Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanpa Nama (5)

“yah, kalau dokter bersedia membantu peresepan obat yang saya bawa, itu sudah sangat cukup bagi saya. Saya sangat berterimakasih sekali kepada dokter” manuver terakhir.

“hahaha...” masih seperti yang dulu pikirnya. Masih belum mampu mengungkapkan perasaan. Benar-benar lugu. Ah, seandainya kau tahu seperti apa cinta itu sebenarnya, tak perlu jualah kau malu.

Setelah berjabat tangan erat, laki-laki itu keluar dari tempat praktek dokter. Beberapa kawan seprofesi yang antri menunggu langsung menyerbu masuk ke dalam meminta tanda tangan bukti kunjungan. Siang hari itu, tepat di lorong klinik, untuk pertama kalinya, tiba-tiba ia merasa sendiri di dunia ini.

***

Perempuan itu berlari kecil di sepanjang koridor rumah sakit yang panjang dan sesak oleh ratusan orang yang menunggu giliran berobat. Jam masih menunjukkan pukul 10:52, hari semakin panas. Matanya bergerak menyisir papan petunjuk di atas pintu-pintu rumah sakit itu. Dia tidak sakit, tidak pula datang untuk menjenguk teman dan sahabatnya yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang-ranjang kumal dan bau. Hanya satu kata yang ada dalam benaknya, dan kata itu sudah cukup baginya untuk menuntaskan rasa kelam yang selama ini menggelayut di hatinya. Pembelian.

Pekerjaan yang ia lakukan memang bukan jenis pekerjaan yang hanya berdiamdiri berjam-jam di atas kursi empuk. Ini pekerjaan menantang. Sebuah domain di mana kerja keras laki-laki dan perempuan dibayar dengan harga yang sama. Marketing, hampir tidak ada satu perusahaan di dunia yang tidak memiliki divisi ini. Bahkan bisa dikatakan, ia merupakan urat nadi jatuh bangunnya sebuah perusahaan. Dari pekerja lapangan seperti perempuan inilah, mengalir bermiliar-miliar rupiah kedalam kas perusahaan yang kemudian disalurkan kemballi untuk menghidupi ribuan pegawai, ongkos produksi dan dividen bagi para pemegang saham.

“aku harus bisa” katanya dengan keras di dalam hati.

Sebagai pegawai baru ia memang harus membuktikan kerja kerasnya dengan hasil yang membanggakan. Atasannya, seorang laki-laki lembut beranak dua, memang sudah melihat ambisi yang tinggi dalam diri perempuan ini. Ia sengaja memberinya daerah kerja yang lumayan menantang, di sebuah rumah sakit pusat nasional. Meski bergelar rumah sakit pusat nasional, sejak dulu area tersebut memang sangat kering menyumbangkan pemasukkan. Untuk itulah ia merasa sudah tepat memasukkan perempuan fresh graduate ini sebagai pion pertama untuk dia mainkan.

“ah, di mana ya?” matanya masih sibuk mencari. Hampir setengah labirin bangunan besar itu ia jelajahi. Mulai dari department radiologi, kemudian ruang cempaka, dan kata satpam yang ia tanya, tempat pembelian itu hanya sepelemparan mata dari lorong lurus di depan tempat department Kardiologi berada. Ia memang menemukan tempatnya, tapi kata orang yang bertugas, kalau hendak menemui bagian pembelian harus memutar dahulu ke arah luar. Dan ia ikuti nasehat orang tadi.
“kriyuk..” perutnya berbunyi.

Duh, jangan sekarang dong laparnya. Ia hampir saja lupa bahwa dirinya belum makan sejak semalam. Perutnya tanpa terasa sudah merongrong untuk diisi, kini pandangannya pun sudah sedikit kabur, langkahnya mulai tak beraturan, dan tubuhnya terhuyung kedepan tersandung undakan anak tangga.

“aku harus..” ujarnya sembari membulatkan tekad.
“harus...” tapi aku sudah tak kuat lagi.

Tubuh mungil itu doyong ke depan, jilbab ungunya berkibar sepi ditiup angin. Sepersekian detik ia mengira wajahnya akan membentur hamparan ubin dingin di hadapannya, kalau bukanlah sebuah tangan yang memegang erat tubuh itu dari terjatuh, mungkin ia sudah tak sadarkan diri.

Tapi efek dari cengkraman tangan tadi tidak kalah mengagetkan dari tersungkur di atas lantai. Sungguh sebuah keterkejutan yang membuatnya lupa kejadian selanjutnya. Tanpa disadari, ia kini sudah duduk di sebuah kursi kayu panjang bercat cokelat. Kepalanya masih pening dan penglihatannya pun kabur. Samar ia melihat bayangan wajah manusia menggoncang-goncangkan badannya.

“apa kamu baik-baik saja?” tanya suara itu samar

“apa kamu baik-baik saja?” suara itu terdengar lagi. Makin keras, makin jelas hingga ia sadar sepenuhnya di mana ia sekarang berada.

“ah, sukurlah kamu sudah sadar” ujar seorang pria yang berdiri di hadapannya.
Pria itu lalu duduk di sebelahnya, menawarkan segelas air mineral dengan pipet kecil tertancap di atasnya.

“minumlah..”

Ia ambil pemberian laki-laki itu. Air tersebut mulai mengalir membasahi kerongkongannya yang kering, memberikan perasaan segar yang menjadikannya tenang. Kini ia pun mencoba mereka-reka siapa gerangan lelaki tersebut.

Sekilas matanya memandang sepatu boot tua yang sudah mulai terkelupas ujungnya, perlahan naik menyapu celana kerja yang agak lusuh, dan wajah itu.

***

Untuk pertama kalinya ia bisa sedekat ini dengan wanita itu. Dari jarak yang teramat dekat, hingga ia bisa mengenali setiap garis yang terukir di wajahnya, pipinya, bibirnya, hidungnya dan matanya. Mata yang dahulu ia coba perhatikan dari jauh, kini berada tepat di hadapannya. Hanya sejengkal, dan mata itu. Mata itu juga memandang lekat kepadanya. Mereka saling bertatapan mata.

“apa sudah lebih baik”

“eh, iya. Terima kasih mas sudah mau menolong saya”

“sama-sama, saya tadi hanya lewat sini saja. Eh tahu-tahu lihat kamu di depan, saya panggil ternyata kamu tidak dengar. Sewaktu tubuh kamu terhuyung pertama kali, saya khawatir ada yang tidak beres. Langsung saja saya lari. Untung pas sekali tadi. Kamu tidak terluka kan?”
“Tidak. Terima kasih sekali lagi mas” ia berusaha bangkit.

“mau kemana?” tanya si laki-laki khawatir.

“itu, saya mau ke bagian pembelian mau menanyakan SP untuk produk saya mas” sambil mencoba meluruskan postur tubuhnya.

“kamu pegawai baru itu kan?” ia masih memandangi wajah perempuan itu
“lho kok tahu?” agak terkejut.

“ya, saya ada kan waktu perkenalan itu” kini tangannya masuk ke dalam tas besar yang ia bawa. Sedetik kemudian ia tarik secarik kertas putih dengan stampel warna biru yang masih basah.
“40 box Glibenclamid. Wow luar biasa” ujarnya sambil membuka lipatan kertas tadi.

Sambil tersenyum ia mencoba melihat perubahan warna pada wajah perempuan di hadapannya yang kini mulai berwarna merah merona.

“Alhamdulillah!” ujar perempuan itu berbinar ceria. Kini untuk kedua kalinya wajah mereka kembali beradu. Dalam.

1 komentar untuk "Tanpa Nama (5)"

  1. udah mulai berkenalan nih...
    lanjut ke serial berikutnya... :D

    BalasHapus