Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat dari Langit (6)

Laki-laki itu terbangun sebentar, hari mulai gelap. Dari iklan-iklan jalanan yang ia lihat, kira-kira bus tersebut sudah mulai memasuki daerah Cirebon. Itu berarti masih sekitar lima jam sebelum sampai ke kota tujuan. Rasa kantuk kembali melanda, membuat kelopak matanya begitu berat untuk ia angkat. Ia pun kembali masuk ke alam bawah sadarnya.

Sekarang dirinya berjalan sendiri menyusuri lorong-lorong terang yang sangat ia kenali. Ruangan bersekat rendah, gemuruh AC yang rusak, mesin fax, sahutan-sahutan para sekretaris yang menerima telepon, kilatan sinar dari mesin fotocopy dan detak jarum jam. Semuanya ia lihat dalam gerak lambat, seakan dunia memelar dan seluruh panca inderanya menjadi sangat sensitif.

“oke, apa yang bisa saya bantu?” suara itu terdengar begitu dekat. Dan kini semua bayang-bayang itu kembali ke wujudnya semula.

“well?” pria dihadapanya kembali bertanya kepadanya untuk kedua kalinya.

Ah, ia tersadar. Ia kini duduk di ruangan sales manager divisi tempat ia bekerja. Orang yang bertanya itu, sama seperti yang ia lihat di Grand Livina sebelumnya. Orang yang ia kenal selama tiga tahun belakangan ini sebagai atasan dari atasannya.

“bagaimana bisa saya membantu anda, bila anda sendiri tidak tahu apa yang akan anda bicarakan kepada saya” lelaki berbaju putih di hadapanya tersenyum lebar. Umurnya sekitar pertengahan empat puluhan, menduduki posisi strategis sebagai manager menengah di perusahaan tersebut. Ia dikenal sebagai pribadi yang tegas terhadap bawahannya, tapi cara bicaranya yang ramah namun penuh perhitungan, membuat mereka respek terhadapnya.

“Jadi?” pria itu kini tertawa.

Si lelaki yang duduk dihadapanya menjadi kikuk. Ia tidak dapat berbicara. Ia tahu dirinya dipanggil bukan tanpa alasan. Hari itu genap sebulan peluncuran perdana produk obatan baru. Kondisi perusahaan cukup kritis, jika produk ini gagal di pasaran, bisa dipastikan ikut mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Divisi tempatnya bekerja diberi kepercayaan untuk memasarkan produk tersebut. Dan dalam sebulan pertama ini, setiap karyawan diberikan target tertentu agar proses pemasaran itu berhasil. Sayangnya, harus diakui ia gagal mengawal peluncuran obat baru tersebut di area kerjanya yang selama ini dikenal cukup bagus dalam pemasaran obat-obatan utama.

“aku tahu ini tidak akan berhasil” katanya dalam hati. Ini produk gagal, sudah banyak perusahaan yang bermain di ceruk tersebut. “ini bukan soal bagi-bagi kue yang meskipun kecil tapi memiliki potensi milyaran rupiah. Ini soal blue ocean strategy. Perusahaan telah salah langkah masuk kedalam ceruk yang banyak sekali predatornya” mencoba berteori.

Tapi apalah dia. Ia hanya bawahan di perusahaan tersebut. Dan bukanlah tugas bawahan untuk menilai apakah sebuah produk layak dipasarkan atau tidak. Tugas mereka hanyalah menjalankan planning semaksimal mungkin. Itu saja.

Dan kini ia berada langsung di hadapan bosnya mencoba menjelaskan kenapa planning yang ia buat gagal total. “aku benar-benar berada di ujung tanduk”. Dalam keadaan terjepit itu ia mulai merasakan godaan yang dahulu sempat memasuki pikirannya. Godaan untuk keluar meninggalkan perusahaan tersebut. Godaan untuk benar-benar menyukai gadis berjilbab ungu yang ia kenal. “kalau aku keluar, mungkin akan jauh leluasa berhubungan dengannya. Tidak ada beban pekerjaan yang timbul antara kami berdua, tidak ada hambatan etika lagi yang menghalangi. Aku akan jauh lebih bebas” ujarnya mencoba mencari pembenaran.

“tidak, aku tidak akan menggunakan dirinya sebagai alasan. Seharusnya aku jauh lebih jantan. Ya, aku akan keluar dari perusahaan ini” ia bertekad.

“jadi?” sales manager itu memandang tepat ke arahnya.

“saya mau resign pak” singkat.

Suasana hening. Tidak ada yang bicara di antara mereka, keduanya saling tatap. Tiga tahun. Mereka saling kenal satu sama lain. Bagi sang atasan, anak buah yang kini duduk dihadapanya adalah aset perusahaan yang sangat berharga. Ia mengenali pemuda tersebut sejak pertama ia melamar pekerjaan. “Ada yang berbeda dari dirinya” berusaha mengenang penilaian pertamanya itu. “dia mungkin bukan seseorang yang mampu mencetak rekor sales yang tinggi meski ia punya potensi ke arah sana. Tapi dia itu orang yang sangat jujur. Itu yang aku suka darinya. Kejujuran, betapa susah kita menemukannya saat ini. Itu mengapa aku memilihnya masuk ke bergabung ke dalam divisi ini” ulangnya dalam hati.

“apa sudah kamu pertimbangkan masak-masak” memecah kebekuan.

“sudah pak” mantap.

Sebenarnya, bukan sekali ini si rep meminta keluar dari perusahaan itu. Sebelumnya, sudah dua kali ia mengajukan surat pengunduran dirinya. Kedua surat itu juga telah sampai kepada sales manager tapi dua kali itu pula ia tolak. Ia ingat itu. Makanya ia sampaikan di depan si rep alasannya menolak surat tadi.

“kamu memiliki bakat.” membujuk.

“tapi yang membuat saya respek adalah kejujuran kamu. Sikapmu kemarin yang memulangkan uang transfer yang salah itu, benar-benar membuat saya kagum. Dan suratmu yang mengatakan bahwa itu 'bukan hak saya', baru sekali ini saya temukan selama saya bekerja di perusahaan ini.”

“hanya, kalau kamu memang berkeras demikian, tidak mungkin lagi saya menghalang-halangi niat kamu itu. Cuma, kalau ada sesuatu yang patut saya sampaikan padamu. Tolong jangan setengah-setengah mengerjakan sesuatu. Kalau memang sudah tepat apa yang kau cari, camkanlah untuk bekerja sepenuh hati.”

sepenuh hati.

Kata-kata tersebut terngiang keras di telinganya. Merasuk kedalam pembuluh jantungnya mempengaruhi kesadarannya yang terdalam. Perlahan-lahan, gambaran singkat itu mulai pudar, tapi perasaan dan gagasan yang menaunginya masih bisa ia rasakan. Ia bahkan masih merasakan genggaman erat atasannya tadi sewaktu mereka berpisah untuk terakhir kalinya. “Hubungi saya kalau sudah sukses” bisik sang atasan, dan mimpi itu pun hilang.

***
23:30

Ia kini telah tiba kembali ke kotanya. Udara malam menyekat dingin lehernya yang kaku, hanya temaram cahaya yang menemaninya kala itu. Samar terdengar orang mengaji, lirih. Ramadhan telah membukakan hati dan pikirannya. Tatkala kesempatan terakhir untuk berhubungan dengan perempuan berjilbab ungu itu kandas, tiba-tiba muncul sebuah ide baru yang belum pernah ada di pikirannya selama ini.

“Bos, aku akan bekerja sepenuh hati” katanya berazam.

“aku akan mengirimkan ceritaku, kisahku, ideku, novelku kepadanya.” menatap jauh ke atas langit yang kabur oleh kilau cahaya.

akan aku ceritakan kisah ini padanya.

1 komentar untuk "Surat dari Langit (6)"

  1. "Bos" yang terakhir itu siapa Om? kok ujug-ujug muncul begitu saja? Meski judulnya "tanpa nama", tapi janganlah semua tokoh tidak diberi nama, bingung para pembaca nantinya, hehehe.. :D

    BalasHapus