Mengapa banyak yang percaya bahwa Khidr masih hidup?
Khidr itu nama yang diatributkan kepada seorang hamba Allah yang hendak dijadikan sebagai guru oleh Musa. Kisahnya ada di QS 18:60–82. Di rangkaian ayat ini, tidak ada nama Khidr. Nama Khidr hanya muncul dalam riwayat hadits, bukan Quran. Hal serupa juga bisa kita temukan pada ketiadaan informasi dalam Quran bahwa hamba Allah ini masih hidup hingga sekarang.
Pertanyaannya, kenapa nama tersebut diatributkan kepada Hamba Allah yang ada di rangkaian ayat di atas? Dan mengapa banyak yang percaya Khidr masih hidup bahkan memiliki ilmu ladunni?
Bila kita bedah, rangkaian ayat yang memuat kisah Musa dan hamba Allah, maka narasi di rangkaian ayat ini sebenarnya terbagi menjadi dua bagian:
- Pembuka: 18:60–64.
- Inti cerita: 18:65–82.
Bagian kedua dari kisah ini memiliki kemiripan dengan Leimon karya John Moschus (550 – 619) seorang biarawan Byzantium dan penulis kisah-kisah asketik yang potongan naskahnya tertulis dalam sebuah manuskrip kuno Byzantium Pratum Spirituale yang berasal dari abad ke-13.
Adapun bagian pertama dari kisah ini terdiri dari ayat-ayat berikut:
60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".
61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".
63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".
64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Beberapa sarjana melihat adanya kesamaan tema pada bagian pembuka kisah Musa dan hamba Allah dengan Alexander Romance, dalam versi yang diatributkan kepada Jacob Serugh. Narasi yang mirip dengan kisah Quran ini ada dua. Pertama, pada kisah Song of Alexander yang berasal dari tahun 630–35. Berikut kutipan kisah ini yang muncul dalam buku The Qur'an and the Bible: Text and Commentary karya GS Reynolds.
The Macedonian king, the son of Philip spoke: / “I have determined to follow a great quest to reach the lands, / even the furthest lands, / to reach the seas, and the coasts, and the borders as they are; / Above all to enter and to see the land of darkness / if it is truly as I heard it is.”
(Song of Alexander, recension 1, p. 26, ll. 33–38)Then [Alexander’s cook] came to the spring, which contained the lifegiving water / he came close to it, in order to wash the fish in water, but it came alive and escaped;
The poor man was afraid that the king would blame him / that he give back the [value of the] fish, which had come to life and which he did not stop.
So he got down into the water, in order to catch it, but was unable / then he climbed out from there in order to tell the king that he had found [the spring].
He called, but no one heard him, and so he went to a mountain from where they heard him / the king was glad when he heard about the spring.
The king turned around in order to bathe [in the spring] as he had sought to do / and they went from the mountain in the middle of darkness, but they could not reach it.
(Song of Alexander, recension 1, pp. 48–50, ll. 182–92)
Kedua, "The Metrical Discourse on Alexander the Great Attributed to Jacob of Serugh". Kisah ini muncul dalam sebuah manuskrip abad 9, yang kemudian diterjemahkan oleh AE Willis Budge, dalam sebuah buku berjudul The History of Alexander the Great, being the Syriac version of the Pseudo-Callisthenes. Berikut kutipannya:
After these things the old man said to the son of Philip,
"Command thy cook to take with him a salt fish, and wherever he sees a fountain of water let him wash the fish;
And if it be that it comes to life in his hands when he washes it,
That is the fountain of the water of life which thou askest
And when he arrived at the door which goeth into the Land of Darkness',
The king said to his cook, "Take thou a dry- fish,
And where thou seest a fountain of water, wash it
And if it be that the fish comes to life in thy hand when thou washes it.
Reveal it to me and show me which is the fountain when thou hast found it"
Bila kita analisis, maka ada beberapa tema serupa yang muncul dalam ketiga cerita:
- Adanya perjalanan ke suatu tempat untuk mencari seseorang/sesuatu.
- Perjalanan dilakukan oleh seorang tuan bersama bujang/ pelayan/ juru masak.
- Ikan yang menjadi bekal tiba-tiba melompat hidup dan kabur.
Berdasarkan temuan ini muncul pertanyaan, apakah ada korelasi di antara ketiga cerita? Apakah kisah 1 dan 2 mempengaruhi narasi di surah al-Kahfi atau justru sebaliknya? Apa hubungan kisah-kisah ini dengan nama Khidr dan usianya yang sangat panjang?
Beruntung beberapa sarjana menyadari, bahwa kedua kisah Aleksander di atas memiliki kemiripan dengan kisah lain yang lebih tua, Epik Gilgamesh. Terutama pada episode Gilgamesh mencari Utnapishtim yang tinggal di muara sungai. Dalam pencarian tersebut, Gilgamesh juga ditemani oleh seorang, ferryman, bernama Urshanabi. Kisah ini muncul di tablet X Epik Gilgamesh.
Utnapishtim sendiri adalah seseorang yang selamat saat banjir besar melanda kotanya, Uruk. Ia diberi Tuhan kebijaksanaan dan usia yang sangat panjang. Setelah banjir besar, Utnapishtim tinggal di muara sungai. Gilgamesh pergi mencari Utnapishtim untuk bisa belajar darinya rahasia hidup abadi.
Kembali kita menemukan paralelitas motif dari keempat cerita:
Kita bisa lihat di tabel, bahwa mata air keabadian yang hendak dicari oleh Aleksander tidak lain dan tidak bukan adalah Utnapishtim, yang berumur sangat panjang. Motif mencari keabadian ini tidak ditemukan pada kisah Musa dan hamba Allah, sama seperti motif ikan yang melompat ke air yang juga tidak ditemukan pada Epik Gilgamesh.
Oleh Branon Wheeler, dalam Moses in the Qur'an and Islamic Exegesis, relasi kisah-kisah ini ia gambarkan lewat bagan berikut:
Dari sini, bisa kita deduksi, bahwa meskipun hamba Allah di kisah Musa ini tidak memiliki nama, tapi para penafsir bisa menduga bahwa orang yang hendak ditemui Musa itu adalah orang yang sama yang hendak ditemui Gilgamesh. Atau mata air keabadian yang juga hendak dicari oleh Aleksander, dan gagal. Dengan kata lain, orang yang berumur sangat panjang dan terhindar dari kematian, juga memiliki kebijaksanaan yang tinggi.
Tapi kenapa namanya Khidir?
Stephanie Dalley, seorang ahli Asyiriologi, memiliki teori yang unik. Dalam bukunya berjudul Myths from Mesopotamia: Creation, the Flood, Gilgamesh, and Others, Dalley menyatakan bahwa nama para tokoh yang selamat dari banjir besar di berbagai mitologi Timur Tengah, yakni: Utnapishtim/ Uta-na'ishtim, Atrahasis, Ziusudra, dan Nuh memiliki relasi lingustik satu sama lain.
Pertama, Atrahasis memiliki arti "sangat bijak". Ia memiliki julukan ruqu, "sangat jauh". Sedangkan Utnapishtim/ Uta-na'ishtim bermakna "dia menemukan kehidupan". Elemen sudra pada nama Ziusudra berhubungan dengan julukan Atrahasis, ruqu. Sedangkan nama Nuh, diambil dari singkatan nama (Uta)-na'ish(tim), yang oleh orang-orang Yahudi kuno dieja Nuh.
Julukan dari Atrahasis juga dikenal oleh bangsa Hittite dengan sebutan ullu (ya)s. Kata ini kemudian diadopsi oleh orang Yunani menjadi Ulysses, dan oleh orang Romawi dengan Odysseus dan Outis. Kedua kata ini juga diambil dari logogram kata Ut-napishtim yang dilafalkan UD.ZI.
Julukan dari Atrahasis ini lalu diadopsi oleh bangsa Ugarit, dalam mitologi mereka, menjadi sosok Tuhan para pengerajin, Khotar-wa-hasis. Nama ini kemudian disingkat oleh orang-orang Yunani dengan Chousor. Dan dikenal oleh kebudayaan Islam dengan Al-Khidr.
Jadi kata Khidr berasal dari ← Khotar-wa-hasis ← julukan Atrahasis (ruqu) ← orang yang sama dengan yang hendak ditemui oleh Gilgamesh yakni Utnapishtim. Kata Khidr sendiri bermakna hijau, yang menandakan kebadian, atau evergreen. Yang tentu saja merupakan salah satu krakter dari tokoh-tokoh banjir besar di mitologi Mesopotamia, yakni Atrahasis, Utnapishtim, Ziusudra, Xisuthros, dan tentu saja Nuh.
Singkat kata, nama Khidr berikut anggapan bahwa dirinya masih tetap hidup dan belum mati hingga saat ini, merupakan refleksi dari sosok Atrahasis/ Utnapishtim/ Ziusudra/ Nuh dalam mitologi Mesopotamia kuno. Asosiasi ini didapat lewat kemiripan cerita pada bagian awal dari kisah Musa dan Hamba Allah di Q 18:60–64. Pada kisah ini, hamba Allah tidak bernama juga tidak ada keterangan bahwa dirinya abadi. Tapi karena ada kemiripan kisah dan narasi, masyarakat muslim abad ke-8 s/d 10 mengindentifikasinya dengan Khidr. Si hijau yang selalu evergreen, dan pemilik ilmu ladunni, kebijakan tinggi dari Tuhan.
Posting Komentar untuk "Mengapa banyak yang percaya bahwa Khidr masih hidup?"