Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat dari Langit (3)

Sebulan sudah ia tinggal di rumah kakeknya di sebuah kota kecil di selatan pulau Jawa. Ia memang sengaja diutus oleh ayahnya untuk menjenguk keadaan sang nenek yang terkena stroke. Selepas keluar dari pekerjaannnya sebagai Medical Representative, ia memang lebih banyak mengisi waktu kosongnya untuk mempelajari banyak hal. “untuk menebus waktu yang terbuang percuma” katanya. Kini ia mulai menjalin hubungan dengan keluarga jauh yang sudah lama tidak ia kunjungi. Kembali ke kampung halaman sang ayah, barangkali salah satu cara untuk melaksanakan keinginannya. Di sana ia bisa bertemu pengasuhnya semasa kecil dahulu, ke rumah buliknya yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal sang kakek, atau sekedar berjalan-jalan di tengah sawah yang hijau menguning. Tapi, alasan sebenarnya kenapa ia mengasingkan diri karena ia ingin menghapus bayang-bayang perempuan berjilbab ungu itu dari kepalanya.

Sayang seribu sayang, kealamiahan alam membuat dirinya kembali lagi ke hati nurani yang kecil bersembunyi dalam jiwanya. “aku tidak bisa membohongi diriku lagi” ujarnya. “cepat atau lambat aku pasti menghadapinya” katanya dalam hati.

“aku tidak bisa lari dari kenyataan bahwa aku menaruh hati padanya. Oh, betapa terkutuknya aku bila mengingkari hal tersebut”. Dan nyatanya, di antara ras laki-laki, barangkali ia merupakan salah satu jenis yang paling sensitif. Berkali-kali jatuh cinta dan berkali-kali itu pula ia berusaha berkata tidak. “di antara seluruh pekerjaan di dunia ini, tolong jangan libatkan aku dalam persoalan cinta. Aku bukan jenis yang mahir di dalamnya”.

Barangkali, karena penyangkalan yang dalam itu ia terlihat begitu dingin. Kawan-kawan perempuannya pun mengakui hal itu. Dan di dunia yang sudah aneh ini, penolakan akan sesuatu hal sering membuat orang mencap dengan hal yang berlawanan. “huh, apa gila! Bagaimana mungkin saya menyukai laki-laki! Apa mereka sudah gila?” dia tidak tahan dengan desas-desus itu. “aku pria normal, aku mencintai wanita” katanya dengan emosional di hadapan teman-temannya. Lalu isu itu pun hilang. Tapi rasa yang ia pendam itu tak kunjung juga pergi. Ia masih berusaha menyangkal dan menyangkal hingga dirinya merasa begitu sakit. Mungkin kupikir aku harus keluar dari perusahaan ini dan berpisah dari mereka selama-lamanya.

Dan begitulah, hari itu sudah tiga bulan ia menganggur. Dan ketika ayahnya menyuruhnya pergi ke kampung halaman pada bulan kedua, dengan senang hati ia laksanakan perintah tersebut. “Aku akan ber-Ramadhan di sana. Aku akan mendekatkan diri kepada Tuhan pada bulan itu, aku akan meminta petunjuk dariNya.” maka bangunlah ia shalat tahajjud setiap pukul 2 dini hari. “aku akan meminta padaNya” lalu tanpa ia sadari lidahnya selalu menyebut nama wanita itu dalam setiap doa-doanya. Hingga tibalah masa ketika keinginan dirinya yang terdalam sudah tak dapat dibendung. Maka ia kirimkan sms pertama tersebut.

Hari pertama, tanggapan wanita itu begitu jenaka. Ia balik bertanya dengan konyolnya, sambil terus menulis bahwa ia akan tahu siapa sebenarnya si pengirim sms itu. Sungguh tak terperi bahagia di hati sang pria. Jiwanya begitu lega dan semua yang ada di matanya hanyalah kebahagiaan semata. Untuk merayakannya, selepas subuh ia berlarian tanpa alas kaki menuju pematang sawah dan berteriak keras-keras di sana “aku cinta kamu”. Setelah itu kembali ke rumah mengambil sepeda berkeliling desa hingga tengah hari dan jatuh tertidur hingga sore.

Hari kedua, tanggapan yang muncul tidak begitu menarik. Perempuan yang ia sms sepertinya sudah penasaran oleh si pengirim surat elektronik tanpa nama tersebut. Tapi ia masih memberikan rasa terima kasihnya karena telah dibangunkan oleh si pengirim sms.

“siapapun kamu, terima kasih banyak karena membangunkan saya untuk sahur. Semoga Allah memberikan balasan setimpal untukmu”

Ia baca tulisan itu berulang-ulang seakan sebuah surat berharga yang harus dijaga. Tapi rasa bahagia yang seharusnya hadir perlahan mulai hilang. Ia merasakan sebuah jarak yang tak mungkin ia lompati antara ia dan perempuan itu. “Seperti dinding yang tinggi menjulang yang tak bisa aku lewati. Jiwa kami terpisah.”

maka pada subuh itu ia mengutarakan pikirannya kepada bibinya.

“bulik, aku ingin balik ke rumah.” ujarnya setelah mengepak pakaiannya.

“lho, kok cepat sekali. Katanya mau nemenin bulik di sini jaga mbah” kata bibinya yang sibuk mencuci piring bekas sahur

“eh, ada kerjaan yang harus saya lakukan di rumah” mencari alasan.

“kapan mau berangkat? Apa sudah beli tiket kereta?” menaruh gelas-gelas di atas rak piring

“nanti jam 9 pagi ini” sambil menggigit bibir.

“walah, mana ada kereta jam segitu” ia mencuci tangannya di air keran dan mengeringkannya ke atas serbet.

“hmm... saya akan ngeteng naik bus saja” ucapnya singkat.
“pengin menikmati pemandangan saja” menambahkan.

“yo wis, kalau begitu” dia menatap keponakannya itu lekat-lekat, seakan anaknya sendiri.
“nanti tak siapkan oleh-oleh buat orang rumah” berlalu pergi.

9:12

Ia pamit kepada kakek, nenek dan bibinya. Setelah mengikat tali sepatunya erat-erat ia pun pergi ke jalan utama menuju terminal kecil di kota kecil itu.

Posting Komentar untuk "Surat dari Langit (3)"