Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Percaya pada Jin tidak Masuk Rukun Iman?

 Ada satu teori menarik dari Alfrod T Welch tentang evolusi konsep ketuhanan dalam Quran, yang dalam satu lain hal memiliki korelasi kuat dengan pertanyaan ini. Di paper berjudul "Allah and other supernatural beings: the emergence of the Qur'anic doctrine of tawḥid", Welch menyorot kasus tiga putri Tuhan, yakni Lata, Manat, dan Uzza yang disembah oleh suku Quraisy. Menurut Welch, atribusi Quran terhadap tiga Tuhan ini merefleksikan sikap Quran terhadap Jinn.

Gambar: Trio Tuhan orang Quraisy.

Pertama, pada Q. 43:16–19, Quran menganggap ketiga Tuhan tersebut tidak lebih dari malaikat dan bukan Tuhan sejati.

Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki. Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Rahman; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Rahman sebagai perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.

Pandangan Quran terhadap ketiga Tuhan yang disembah suku Quraisy kemudian berubah, dari malaikat menjadi Jinn. Kita bisa menemukan perubahan sikap ini pada Q 34:40–42.

Dan hari Allah mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat: "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?". Malaikat-malaikat itu menjawab: "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". Maka pada hari ini sebahagian kamu tidak berkuasa kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan kepada sebahagian yang lain. Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: "Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu".

Di kemudian hari, sikap Quran kembali berubah dengan menyatakan bahwa ketiga Tuhan itu tidak lebih dari nama-nama saja, atau tidak nyata. Anda dapat menemukan pernyataan Quran ini pada Q 53:19–23.

Maka apakah patut kalian menganggap Lata, Uzza, dan Manat yang ketiga, terkemudian, Apakah untuk kamu laki-laki dan untuk Allah perempuan? Yang demikian itu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh diri mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.

Perubahan sikap Quran terhadap para pesaing Allah ini, dapat diringkas kedalam tiga fase berikut:

  1. Menurunkan derajat Tuhan-Tuhan selain Rahman menjadi selevel malaikat.
  2. Menurunkan lagi derajat Tuhan-Tuhan selain Rahman dari malaikat menjadi sebatas jinn.
  3. Menurunkan lagi derajat Tuhan-Tuhan selain Allah dari jinn menjadi tidak ada (nama-nama belaka).

Menurut Welch strategi "penurunan pangkat" Tuhan-Tuhan ini berkorelasi dengan sikap Quran terhadap jin dan hubungannya dengan konsep tawhid. Dimana pada fase pertama, jinn masih diterima luas sebagai sosok yang nyata dalam masyarakat. Quran sendiri pada awalnya menerima eksistensi jinn, tapi perlahan mengatributkan segala keburukan kepada sosok jinn dan berusaha mengangkat nama baik malaikat.

Salah satu cara untuk mendeskriditkan jinn adalah dengan mengubah asal-usul Syaithan, yang dalam tradisi Judeo-Kristen tidak lebih dari malaikat yang menyimpang, dalam Quran diubah identitasnya menjadi jinn.

Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Q 18:50).

Dengan mengubah identitas Syaithan dari malaikat menjadi jinn, maka sosok jinn yang dahulu selalu diagungkan oleh para penyair sebagai sumber inspirasi dan kerap dijadikan objek sesembahan, jadi terpuruk.

Tapi reformasi Quran juga berlanjut pada masuknya manusia kedalam kategori syaithan bukan hanya jinn. Perubahan konsep ini secara tidak langsung turut menurunkan derajat Syaithan yang dalam tradisi Judeo-Kristen merupakan monster berwujud nyata, dan supranatural, berubah hanya sebatas simbol keburukan dan kejahatan pada diri manusia dan jinn.

Di kemudian hari, terutama antara masa perubahan arah kiblat hingga Perang Badr, ayat-ayat yang berbicara tentang jinn menghilang. Ketidakhadiran jinn pada periode ini bersamaan dengan penyebutan syaithan sebagai musuh Tuhan, yang kali ini lebih merupakan simbol kejahatan nyata dalam bentuk manusia, ketimbang sosok supranatural. Pada fase ini pula eksistensi jinn mulai menghilang dari Quran. Sosok supranatural yang tersisa dengan demikian hanyalah Allah sebagai Tuhan dan malaikat.

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat"."Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q 2:285)

Gamar: Ilustrasi jinn dalam Epic Shahnameh.

Kembali ke pertanyaan, mengapa tidak ada jin di dalam Rukun Iman agama Islam? Dalam hemat saya, keberadaan jinn merupakan ancaman bagi keesaan Tuhan. Dan Quran sendiri berusaha mengerdilkan peran jinn ini yang pada masa-masa awal Islam memiliki kekuataan yang luar biasa menjadi hanya nama-nama kosong yang keberadaannya diragukan.

Posting Komentar untuk "Mengapa Percaya pada Jin tidak Masuk Rukun Iman?"