terpisahkan.

IMG_0593 IMG_0541Hermes
IMG_0579 IMG_0557

Memasuki Stadthuis, bangunan berlantai tiga ini dulunya merupakan balai kota masa VOC dan selesai dibangun tahun 1710 oleh gubernur jenderal Van Hoorn. Bagian dalam sederhana, seperti memasuki kantor kelurahan saja. Ruang-ruang kantor telah berubah fungsinya menjadi ruang pameran, pintu-pintu dilepas agar para pengunjung leluasa menjelajahi ruang display yang dipenuhi berbagai macam memorabilia masa lalu. Kursi, meja, lemari, gerabah, meja pertemuan yang besar, lukisan, patung, semua dipajang begitu saja, tanpa ilustrasi bagaimana dahulu ruang-ruang ini terlihat. Jadi teringat dengan diorama proklamasi atau pembantaian para jenderal di lubang buaya yang dibuat sedetil-detilnya, di sini tidak ada. Mungkin pemerintah masih setengah hati dengan bangunan ini. Maklum, gedung ini tidak ada kaitannya dengan kelanggengan kekuasaan. Intinya, buat apa repot-repot.

Di lantai teratas, saya terkesima dengan sebuah lukisan dengan media papan kayu yang lebar dan besar, menggambarkan pengadilan raja Sulaeman yang terkenal itu. Dari bentuk pakaian tokoh-tokoh yang ada, lukisan ini berciri romawi kuno. Yang membuat menarik, bukan lukisan yang tampak sederhana dan murahan itu, tapi kenyataan bahwa selama masa kolonial, saya pikir Belanda telah membuat sebuah jenis kebudayaan yang berbeda dari semangat romawi kuno. Setidaknya, bangunan mereka pada umumnya lebih berciri khas negri Belanda, kecuali bangunan-bangunan besar yang mulai memakai kolom ala Greeco-Romawi di bagian depannya. Melihat lukisan ini, saya jadi sadar betapa peradaban mereka masih berada di bawah bayang-bayang kerajaan terkuat di Eropa itu. Dan kita, dengan lugunya menganggap negara kecil di Eropa Barat Daya itu sebagai sebuah negara besar, hingga mau dijajah selama 350 tahun! - Oh, terima kasih Sukarno atas bahasa bombastisnya.

Di halaman belakang, terdapat dua benda yang terkenal: meriam si jagur dan patung Hermes. Saya sendiri heran mengapa masyarakat banyak membicarakan meriam tua itu, karena menurut saya itu hanyalah sebuah meriam besar biasa. Tepat dihadapan meriam ini berdiri sebuah patung perunggu Hermes yang anggun. sambil memegang tongkat, ia menjukurkan tangannya ke langit hendak menerima wahyu. Bagi yang percaya dengan konspirasi Yahudi, tongkat Hermes itu merupakan lambang brotherhood of Snake, sebuah perkumpulan rahasia Yahudi yang ekstrim. Terlepas dari hal tersebut, yang pasti saya sangat menikmati keanggunan patung ini.

IMG_0627 IMG_0629 IMG_0552 IMG_0525

Setelah cukup melihat-lihat isi museum, saya putuskan melanjutkan perjalanan menuju monas. Sebenarnya ingin cerita juga hasil pencarian saya di sana, tapi karena tidak ada yang menarik, langsung saja melompat pulang ke stasiun Jakarta Kota. Ups, stasiun ini menarik juga. Lengkungan langit-langitnya begitu indah, dan arsitektur masa lalunya bagus. Sayang, sama seperti nasib benda-benda lain di Republik ini, semuanya tidak terawat, penuh vandalisasi, dan kehilangan auranya. Beginilah hidup di akhir peradaban. Sambil menikmati kenyamanan kereta AC ekonomi Jakarta - Bekasi, saya pulang dengan penuh rasa suka cita. Para penjajah itu, mereka orang-orang luhur rupanya. Termasuk kereta bekas buatan Jepang ini yang begitu halus, empuk, nyaman dan beradab. Berbeda 180 derajat dengan yang saya tumpangi tadi pagi. Ah, itukan cuma buatan INKA, yang ini beda. Apa mungkin saya tidak nasionalis?

Seandai saja kita mempu memelihara peninggalan tadi, menghadirkan setiap lekuk dalam ekspresinya yang asli, mungkin kita akan merasakan betapa manisnya dijajah. Tapi kitakan orang bebas, orang merdeka, sehingga semua yang membelenggu kita dari masa lalu yang kelam tak lebih dari sampah yang harus dilepaskan. Dan begitulah perilaku kita, bahkan kepada penerus-penerus para penjajah itu. Lepas, terbang, dan tinggi seperti Hermes, dan tak pernah lagi menjejak di bumi.
Ah, seandainya aku lahir saat itu.
Dan aku bukan orang Indonesia.
Ah, tidak.
Bangsku ini memang lucu dan aneh.

2 komentar untuk "At The End of Civilization"

  1. Luar biasa !

    Gw rasa posting ini istimewa. Sempurna menggambarkan ironi. Begitu satire ! Bila kita mengingat pencapaian Republik ini sejak proklamasi, mungkin dijajah lebih manis ketimbang merdeka. Menjadi manusia merdeka memang tidak mudah. Semuanya berakhir sebagai pilihan-pilihan hidup. Mirip pilihan antara menjadi entreprenue atau pegawai. Menilik mental bangsa ini, memang menjadi pegawai masih lebih disenangi ketimbang menjadi wirausahawan.

    Tapi dalam konteks yang lebih besar, aku tetap memilih merdeka tapi miskin, ketimbang makmur tapi dijajah. Soalnya, gw kok ingat ayam potong yang hidup makmur tapi berakhir di ujung pisau yaa

    :D

    Two thumbs up !

    BalasHapus
  2. Good post and this post helped me alot in my college assignement. Gratefulness you for your information.

    BalasHapus