Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Quran tidak menjelaskan putra Ibrahim yang hendak dikurbankan?

 Ketiadaan nama qurban Ibrahim dalam Quran sebenarnya menunjukkan bahwa ide Ismail sebagai calon qurban, telah lama ada jauh sebelum Islam muncul. Ide ini telah berakar kuat di alam pikiran orang-orang Quraisy, yang menganggap kuil mereka sebagai "Yerusalem Baru".

Hal ini dikarenakan, dalam kebercayaan orang-orang Yahudi, lokasi tempat Ishaq hendak dikorbankan, adalah tempat di mana Kuil Sulaiman saat ini berdiri. Lokasi ini pula yang dipercaya oleh orang-orang Yahudi sebagai tempat Adam pertama kali diturunkan dari Eden.

Siapa pun yang belajar semiotika bisa dengan mudah memahami simbolisme yang muncul dalam perdebatan abadi antara Ishaq dan Ismail sebagai calon korban Ibrahim. Ada transfer makna di sana, demikian pula transfer legitimasi, dari pusat ziarah yang terbengkalai dan porak poranda, ke tempat ziarah baru dari garis keturunan Ibrahim yang lain.

Ini sebenarnya ide liar yang sah-sah saja diklaim, toh rang-orang Yahudi, baik Rabbinik maupun kelas pendetanya di Yatsrib, tampaknya juga tidak terlalu peduli soal ziarah tahunan. Mereka sudah tidak lagi menjalankan ritual hagg. Demikian pula pemeluk agama Kristen yang juga mengabaikan ritual kuno ini. Sebuah ide tanpa denotasi yang kuat adalah bagian dari marketplace klaim.

Ide yang terbengkalai inilah yang lalu diambil oleh pemuka Quraisy untuk rebranding kuil suci mereka. Dengan menautkan mitologi Hajar dan Ismail, beserta mata air ajaib yang muncul secara tiba-tiba, mereka membangun fondasi yang sangat kuat di alam pikiran orang-orang Arab.

Strategi branding ini sangat penting, karena Makkah bukan satu-satunya pusat ziarah di Arabia pada saat itu. Ibn Al-Kalbi bahkan mencatat adanya kuil-kuil lain yang menjadi tempat tujuan ziarah selain Makkah. Dan di balik kuil yang sangat banyak ini tentu saja terdapat jaringan suku dan politik yang saling bersaing satu sama lain. Tanpa adanya strategi branding yang kuat, bukan tidak mungkin suatu pusat ziarah menjadi sepi dan ditinggalkan oleh peziarahnya.

Ide inilah yang menjadi tantangan saat Quran bercerita tentang peristiwa aqedah pada periode Makkah II, antara tahun kelima dan keenam kenabian. Maka ketimbang mengambil risiko dibenci orang sekota, Quran lebih memilih mengakomodir kepercayaan tersebut dengan strategi yang sangat jitu, yakni tidak menyebutkan nama calon qurban secara tegas.

Strategi Quran ini terbukti efektif. Sebab setelah Yahudi Yatsrib dengan tegas menolak kenabian Muhammad, beliau bisa dengan mudah kembali lagi ke Makkah. Tidak heran jika ayat yang berbicara tentang pembangunan Ka'bah oleh Ibrahim dan Ismail di ayat 2:127-132 menjadi preambul dari ayat perpindahan arah kiblat yang hadir di 2:144. Sebuah reversal dari perpindahan kiblat pertama yang disampaikan secara tersirat di Surah Al-Isra ayat 1.

Jadi, meski analisis semantik Quran—seperti konsistensi penggunaan kata gulam bagi Ishaq, menunjukkan bahwa Quran sebenarnya tidak menyelisihi tradisi Yahudi, tapi absennya nama calon qurban Ibrahim membuat gagasan bahwa Ismail adalah putra yang hendak dikurbankan tetap lestari. Gagasan inilah yang lalu mendominasi alam pikiran umat Islam hingga saat ini.

Posting Komentar untuk "Mengapa Quran tidak menjelaskan putra Ibrahim yang hendak dikurbankan?"