Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengideks al-Quran





Pengalaman ini terjadi 12 hari yang lalu, saat saya melakukan kunjungan rutin ke customer. Kebetulan customer saya ini sedang membutuhkan produk yang saya pasarkan. Setelah basa-basi sedikit dan menuntaskan proses jual beli, beliau bertanya tentang agama saya dan latar belakang pendidikan. Saya katakan, saya muslim, dan memiliki latar belakang pendidikan filsafat. Mendengar hal tersebut beliau mengajak saya berdiskusi tentang masalah agama. Dan, kebetulan pula agamanya Protestan.



Customer saya ini memulai pembicaraannya dengan Isra Miraj, bagaimana Nabi kemudian diangkat Tuhan ke langit, kemudian disambung dengan proses pewajiban shalat serta perpindahan kiblat dari Jerussalem ke Makkah. Terus terang, saya sangat terkejut dengan pengetahuannya yang luas tentang Islam, barangkali karena pergaulannya dengan teman-teman sejawat yang beragama Islam, kebalikan dengan saya yang hanya tahu sedikit saja mengenai Bible. Saya ikuti terus penjelasan naratifnya yang kadang-kadang diselingi beberapa pertanyaan konfirmasi. Hebatnya, saya membenarkan penjelasan dia tadi. Di akhir monolog, beliau mengutarakan sebuah pertanyaan menyangkut keabsahan kitab suci yang dianutnya. Semua kitab suci mengklaim tentang konsistensi, bagaimana kiranya membuktikan konsistensi kitab suci? Dalam kaitannya dengan al-Quran, dengan terjadinya perubahan kiblat dari Jerussalem ke Makkah, apa itu berarti al-Quran tidak konsisten (pertanyaannya kira-kira demikian, mesti diungkapkan secara tersirat)?



Saya katakan, inkonsistensi tentu terjadi dalam ketidak sinkronan antara suatu fakta dengan fakta yang lain dalam sebuah konteks. Bila suatu ayat mengatakan A dalam konteks Biru, maka seharusnya di ayat yang lain harus pula diketemukan kesamaan bahwa A dalam konteks biru. Misalnya, bila ada satu ayat yang menyuruh berkiblat ke Jerussalem sedang yang lain berkiblat ke Makkah dalam konteks yang berbeda, maka hal tersebut tidak dapat disebut dengan inkonsistensi. Akan tetapi bila kedua ayat tersebut berada dalam satu konteks yang sama, maka dapat disebut sebagai inkonsistensi. Dalam kasus perpindahan kiblat dari Jerussalem ke Makkah yang terjadi sebenarnya adalah kemunculan sebuah konteks baru yang merupakan penghubung dua konteks yang serupa. Sehingga, sesuatu yang kelihatannya terlihat sebagai inkonsistensi, pada dasarnya merupakan sebuah struktur besar narasi dengan konteks yang tunggal, yakni perubahan arah kiblat.



Lebih lanjut, saya kemudian menanyakan apa yang beliau maksud dengan konsistensi itu sendiri. Customer saya ini kemudian mengambil sebuah buku besar yang berisi sejarah dari Bible. Secara ringkas, ia menjelaskan bahwa Bible itu terdiri dari dua buah kitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan berumur leih dari 3000 tahun. Perjanjian Lama ditulis oleh Moses dan berlanjut hingga ke zaman nabi-nabi Israel. Sedangkan Perjanjian Baru dimulai dari kehidupan Yesus dan ditulis oleh para Apostles. Dalam keyakinan Kristen, kata-kata yang ada dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, seharusnya tidak memiliki kontradiksi. Ia mengambil contoh kata cahaya yang terdapat dalam Genesis, memiliki arti yang sama dengan kata serupa yang ada dalam Kitab Imamat -saya kurang mengerti. Dengan penuh semangat, customer saya menunjukkan letak ayat tersebut dalam kitab Genesis kemudian, melalui sebuah cross index ia membuka bagian lain dari Bible yang memuat arti yang sama. Akhirnya, beliau menyimpulkan bahwa dalam Bible itu tidak ada inkonsistensi.



Dalam hati saya membatin, betapa customer saya ini bergiat membuktikan bahwa kitab sucinya itu tidaklah inkonsisten (tepatnya kontradiktif) sebagaimana yang telah dituduhkan teman-teman muslimnya. Sebetulnya, posisi saya saat itu bukan bermaksud menyerangnya secara frontal tentang masalah keyakinan, tapi lebih kepada kepentingan bisnis semata. Jadi lebih mementingkan aspek kesamaan dari pada perbedaan. Secara teologis historis, apa yang dikerjakan customer saya itu sebenarnya absurd. Bible dalam banyak hal sudah kehilangan tuahnya di mata para ilmuwan modern, sudah banyak yang membuktikan bahwa banyak ayat-ayat dalam Bible yang bermasalah. Dan apa yang telah Customer saya ini sampaikan sebagai konsistensi, tak lain dan tak bukan hanyalah ortodoksi. Beda konsistensi dengan Ortodoksi hanya satu, seleksi yang ada dalam konsistensi bersifat alamiah, sedangkan dalam ortodoksi bersifat buatan. Bandingkan dengan ortodoksi Hadis dalam dunia Islam.



Yang menggugah saya menyampaikan pengalaman ini, tak lain dan tak bukan adalah betapa pentingnya sebuah indeks al-Quran bagi Umat Islam. Tentu saja dalam diskusi tadi, saya hanya bersandar pada nalar saya semata, karena terus terang saja, saya tidak hafal al-Quran. Saya



berandai-andai apabila saat itu saya memiliki sebuah indeks al-Quran lengkap, tentu saya dapat mendemonstrasikan pemikiran saya dengan lebih baik lagi. Suatu ketika, saat shalat Ashar di Masjid Sunda Kelapa Menteng, saya mendapati sebuah sebuah buku besar berjudul Ensiklopedia al-Quran karangan DR. Wahbah Zuhaili (baru tahu kalau terbitan GIP ini punya masalah lisensi dengan PT Al Mahira selaku pemilik lisensi resmi dari penerbit Darul Fikr yang berlokasi di Damaskus, Suria) di dalamnya terdapat Indeks, tafsir ringkas dan al-Quran jadi satu. Saya pun teringat dengan diskusi yang telah saya sampaikan di atas dan berusaha mencari buku tersebut. Saya cari di Gramedia ternyata tidak ada (yang ada indeks al-Quran dalam bahasa Indonesia) dan kemudian saya cari di Gunung Agung, syukur masih ada. Harganya lumayan, Rp 298.000, setelah didiskon 20%, jatuhnya Rp 230 ribuan. Well, untuk sebuah ilmu uang tidak ada artinya. Dan buku inilah yang akan saya jadikan pegangan untuk mengkaji al-Quran di bulan Ramadhan ini.

2 komentar untuk "Mengideks al-Quran"

  1. hhh.. gaya tulisannya filsuf bgt. Sipp!
    BTW, masak lupa di Gontor dulu kan pernah nge- fathul kutub alias OpenBook :)

    Di antara kitab2 klasik itu kan ada Mu'jam al-mufahrasy li alfazil Qur'an alias Indeks al-Qur'an. Indeks Hadits jg ada bhkn lebih tebel. Nah, jaman metalik sprt skrg kedua buku tebell itu udah di-CD kan. Tinggal ketik kata kunci di box search, ketemu deh.

    Indeks yg sbnrnya lucu kalo diterjemahin, diterjemahin jg oleh alm. Ali Audah yg spesialis buku2 tebel :) Konyolnya, indeks alif-ba-ta itu diubah jd ABCDE.. :D

    BTW, emang ada filsuf jualan obat :p
    jualan? padang banget!! :p :p

    BalasHapus
  2. Gapapa sih, toh 12 tahun lagi akan ada filsuf yang jadi milyuner. :)

    BalasHapus