Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta, Al-Quran & Sains (2)

Jadi, apa yang terjadi saat kita jatuh cinta? Otak secara teratur melepaskan sejumlah hormon seperti Feromon, Dopamin, Norepinefrin dan Serotonin ke seluruh tubuh. Di jantung, kimia tubuh ini meningkatkan heart rate yang membuat dada kita berdebar-debar. Sedang di kepala, keinginan untuk makan dan tidur pun perlahan-lahan mulai hilang, berganti dengan rasa rindu memikirkan orang yang kita cinta. 

Hormon-hormon lain, macam Oksitosin dan Vasopresin membuat kita merasa dekat dengan orang yang kita cinta. Seandainya orang tersebut hadir dihadapan kita, kedua hormon ini langsung mengalir memberikan stimulus rasa tenang dan nyaman. Stimulus ini memberikan efek ketagihan, yang membuat kita merasa merana dan kosong tatkala efek dari hormon ini menghilang. Sayangnya, tidak ada yang mampu memicu kemunculan hormon ini kecuali kehadiran orang atau objek yang kita cintai. Otak kita dengan demikian telah terkondisikan dan belajar untuk mengatributkan kehadiran orang yang cinta dengan kehadiran rasa nyaman dan tenang. Hormon terakhir yang juga bekerja saat seseorang jatuh cinta adalah hormon seks, Testosteron dan Estrogen. Hormon inilah yang membuat kita terangsang dan merasa lebih siap untuk terlibat dalam tindak seksual. 

Dari ketiga model hormon yang bekerja saat seseorang jatuh cinta ini, Helen Fisher (seorang antropolog evolusionis yang mendidikasian waktunya selama lebih dari 30 tahun untuk mempelajari kata cinta) mendefinisikan tiga tahapan cinta yang saling tumpang tindih: hasrat, ketertarikan, dan keterikatan. Tahap pertama, yakni hasrat, adalah keinginan untuk berpasangan dengan seseorang. Pada tahap ini, hormon yang bekerja adalah hormon seks yang hanya mampu bertahan dalam hitungan minggu dan bulan saja. Di tahap berikutnya, ketertarikan, hormon yang bekerja adalah kimia tubuh yang membuat jantung kita berdebar-debar dan kehilangan nafsu makan. Ia berlangsung lebih lama dari tahap pertama, dan efeknya mampu membekas dalam diri kita antara 1,5 hingga 3 tahun. Tahap ini juga dikenal sebagai awal tahap cinta romantik yang intens.

Yang terpanjang dari tiga tahapan cinta tersebut adalah tahap keterikatan, yang terkait secara langsung dengan hormon Oksitosin dan Vasopresin. Tahap inilah yang menurut Fisher menjadi dasar dari hubungan cinta jangka panjang macam pernikahan atau hubungan orang tua dengan anak-anak mereka, kerena efek yang membekas bisa berlangsung hingga puluhan tahun. Apabila tahap keterikatan merupakan tahapan cinta yang paling panjang, maka tahapan cinta yang paling kuat terjadi pada tahap cinta romantik. Orang yang ditolak cinta romantiknya, lebih mungkin terkena depresi bahkan melakukan tindak bunuh diri daripada orang yang ditolak berhubungan seksual. Fakta ini menunjukkan betapa kuat pengaruh dari tahapan cinta kedua tersebut.

Well,  sepertinya kita harus mengakui bahwa pada awalnya semua yang kita artikan sebagai cinta tak lain adalah reaksi kimia tubuh belaka yang secara subjektif terjadi dalam diri kita. Ia hanyalah kondisi eksklusif yang tidak ada hubungannya dengan orang lain, sehingga hanya kita seorang yang merasakannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah memang demikian yang disebut dengan cinta? Bisakah definisi cinta Fisher membedakan sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan dengan cinta yang terjawab? Bukankah cinta adalah kesatuan kerja antara dua manusia, dan bukan fenomena tunggal? Untuk menjawab hal ini, kita berpaling kepada psikologi dalam mendefinisikan macam-macam cinta.

Salah satu teori yang paling terkenal tentang macam-macam cinta adalah teori segitiga cinta yang digagas oleh psikolog Robert Sternberg. Berbeda dari Fisher yang memfokuskan diri pada aspek neuro-hormonal, Sternberg mengkaji cinta dalam konteks hubungan interpersonal. Menurut Sternberg, cinta memiliki tiga komponen yang saling terkait yang bernama: keintiman, hasrat, dan komitmen. Keintiman adalah kondisi yang membuat seseorang merasa terkait, dekat, dan terhubung dengan orang yang ia cinta. Ia mengikat dua orang untuk saling berbagi rahasia yang tidak akan ia ungkapkan selain kepada orang yang benar-benar intim dengannya.

Hasrat, sebagaimana Fisher, juga diartikan sebagai ketertarikan seksual kepada seseorang. Sedangkan komitmen, adalah keputusan untuk menetap dan berbagi pencapaian serta rencana dengan orang yang kita cinta. Ketiadaan tiga unsur cinta ini oleh Sternberg dinamakan sebagai kondisi tidak ada cinta. kondisi tersebut berlawanan dengan Cinta Sempurna yang merupakan kondisi ideal dari sebuah cinta, yang menurutnya berlangsung singkat dan sangat susah dipertahankan dalam jangka panjang. Jika demikian, jenis-jenis cinta apa yang mungkin terjadi dalam sebuah hubungan?

Sternberg mengemukakan 6 jenis cinta berdasarkan ada tidaknya ketiga komponen cinta tadi dalam sebuah hubungan:
  1. Persahabatan. Dalam persahabatan, komponen utama yang muncul adalah keintiman, sedangkan 2 komponen cinta lainnya tidak hadir. Dalam persahabatan, kita tidak merasa tertarik untuk berhubungan seksual kepada orang yang kita intimi, tidak juga tertarik membangun sebuah komitmen bersama.
  2. Birahi. Dalam birahi, komponen utama yang hadir adalah hasrat, sedangkan keintiman dan komitmen absen didalamnya.
  3. Cinta Kosong. Adalah cinta yang hanya bersandar pada komitmen semata. Cinta jenis ini biasanya hadir dalam pernikahan yang berlangsung begitu lama sehingga setiap pasangan sama-sama telah kehilangan keintiman dan hasrat.
  4. Cinta Romantik. Berbeda dari Fisher, cinta romantik dalam definisi Stenberg adalah cinta yang berdiri atas dasar keintiman dan hasrat, serta tidak memiliki komitmen sama sekali. 
  5. Cinta Kesetiakawanan. Yakni cinta yang hadir didalamnya unsur keintiman dan komitmen, tapi bukan hasrat. Cinta jenis ini biasanya hadir antar sesama anggota keluarga atau antara dua orang sahabat dekat yang tumbuh dalam diri masing-masing sebuah cinta platonik.
  6. Cinta Dungu. Adalah cinta tanpa kehadiran unsur keintiman. Cinta jenis ini mudah sekali goyah dan berakhir dalam perceraian.
Sebagaimana psikologi modern yang sangat tergantung kepada matriks kuantitatif dan bukan kualitatif, maka tidak ada yang benar-benar tahu pada level apa atau jenis cinta yang mana hubungan kita dengan orang yang kita cinta berada. Bahkan apabila kita sudah yakin sekalipun, selalu saja ada perubahan dalam setiap indikator dari hari kehari, sehingga diperlukan nilai median yang bisa dipercaya, atau kembali kepada perasaan kita masing-masing. Pada cinta jenis apa kita menyukai seseorang?

Posting Komentar untuk "Cinta, Al-Quran & Sains (2)"