Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Banyak Nabi yang beprofesi sebagai gembala?

 Ada satu adegan menarik dalam Epik Gilgamesh, tentang seorang tokoh bernama Enkidu. Ia mengalami transformasi budaya dari manusia liar yang menjalani kehidupan frugal ala Tarzan, menjadi bagian dari dunia yang beradab. Di alam liar ini Enkidu berperilaku sebagaimana layaknya binatang. Ia berjalan seperti mereka dan mampu berbicara dengan hewan liar yang hidup di hutan. Ia tidak mengenal pakaian dan hidup telanjang, membiarkan seluruh rambut di tubuhnya tumbuh lebat tanpa dicukur.

Penduduk kota menyadari kehadiran manusia liar ini dan kemudian melapor ke raja mereka, Gilgamesh. Gilgamesh yang mengagumi tubuh Enkidu yang kekar berencana untuk menjadikannya seorang manusia beradab dengan harapan bisa dijadikan lawan bertarung baginya kelak. Ia pun menyuruh seorang pelacur bernama Shamhat untuk membujuk Enkidu agar mau meninggalkan kehidupannya sebagai seorang manusia liar untuk kemudian menjalani hidup sebagai manusia beradab di kota.

Shamhat lalu pergi ke hutan untuk menemui Enkidu. Di sana, ia melepas seluruh pakaiannya dan mengajak Enkidu untuk menidurinya selama tujuh hari tujuh malam. Setelah meniduri Shamhat, Enkidu merasa kegirangan. Ia pun menemui kawan-kawannya para binatang liar, untuk menceritakan perasaan menakjubkan yang ia alami. Namun binatang-binatang itu merasa takut kepada Enkidu dan lari darinya. Enkidu yang bingung dengan perubahan sikap para binatang kepadanya memanggil mereka, tapi tidak bisa. Ia kehilangan kemampuan untuk berbicara dengan para bintang ini, dan tidak lagi sekuat dahulu. Bagi para binatang, ia bukan lagi Enkidu yang mereka kenal, tapi seorang manusia.

Shamhat lalu mendekat ke Enkidu. Memandikannya, mencukur rambutnya, dan memberinya pakaian. Ia kemudian mengajaknya memakan roti dan anggur, dan seketika itulah Enkidu merasa telah menjadi bagian dari manusia yang beradab.

Gambar: Patung Enkidu dari Ur, 2027-1763 SM.

Apa anda merasa familiar dengan kisah di atas?

Seharusnya demikian. Karena adegan dalam Epik Gilgamesh ini sejatinya adalah inversi dari kisah kejatuhan Adam dan Hawa dari Surga. Beberapa elemen kisah, seperti hutan yang menjadi tempat tinggal binatang, sejatinya adalah Taman atau Eden yang menyediakan banyak sekali makanan tanpa harus bekerja. Kehidupan Enkidu di sana yang tidak mengenal pakaian juga memiliki paralelitas dengan narasi Genesis. Demikian pula para binatang yang mampu berbicara dengannya, dan peristiwa lahirnya kesadaran atas tubuh telanjang yang melibatkan perempuan, serta kepergian mereka dari hutan menuju kota. Semua elemen ini bisa ditemukan dalam narasi Adam.

Namun berbeda dari narasi Bible dan juga Quran, yang memandang keluarnya Adam dan Hawa dari Taman sebagai awal mula kehidupan menderita umat manusia, maka dalam Epik Gilgamesh yang terjadi adalah sebaliknya. Peradaban kota tidak lain dan tidak bukan adalah juru selamat bagi para manusia barbar ini yang hidup laksana biantang di hutan. Kehidupan inilah yang memberi mereka makna menjadi seorang manusia, yang hidup beradab, dan sangat berbeda dari para binatang.

Relasi antagonis antara narasi kitab suci dengan Epik Gilgamesh juga berlanjut pada kisah pembunuhan Habil/ Abel oleh Kabil/ Cain, yang secara tidak langsung menyimbolkan buruknya kehidupan masyarakat kota yang dibangun di atas pondasi agrikultur, bertani, sehingga mereka membunuh saudaranya para hunter-gatherer. Pencapaian teknologi masyarakat kota, berupa Ziggurat, yang sangat tinggi dan megah pun dijadikan bahan olok-olok sebagai sumber petaka perpecahan umat manusia, sekaligus kehancuran moralitas mereka, dalam kisah keruntuhan Menara Babel.

Gambar: Ziggurat di Ur, Iraq.

Mengapa kitab suci memberikan sudut pandang berbeda mengenai hubungan antara manusia dan peradaban dari yang digambarkan dalam mitologi Mesoptamia?

Jawaban bagi pertanyaan ini terletak pada realitas, bahwa bangsa Yahudi, si pencetus awal mitologi Adam dan Hawa, pada dasarnya adalah bangsa semi nomaden. Kultur mereka adalah kultur penggembala yang sangat berbeda dari kultur masyarakat kota yang berbasis agrikultur. Namun kedamaian dan kebebasan yang mereka alami tidak berlangsung lama. Kota-kota besar yang rakus mulai menjajah masyarakat yang hidup di luar tembok kota ini, memperbudak mereka dan menukar kebahagiaan menjadi penderitaan. Sebagai gantinya, kota memberi masyarakat semi-nomaden pengetahuan tentang cara menulis dan menyusun kisah yang didayagunakan dengan sebaik-baiknya menjadi sebuah counterculture dan counter-narrative seperti yang kita kenal dalam narasi Biblika.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa kebanyakan para nabi pernah menjadi penggembala? Well, karena budaya asli orang-orang Yahudi dan kemudian Arab, pada awalnya memang masyarakat semi-nomaden. Maka tidak heran bila para tokoh yang menjadi hero tidak lain dan tidak bukan merupakan representasi terbaik dari kultur nomaden ini. Sebuah pengingat agar keturunan mereka sadar bahwa dahulu mereka adalah bangsa penggembala yang memiliki kehidupan bebas nan damai, dan terhindar dari korupsi moral yang dialami oleh masyarakat kota.

Semoga membantu.

Reference:
Ron Hendel, "
Genesis 1-11 and Its Mesopotamian Problem".

Posting Komentar untuk "Mengapa Banyak Nabi yang beprofesi sebagai gembala?"