Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanpa Nama (3)

Beberapa bulan sebelumnya.

“Tingg....” pintu lift terbuka lebar.

Sesosok pria menyeruak di antara kerumunan orang yang berdesak di dalam ruang kubus tersebut. Baju lengan panjang bergaris biru tipis yang ia kenakan sedikit lecek, menampilkan kesan terburu-buru. Rambutnya acak-acakan, dan celana baggy yang ia kenakan tampak kusut seperti belum disetrika. Sambil menenteng tas kerja ia segera ngeloyor ke arah rest room di pojok kanan lantai tersebut.

Semenit kemudian pria ini sudah tampil penuh semangat. Dengan wajah ceria yang tidak dibuat-buat ia masuki ruangan kantor yang sejuk oleh hembusan AC. Disapanya perempuan setengah baya di meja resepsionis yang sibuk merias wajahnya sembunyi-sembunyi, kemudian melewati meja sekretaris sambil melempar sebongkah senyuman yang lebar dan berakhir dibalik pintu kayu di lorong sebelah kiri. Meeting room.

“selamat pagi!” ia menyapa.

Sedianya, ruangan 5 x 10 meter tersebut merupakan ruang serba guna yang sering digunakan karyawan perusahaan ini untuk mengadakan rapat. Di sekeliling, terhampar jajaran meja kayu bergaya modern membentuk huruf U besar. Di belakangnya terlihat deretan kursi-kursi empuk untuk duduk. Kursi-kursi tadi memiliki engsel yang bisa memutar 360 derajat, dilengkapi roda-roda plastik dan senderan punggung yang dapat menyesuaikan dengan postur tubuh. Di tengah ruangan tadi sebuah proyektor digital sibuk memancarkan sinar yang menembakkan partikel-partikel cahaya di atas sebuah kanvas berwarna putih. Kipasnya berdengung pelan, menghisap dalam-dalam semburan udara dingin dari balik pengatur ruangan buatan Korea. Udara di atas juga berdengung.

25 derajat celcius!

Pagi itu, semua kursi telah terisi. Kertas-kertas bertebaran di atas meja memperlihatkan grafik penjualan selama kuartal pertama. Persentase pencapaian, analisis SWOT, laporan dari berbagai kantor cabang, yang isinya mengenai kesuksesan-kesuksesan dalam memasarkan produk, perbandingan dengan produk kompetitor dan angka-angka. Pria tadi kini sudah tenggelam bersama tumpukan kertas yang telah ia persiapkan malam sebelumnya.

“baik teman-teman, sebagai pembuka dari meeting kita pagi hari ini, mari bersama kita dengarkan presentasi pencapaian sales sub area Jakarta I” sambut sales manager.

“iya, saya” kata pria tadi sambil setengah berlari ke depan ruangan.

“terima kasih, pada kesempatan kali ini saya akan mempresentasikan pencapaian sales sub area Jakarta I untuk kuartal pertama tahun 2008”

Semua mata kini tertuju kepada sosok kucel tadi. Satu persatu halaman powerpoint terpampang lebar di atas layar. Bagian pertama memperlihatkan, sub area yang ia tangani. Sebuah area marketing sepanjang jl. H. R. Rasuna Said, dimulai dari menteng dan berakhir di perempatan Mampang, kemudian menyusuri Gatot Soebroto ke arah Timur hingga Pancoran, dan ke arah Barat hingga Jl. Jendral Sudirman. Sebuah pusat niaga dan perkantoran yang merupakan urat nadi bisnis utama di Jakarta. Halaman kedua dengan gamblang memperlihatkan pencapaian sales selama tiga bulan terakhir, dengan garis menanjak di bulan Maret dan Januari, serta kurva yang menurun tajam di Pebruari.

“Kebijakan perusahaan di awal tahun ini, yang menaikkan beberapa harga produk-produk utama, membuat pasar melakukan stok barang di Januari. Hal tersebut menjelaskan jatuhnya permintaan dari pasar pada bulan berikutnya”. Dengan kata-kata lancar yang telah dia hafalkan berkali-kali.

“tapi demand menjadi stabil kembali pada bulan berikutnya. Yang mana ditunjukkan oleh grafik permintaan yang terus meningkat, meski masih di bawah pencapaian bulan pertama.”

“kesimpulan saya, terdapat kecenderungan positif dari pasar di area yang saya tangani untuk kuartal pertama tahun ini. Sedang untuk setengah semester ke depan, saya optimis masih bisa tumbuh hingga 12%” akhirnya..

Plok...plok...plok....
tepuk tangan bergemuruh di seluruh ruangan.

Dengan bangga ia salami atasannya tadi yang memberikan selamat atas perjuangannya selama ini. Ia salami pula kawan-kawannya yang berdiri menyambut saat kembali ke tempat duduknya. Muka-muka yang telah ia kenal lama selama tiga tahun belakangan. Teman-teman seperjuangan. Tidak mungkin aku berhasil tanpa bantuan mereka, pikirannya. Tidak ada salahnya mereka juga mendapat penghargaan yang selayaknya dari best achiever di cycle pertama ini.

Cycle meeting itu kemudian berjalan kembali seperti sebelum-sebelumnya, membosankan. Paparan strategi penjualan dari sales manager yang sudah lama ia pahami, penjelasan kembali product knowledge yang sudah ia hafal di luar kepala oleh product manager, dan beberapa area manager yang dengan kocak memberi motivasi-motivasi ringan kepada anak buahnya. Tidak terasa dirinya mulai mengantuk, meski sudah sekuat tenaga ia lawan rasa tersebut.

“Terima kasih kepada teman-teman yang telah antusias mengikuti cycle meeting kita hari ini.” ah, iya kenapa tidak dari tadi.

“ Sebelum makan siang bersama, saya perkenalkan terlebih dahulu tiga orang pegawai baru yang akan bergabung dengan tim kita. Ayo mari silahkan masuk” kata si sales manager dengan antusias.

"Hmm.. pegawai baru rupanya", masih mengantuk.

Setengah sadar ia melihat tiga wanita beriringan masuk ke dalam ruangan. Muka mereka lumayan manis, hal yang lumrah dalam dunia marketing. Yang pertama berambut sebahu dengan balutan busana putih dengan detil renda-renda kecil di beberapa bagian. Yang kedua bertubuh semampai dengan celana panjang hitam bergaya cutbray, meski cantik tapi tampangnya lebih mirip tomboy. Terakhir perempuan berjilbab ungu yang jatuh hingga ke dada. Dari raut mukanya, ia terlihat cocok terjun di dunia marketing daripada busananya yang mirip lembaga dakwah.

Kini si lak-laki tadi sudah sepenuhnya sadar dari kantuk. Matanya tertuju kepada gadis berjilbab ungu itu. Entah kenapa ada sesuatu yang berdesir di jantungnya, membuat dadanya mulai berdegup kencang. Ia tidak memperhatikan apa-apa, hanya memandang lekat-lekat ke dalam mata perempuan tadi, menyerap bentuk dan nuansanya. Hingga tak sadar ketika untuk pertama kalinya ia mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut gadis itu.

“perkenalkan nama saya...”
.....

3 komentar untuk "Tanpa Nama (3)"

  1. ehmmm......
    setting sedikit byk ambil dr perusahaan lama ya? :D

    hayuuk, mana lanjutannya....
    buruaaaaannnnn....

    BalasHapus
  2. hmmm... mau tebak-tebakan ah, namanya kalau gak imelda, ya dewi... hayooo, benar kan? huahaha... :D

    ceritanya mulai seru nih bro. latar belakang pengalamanmu cukup membantu membuat cerita ini menjadi sedikit berwarna.

    ok, dilanjut ke serial berikutnya..

    BalasHapus