Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama Bukan Jamak dari 'Alim

Beberapa bulan yang lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi intens mengenai definisi tentang ulama. Dalam diskusi tersebut, saya mendiefinsikan ulama sebagai otoritas keilmuan belaka tanpa memiliki sedikitpun tendensi akan kualitas kesalehan individual dan pribadi. Bagi saya, saat itu, ulama tidak ada bedanya dengan para saintis dan ilmuwan yang mengkaji soal Islam. Para Islamologis, atau yang dahulu biasa disebut sebagai Orientalis memiliki kedudukan yang sepandan dengan para cendikiawan Muslim lainnya. Tentu saja, cara pandang saya mengenai soal ini, pada awalnya bersifat positivis. Dengan semangat bebas nilai, semestinya kita dapat dengan mudah memecahkan suatu persoalan, apalagi bila persoalan itu hanya berkaitan dengan sebuah teks Kitab Suci yang telah berabad-abad lamanya ditelaah dan diteliti. Saya bahkan membayangkan sebuah model saintifikasi ilmu-ilmu keislaman, dimana setiap proposisinya dapat dibuktikan secara memuaskan, lebih dari sekedar menampilkan dalil-dalil Al-Quran semata.

Namun, pertanyaan yang menggelitik saya, bukanlah apakah kita bisa membedah Al-Quran sebagaimana teks-teks profan lainnya, yang nyatanya bisa dan dipraktekkan secara luas oleh para Islamologis, tapi apakah Al-Quran sendiri memberikan izin untuk diperlakukan demikian? Metode pemahaman Kitab Suci ini tentu sangat terkait dengan konsep-konsep pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Yang boleh jadi berbeda dari yang kita kira. Atas dasar inilah, saya kemudian mencoba mencari tahu tentang epistemologi Al-Quran yang sesungguhnya. Untuk memulai hal tersebut, maka saya akan mencoba untuk membahas asal muasal term ini, berdasarkan awal keterlibatan saya dalam diskusi beberapa bulan yang lalu, yakni ulama.

Ulama dan Tahrif
Untuk memudahkan pencarian makna ulama, maka saya tidak menggunakan kata tersebut dalam arti yang dipahami secara umum. Saya hanya akan membahas bagaimana kata tersebut dipakai dalam Al-Quran, hubungannya dengan term lainnya, serta asosiasi makna yang mungkin muncul dalam hubungan semantik ini. Term ‘ulama hanya tersebut sebanyak dua kali dalam Al-Quran. Pertama, pada ayat, Q. 26:197, dan kedua pada Q. 35:28.  Pada ayat pertama, term ‘ulama disandingkan dengan term Bani Israil, sehingga membentuk kata baru, ‘Ulama Bani Israil. Sedang di ayat kedua, term yang muncul adalah “al-‘Ulama” yang tidak merujuk secara khusus kepada entitas tertentu, tapi digambarkan sebagai orang-orang yang takut kepada Tuhan.

Term ‘Ulama Bani Israil berada dalam kelompok ayat yang dimulai sejak Q. 26:192-220. Kelompok ayat ini berbicara tentang keotentikan Al-Quran yang benar-benar diturunkan oleh Tuhan. Di sana dijelaskan bahwa, salah satu bukti keotentikan itu adalah para ‘Ulama Bani Israil mengetahui perihal kewahyuan Al-Quran. Dengan kata lain, untuk pertama kalinya kita bisa mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan ‘Ulama, tak lain daripada orang yang mempelajari Kitab Suci.

Keterkaitan antara ‘Ulama Bani Israil, dan kegiatan mereka dalam mempelajari Kitab Suci, mengingatkan kita kepada salah satu penyimpangan agama yang pernah dilakukan oleh Bani Israil, yakni tahrif. Tahrif, atau merubah, entah naskah maupun pemahaman tentang Kitab Suci didefinisikan pada Q. 2:79, sebagai kegiatan menulis Kitab Suci dan mengatakan bahwa tulisan mereka berasal dari Tuhan, demi mendapatkan keuntungan dari tulisan tersebut. Padahal, yang sebenarnya mereka tulis tak lain daripada angan-angan dan dugaan semata, serta bukan wahyu asli yang datang dari Tuhan.

Tentu saja pelaku tahrif, tidak pernah disebut sebagai ‘Ulama Bani Israil. Al-Quran hanya menyebut mereka sebagai satu kelompok tertentu dalam agama Yahudi. Apa yang ingin saya sampaikan adalah kedekatan para Ahlul Kitab dengan Kitab Suci mereka, yang dilukiskan pada Q. 2:146, adalah seperti seorang bapak yang mengenal anak-anaknya. Dari analogi Al-Quran tersebut, kita akhirnya mengetahui secara jelas tentang definisi dari tahrif, yang dapat diartikan sebagai orang yang mengetahui Kitab Suci, tapi menyembunyikan kebenaran yang ada di dalamnya.

Lalu apa hubungan antara tahrif dengan ‘Ulama Bani Israil? Bila kita menganggap ayat Q. 2:146 sebagai titik tolak dari definisi tentang tahrif, maka dengan sendirinya kita dapat mengetahui bahwa ‘Ulama Bani Israil adalah lawan dari pelaku tahrif. Jika para pelaku tahrif selalu menyembunyikan kebenaran yang terkandung dalam Kitab Suci mereka, maka sebaliknya, ‘Ulama Bani Israil selalu menyampaikan kandungan Kitab Suci yang mereka miliki. Petunjuk ini tentu akan sangat membantu kita dalam memahami kata al-‘Ulama pada Q. 35:28.

Ulama sebagai Ulul Albab
Berbeda dengan ayat yang pertama, pada ayat kedua, kata al-‘Ulama hampir tidak memiliki konteks. Dalam hal ini, kita hanya dapat mengambil makna mulai dari ayat sebelumnya yang menceritakan ihwal kekuasaan Tuhan, tentang bagaimana Dia menurunkan hujan dari langit, yang darinya menyuburkan buah-buahan. Juga tentang pegunungan, manusia, dan binatang ternak yang beraneka macam warnanya. Dan ayat 35:28 pun ditutup dengan pengatributan al-‘Ulama sebagai hamba Tuhan yang paling takut pada-Nya.

Karena dimulai dengan gambaran tentang alam, beberapa cendikiawan Muslim dikemudian hari, mendefinisikan ulama bukan saja sebagai orang yang mendalami Kitab Suci, tapi juga mereka yang mendalami ilmu pengetahuan alam. Disini, para saintis yang “menemukan Tuhan” dalam eksplorasi ilmiah mereka, oleh sebagian orang dapat pula dimasukkan kedalam kategori ulama. Mereka yang berpendapat demikian, secara tidak langsung, menyamakan kata ulama dengan bentuk tunggalnya, yakni 'alim. Dengan kata lain, ulama adalah jamak dari kata 'alim, yang berarti orang yang mengetahui.

Bagi saya, identifikasi ulama dengan 'alim dalam Al-Quran sangatlah problematik. Al-Quran tidak pernah menggunakan kata ‘alim untuk disematkan kepada manusia. ‘Alim dalam Al-Quran selalu merujuk kepada  Tuhan, dan tidak yang lain. Bila demikian, maka kepada apa atau siapakah sebenarnya kata al-‘Ulama itu merujuk? Kuncinya berada pada atribut dari kata tersebut, yakni yakhsya, atau takut.

Kata yakhsya, tersebut sebanyak tujuh kali dalam Al-Quran, dan kebanyakan selalu digandengkan dengan kata dzakara, mengingat, dalam bentuk kata kerja sayadzakkara (87:10), dan yatadzakkara (20:44), serta bentuk kata tadzkiratun(20:3). Selain itu, kata yakhsya juga digandengkan dengan kata ‘ibrah (79:26) dan tentunya al-‘Ulama. Yang menarik dari relasi antar kata ini adalah kehadiran term Ulul Albab yang juga hampir selalu bergandengan dengan kata dzakara dalam berbagai bentuk.

Ada banyak sekali definisi tentang Ulul Albab dalam Al-Quran.  Disini, saya hanya akan menyampaikan bebarapa definisi yang berkaitan dengan Kitab Suci. Pertama, Ulul Albab adalah mereka yang mendengarkan perkataan Nabi atau wahyu Tuhan, dan mengikuti yang paling baik darinya, ahsanahu. Di sini, kita teringat lagi dengan perbedaan antara Bani Israil yang menyembunyikan kebenaran dan yang tidak menyembunyikan kebenaran. Ayat 39:18 memberikan tambahan informasi baru kepada kita, bahwa diantara mereka yang tidak menyembunyikan kebenaran, terdapat lagi kelompok yang selalu mengikuti yang paling baik dari Kitab Suci mereka. Tapi apa itu yang paling baik dari Kitab Suci? Dalam hal ini kita menemukan makna kedua dari Ulul Albab, pada ayat 39:9, yakni orang-orang yang beribadah di waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akherat dan selalu mengharap rahmat-Nya.

Makna ketiga dari term Ulul Albab terdapat pada ayat 3:7. Di ayat ini, kembali, Ulul Albab dipertentangkan dengan orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, yakni mereka yang mengikuti ayat-ayat yang ambigu, mutasyabihat, dengan tujuan untuk menimbulkan ketidakjelasan, fitnah, dan takwil. Pada ayat ini pula kita menemukan istilah yang sangat dekat dengan kata al-‘Ulama, yakni al-rasikhun fil ‘ilm, orang-orang yang ahli, expert,  dalam ilmu tentang Kitab Suci, yang digambarkan sebagai mereka yang beriman dan percaya sepenuhnya bahwa Kitab Suci itu berasal dari Tuhan.

Kesimpulan
Apabila dirangkai, maka pencarian kita tentang arti kata al-‘Ulama pada Al-Quran dapat disimpulkan kedalam persamaan sederhana: al-‘Ulama = yakhsya =  dzakara = Ulul Albab = al-Rasikhun fil ‘Ilm. Sehingga, jika kita masukkan didalamnya faktor Ulama Bani Israil, maka akan terdapat dua domain besar dari medan semantik. (a) al-‘Ulama, Ulama Bani Israil, Ulul Albab, al-Rasikhun fil ‘Ilm (b) pelaku tahrif, orang-orang yang mencari keuntungan dalam agama, mereka yang gemar menggali ayat-ayat ambigu, mutasyabihat, sekaligus mencari ketidakjelasan, fitnah, dan melakukan takwil.

Sangat menarik, jika kita melihat kedua domain yang saling bertentangan tadi, ternyata Tuhan memberikan predikat bagi orang-orang yang berbuat baik. Sebaliknya, mereka yang berbuat buruk, tidak diberikan predikat sama sekali. Dari sisi psikologis, peniadaan predikat atas seseorang atau sesuatu dapat diartikan sebagai bentuk kebencian atau ketidaksukaan. Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa Tuhan sangat murka kepada orang-orang di kelompok b, hingga Dia bahkan tidak menganggap mereka sebagai entitas yang ada.

Akhirnya, dapat kita simpulkan, bahwa kata ulama dalam pandangan Al-Quran tidak merujuk secara umum kepada orang-orang yang memahami ilmu-ilmu sekuler, tapi secara khusus merujuk kepada mereka yang mendalami Kitab Suci­­–dalam hal ini ilmu agama, dan mempercayai dengan sepenuh hati kebenaran yang terkandung didalamnya. Karakteristik ulama dapat kita temukan pada term Ulul Albab dan al-Rasikhun fil ‘Ilm sebagaimana telah saya uraikan di atas. Selain dalam Islam, ulama juga terdapat dalam agama Yahudi. Tugas dan perilaku para Ulama Bani Israil ini pun sama. Mereka mendalami Kitab Suci, mengambil yang paling baik darinya, dan kemudian rajin beribadah dan senantiasa mengingat Allah.

Dan yang terpenting dari itu semua adalah, bahwa kata ulama dalam Al-Quran tidak merujuk kepada bentuk singural 'Alim, melainkan berhubungan dengan term yang sedikit berbeda, yakni al-Rasikhun fil ‘Ilm. Di sini, kita akhirnya bertemu dengan tema terpenting dalam kajian epistemologi Al-Quran, yakni al-'ilm.

2 komentar untuk "Ulama Bukan Jamak dari 'Alim"

  1. Ujung-ujungnya pengertian 'Ulama kembali mengalami pengkhususan ya?

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah membaginya.
    Untung disampaikan di Facebook, kalau tidak ini tidak secepat ini saya temukan.
    :-)

    BalasHapus