Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Identitas

Siapa kamu, dari mana kamu berasal, apa identitas dirimu? Kenapa kita sering bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan ini? Cukupkah kita menjawab dengan nama diri kita saja? Katakan, nama saya Himawan. Himawan, Himawan yang mana? Di daftar buku telepon ada puluhan bahkan ratusan atau mungkin ribuan orang yang memiliki nama Himawan. Jadi kamu butuh nama kedua, nama keluarga untuk mengidentifikasi dirimu. Maka ditambahkanlah nama keterangan tambahan Pridityo. Ya, Himawan Pridityo. Apakah penyebutan ini cukup? Untuk indeks nama, kombinasi kedua nama saja sudah cukup. Nama pertama adalah sebuah x sedangkan nama kedua adalah y, dan kombinasi keduanya berfungsi sebagai titik koordinat untuk meletakkan identitas anda di jagad rasional. Kecuali jika gabungan kedua nama tadi masih generik, di sini kita membutuhkan identifikasi ketiga untuk mendapatkan titik koordinat 3 dimensi atau z. Ambil contoh nama teman saya, Ahmad Rifai. Silahkan googling nama tersebut, dapatkah kita mengenali Ahmad Rifai semudah mengenali Himawan Pridityo? 

Well, tidak semua sadar dengan keunikan sebuah nama. Kadang si pemberi nama hanya terpikir untuk memberikan nama-nama yang bagus tanpa harus bersusah payah menentukan titik koordinat yang pas. Keabaian ini tidak sepenuhnya menandakan keinginan untuk menjadi anonim di muka umum. Karena bagi sebagaian orang, nama saja memang tidak cukup. Mereka membutuhkan identitas lapis kedua, jenis kelamin. Dengan membagi manusia kedalam dua kelompok utama, laki-laki dan perempuan, proses pengenalan akan semakin mudah. Terutama untuk nama-nama yang biasa dipakai oleh kedua jenis gender. Tapi untuk nama-nama netral, ternayata masih ada problem yang tertinggal. Apakah Toni merujuk kepada nama laki-laki atau perempuan? Toni Braxton misalnya. Apakah benar dia? Dari gabungan kata tidak ada yang salah, lalu apakah orang itu perempuan, juga sudah benar. Berarti sekarang kita membutuhkan identitas lapis ketiga, yakni ras.

Dimasa lalu, ras adalah faktor paling utama dalam identifikasi. Tapi karena jumlah ras dan suku di dunia ini begitu banyak, maka diusahakanlah sebuah penyederhanaan. Kita misalnya, dapat membagi ras berdasarkan warna kulit, seperti hitam, putih, dan kuning. Bisa juga berdasarkan batas-batas regional, macam Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Pada masa kolonial, para administrator Belanda sering membagi penghuni negeri Hindia Belanda kedalam tiga ras: Eropa, Asia, dan pribumi, yang dalam bahasa mereka dinamakan inlander. Sangat sederhana bukan, meski tidak sesederhana masyarakat tradisional kita yang menggeneralisir manusia menjadi dua jenis, penduduk asli dan pendatang. Sebuah pembagian yang sangat kabur dan tidak memiliki titik koordinat yang dapat diandalkan. Tapi apakah benar titik koordinat berlaku dalam tataran ras? Kenapa juga kita tidak menggunakan identifikasi berdasarkan regional, macam kota dan pulau yang ada di negara ini. 

Dari tataran fisik, seperti warna kulit, struktur tubuh, raut muka dan perawakan, kita bergerak ke pembagian manusia berdasarkan karakter dan sifat. Kembali, semua identitas yang ada di lapis ketiga, meski mempunyai gambaran unik, tidak sepenuhnya berkorelasi dengan identitas di lapis selanjutnya, yakni karakter. Bisakah kita mengatakan, bahwa orang Jawa itu munafik, dan orang Cina itu licik? Tentu saja tidak, karena kedua karakter tadi bisa kita jumpai juga dengan mudah di masing-masing etnis tersebut. Tapi pertanyaan yang signifikan adalah, dapatkah kita memasukkan karakter sebagai identitas seseorang? Apakah anda seorang pemarah, penyabar, penyayang, atau apatis? Kesalahan kita, dan juga stereotipe adalah mencampur adukkan segmentasi ras dengan karakter. Apalagi korelasi antara gender dan agama, dengan karakter. Atau, jangan-jangan kita salah dalam klasifikasi, karena karakter itu bukanlah identitas sama sekali. Bisakah kita menganggap karakter sebagai identitas?

Ya, mungkin saya salah dalam klasifikasi ini. Tapi pertanyaan yang menggelitik adalah, dengan cara apa seharusnya kita mendefinisikan identitas? Solusi termudah sebenarnya adalah dengan membagi jenis identitas kedalam dua kategori. Yakni "what is" dan "what should". "What is" tidak lain dan tidak bukan adalah semua deskripsi diri yang bisa dilihat secara objektif oleh orang lain kepada diri kita, sedangkan "what should" adalah pandangan kita tentang identitas diri sendiri. Ketegangan-ketegangan dalam komunikasi biasanya terjadi dalam tarik ulur kedua kategori tersebut, atau dalam kesalingtidakterhubungan antara "what is" dengan "what should". Jika jurang antara keduanya terlalu lebar, maka orang lain dengan lebih nyaman akan merujuk kepada "what is" diri kita. Lalu, bagaimana anda harus mengidentifkasi diri saya? Saya akan berkata, klasifikasi lapis ketiga, etnis, bukan identitas sejati saya. Kejawaan sendiri hanya meninggalkan jejak genetik tapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam pola berpikir dan bertindak saya, yang justru lebih kuat dipengaruhi oleh identitas lapis keempat, yakni agama. Tapi agama sendiri bukanlah kesatuan logis yang utuh. Masih ada faktor ideologi dan lain sebagainya yang mempengaruhi definisi kita tentang agama. Jika anda tidak keberatan dengan pembagian antara tradisional dan modern, mungkin saya akan mengidentifikasi diri saya sebagai bagian dari orang-orang beragama Islam yang bersifat modern.

Lalu, apa maksud itu semua? Diantara "what is" dan "what should" terdapat dinamika yang cair yang bersifat objektif yang kita namakan perilaku dan tindakan. Termasuk kedalam kategori ini, cara kita bertutur, baik lisan maupun tertulis. Perilaku dan tindakan ini seharusnya memegang porsi paling besar saat kita mendefinisikan identitas seseorang. Sekitar 80:20 atau 70:30 dibanding dengan dua kategori logis sebelumnya. Dan yang sangat menarik, semakin kita mengenal seseorang, maka semakin besar pula pengenalan dan pengakuan kita terhadap perilaku dan tindakan orang tersebut. Dan disaat bersamaan, kita akan mengakui semakin tidak relevan pula klasifikasi identitas yang berlapis-lapis itu. We are all human, and human too, same. Mungkinkah, ia menjadi identitas? Surely, it's your identity. :)

Posting Komentar untuk "Tentang Identitas"