Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi Hujan


Hujan, Jakarta hujan akhirnya air itu tumpah berserakan di selasar jalan
membuat selokan tak kuasa membendung tangisan
dan semuanya seakan berlari memayungi diri
menghindar dari tembok yang bercurah
membasahi tubuh ini akan kerinduan.

Sudah seminggu lebih matahari terbit begitu menyengat,
siang jadi berdebu dan malam membuat lumer seisi kamar
akupun terhanyut panjang kedalam insomnia
kuyakini, malam-malam itu seluruh malaikat di tujuh lapis langit
turun bersama-sama, menyanyikan senandung kepada Sang Esa
dan kukira juga tubuh mereka yang besar-besar dan jumlahnya yang tak terhitung itu
apa sempat mereka mandi membersihkan diri?
jadi kupikir ini gara-gara mereka, semangat mereka yang membara
dan menyengat...
Mula-mula setan di kepalaku, kemudian di hatiku, sekarang mungkin saja aku juga
yang akhirnya tersengat.
Tapi semua bukan masalah, toh sekarang juga hujan telah turun,
dan jalanan kembali bersih, persis seperti mata yang bening setelah diguyur tangisan.

Dua tahun giat menunggu seseorang
bukan siapa-siapa, hanya keharusan pekerjaan semata
yang mestinya juga bukan se.. tapi ia, ia, dan ia
individu yang tunggal dan berbeda-beda
dan selama itu pula, kurasakan hembusan angin di sela-sela jaketku
dari pagi, siang hingga gelap
penuh dengan ritual yang itu, itu juga
awal bulan yang berjalan ringan, pertengahan yang penuh pencerahan
dan akhir bulan yang chaos, berseliweran di tengah hiruk-pikuk
Apa sudah masuk target bulan ini? Berapa persen lagikah?
Oh, meniti tahun yang hanya 300-an hari itu seperti meniti seribu bulan
kataku, inikah lailatul Qadar?
Dan malam-malam kulihat pula ribuan bidadari sepertiku
katanya, kuingin hidup normal
bekerja tanpa perlu melihat malam
menangisi diri, orang tua, pacar dan suami mereka
kataku, untung juga hujan
dan hujan tak pernah mengenal malam
jadi, boleh juga ia menemanimu selalu, sama sepertiku
yang basah kuyup bercumbu dengannya

Dan hujan selalu membawa tangisan,
barangkali Tuhan menangis.
Oh tidak, ia selalu tersenyum, hanya kita jualah yang menangis
karena tak mampu memikul bumi, yang katanya coreng-moreng oleh kebiadaban manusia
yang tega memangkas hutan dan menancapkan umbul-umbul di lidah sungai
akhirnya mereka jualah yang menangis
kataku, kenapa harus menangis?
Lalu hujan turun, begitu juga air mataku

Hujan, Jakarta hujan
anak-anak adam itu mengalir lambat di ruas-ruas jalan
memampetkan underpas dan perempatan yang tak kuasa menampung beban
dan semua seakan berlari mengejar impian
berjibaku dengan potongan peluh dan penat
mata mereka nanar, tapi bibir mereka tersungging senyum
sungguh, surga itu tak akan pernah jauh dari neraka

(Kuningan, 24 September 2008)

1 komentar untuk "Puisi Hujan"