Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat dari Langit (4)

Sudah lama bus yang ia tumpangi keluar dari terminal Purwokerto. Jam di tangannya menunjukkan pukul 16:25. benar-benar perjalanan yang melelahkan. Dirinya hampir lupa bahwa kini ia masih belum keluar dari wilayah Jawa Tengah. Perjalanan yang panjang rupanya. Bus pertama yang ia tumpangi memang sering berhenti menaik turunkan penumpang, meskipun begitu lajunya lumayan cepat, hingga ia bisa tiba pukul 13:35 di Purwokerto. Namun, kota yang ia tuju itu hanyalah terminal kecil dengan jadwal keberangkatan bus tujuan Jakarta yang sangat jarang. Ia menyesal telah terbujuk rayuan calo yang mengatakan bus akan segera berangkat. Nyatanya, setelah ia selesai shalat ashar pun, bus belum jadi berangkat.

“huh, sial” pikirnya, sambil memandang hamparan perbukitan tandus di ujung sana.

Dan ia sandarkan kepalanya yang basah oleh keringat di jendela bus. Ia buka telepon genggamnya. Ada sms masuk. Ternyata dari perempuan itu.

“siapa pun kamu, terima kasih banyak telah membangunkan saya untuk sahur” ia tersenyum sebentar.
“tapi siapa sih elo sebenarnya. Kalau tidak memberi tahu, tolong jangan bangunkan saya sahur lagi” ia terkejut, elo? begitu kasar balasan yang didapat.

Ia mencoba menyusun balasan sms tersebut. Seandainya kuungkapkan siapa diriku sebenarnya, dia pasti akan mencoba menghentikan kiriman sms saya dengan halus. Bahkan bila saya tidak memberi tahukannya ia juga akan berbuat demikian. “Kupikir lebih baik membiarkan permainan ini tetap beralangsung”. Dan ia pun mengirimkan balasan.

“ting..” sms terkirim.

***

Kurang dari empat ratus kilometer ke arah Barat, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel Nokia hitam. Si empunya, wanita berjilbab ungu membaca isi pesan itu dengan geram.

“siapa orang gila, yang mengirim jawaban seperti ini?” ia mulai gelisah.

Dia tinggalkan antrian menunggu dokter dan bergegas pergi ke bagian belakang rumah sakit. Ia menuju musholla.

“pasti ada di sana” pikirnya.

“ah, itu dia” diambilnya al-Quran lusuh yang tergeletak di rak buku musholla tersebut.

Dia buka indeks al-Quran tadi, mencari angka 51.

“ketemu! Al-Dzariyyat 49” dia baca sekilas ayat tersebut. Tapi dia tidak mengerti. Ia pun mencari-cari terjemahan al-Quran.

Belum sempat ia mencari, sebuah pesan masuk kembali kedalam ponselnya. Kali ini, kemarahannya semakin memuncak.

“kau pikir aku wanita apaan, tidak bisa memiliki firasat yang bagus. Mungkin kau sajalah yang psycho bersembunyi bagaikan pria misterius di balik kitab suci.” mendadak dirinya jatuh terduduk, ia begitu pusing dan ia tutup mukanya dengan kedua tangannya. Emosinya meledak.

“dik,” seorang ibu tua datang menghampiri dan menwarkannya terjemahan al-Quran.

“mungkin adik butuh ini, biar hati menjadi lebih tenang” ibu itu tersenyum.

“terima kasih bu” kemudian tanpa menoleh kembali, ia buka ayat yang ditunjukkan tadi, al-Dzariyyat 49.

“dan dari segala suatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kalian mengingatnya”

“apa sebenarnya yang ia maksud” ia berpikir dalam tak mampu memahami maksud pesan itu. Apa ia ingin menyindir saya, atau dirinya hendak mengatakan bahwa ia pasangan saya? Menyedihkan sekali.

“tidak, aku tidak akan terbawa permainannya. Aku yang menentukan sendiri kemana ini berlanjut”
dan ia kirimkan balasan sms tersebut.

***
pesan balasan pun masuk.

Kali ini si pria benar-benar terpukul. Pesan balasan dari si perempuan benar-benar telah menamparnya keras-keras. Ia telah mengkandaskan dirinya hingga jatuh di atas matras. Aku benar-benar tidak memiliki harapan lagi. Ia menyebutku pengecut. Menutup kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengannya.

Tapi tidak, aku bukan pengecut.

“Aku akan bilang bahwa belum saatnya aku ungkapkan diriku padanya.” ia semakin terobsesi.

Ah, tidak. Tapi bukan itu yang hendak aku ungkapkan. Dan ia mulai menulis balasan di handphonenya.

“you know, I do really trust to women hunch.” entah apa dia akan mengerti. “they almost right, so do not hesitate to believe to your heart” menutup kalimatnya.

“Pesan terkirim”

Dirinya benar-benar pasrah.

Dia pejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke jendela bus yang bergoyang pelan. “aku telah salah langkah pikirnya. Bahkan, ketika semuanya belum dimulai pun aku sudah benar-benar kalah. Apa yang harus aku lakukan untuk memulainya lagi?” terbayang di kepalanya perkataan kawan akrabnya dulu, “kalau kau benar-benar menyukainya, kau harus mengejarnya kawan”, mengejarnya, sekarang lihat, apa sebenarnya yang aku kejar. Aku bahkan tidak begitu mengerti.

Bus masih terus menyusuri jalan-jalan sempit dengan malasnya. Pria tanpa nama ini mencoba menyusun kembali ingatan-ingatan masa silamnya. Tentang awal ketertarikan itu, percakapan dengan dokter yang membuatnya bingung dan perkataan kawannya yang provokatif, ia kembali mereka-reka saat dimana mereka pertama kali bertemu, bertatapan mata, dan kemudian duduk terdiam saling membisu satu sama lain.

Aku akan selalu mengingatnya.

1 komentar untuk "Surat dari Langit (4)"

  1. Jam di tangannya menunjukkan pukul 16:25. Perjalanan yang melelahkan. Bahkan penatnya perjalanan membuatnya lupa bahwa ia masih belum keluar dari wilayah Jawa Tengah.

    Bus pertama yang ia tumpangi terlalu banyak menghambat waktunya, Seperti halnya bus antar kota lainnya, kebiasaan menaikturunkan penumpang di tengah jalan menjadi masalah utama bagi orang-orang yang sedang mengejar waktu, namun walaupun begitu lajunya terbilang cepat, pukul 13:35 ia telah tiba di Purwokerto.

    Bus yang ia tumpangi menuju Jakarta telah lama meninggalkan terminal, bergerak perlahan meninggalkan kota Purwokerto yang sepi dan senyap. Terminalnya hanyalah terminal kecil dengan jadwal keberangkatan tujuan Jakarta yang sangat jarang. Setiap lajur bis yang ada hanya dipenuhi angkutan pedesaan yang kecil dan kumuh. Sedikit banyak Ia menyesal telah terbujuk rayuan calo yang terus mendesaknya untuk segera membeli tiket “bus akan segera berangkat!”. Nyatanya!?, hingga shalat asharnya selesaipun, bus belum juga diberangkatkan. Dan bus ini adalah satu-satunya angkutan antar provinsi yang keluar dari terminal itu. Setidaknya ia bisa menikmati waktu istirahat barang sejenak yang sempat terhambat atau shalat yang lebih lama dan khusyuk di mushola ketimbang berpanas ria dengan pengap dan bau penumpang lainnya.
    “huh, sial” pikirnya, sambil memandang hamparan perbukitan tandus di ujung sana.

    Kepalanya yang basah oleh keringat ia sandarkan di jendela yang sedikit terbuka, angin tandus yang berhembus terasa sedikit mengurangi pengapnya udara dalam bus itu. Perlahan tangannya mengambil telepon genggamnya yang terselip di saku.
    “Ada sms masuk!”. Ternyata dari perempuan itu.
    “Siapa pun kamu, terima kasih banyak telah membangunkan saya untuk sahur” ia tersenyum sebentar.

    “Tapi siapa sih elo sebenarnya? Kalau gak ngash tahu, tlng jngn bangunkan saya sahur lagi!” ia terkejut, elo!? Kalimat singkat dan terkesan kasar menjadi balasan yang sangat membuatnya terkejut..

    Ia mencoba menyusun balasan pesan singkat tersebut.
    “Seandainya kuungkapkan siapa diriku sebenarnya, dia pasti akan mencoba menghentikan kiriman smsku dengan halus. Bahkan bila aku tidak memberitahunya pun ia juga akan berbuat demikian. Kupikir lebih baik membiarkan permainan ini tetap berlangsung”. Dan ia pun mengirimkan balasan.

    “ting..” sms terkirim.

    ***

    BalasHapus