Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku & al-Quran

Entah kenapa, saya kadang tidak tertarik mendengar ceramah dari para penceramah populer. Sebut saja, M. Arifin Ilham, Yusuf Mansyur, Abdullah Gymnastiar, Zainuddin MZ, mamah Dede atau sejumlah penceramah metodik seperti Abu Sangkan. Barangkali karena begitu banyak informasi yang saya cerap yang seringkali bersinggungan dengan cara mereka mengemukakan argumentasi. Satu-satunya pengecualian, itu pun kalau mau disebut demikian, adalah M. Quraish Shihab. Apa yang membuat saya begitu antusias mendengar pengajian beliau?

Terus terang, cara Qurasih Shihab menafsirkan al-Quran sangatlah standar. Beliau selalu memulainya dari segi bahasa yang kemudian ia pertalikan dengan pengetahuannya yang luas terhadap keseluruhan al-Quran ditambah beberapa detil dari hadist dan fiqh. Cara menafsirkannya juga sederhana menggunakan logika dasar dan common sense, tetapi karena al-Quran sendiri memiliki kekayaan kosa kata yang sangat luas, pada akhirnya apa yang beliau sampaikan juga bukan sesuatu yang dangkal. Bahkan boleh dibilang penafsiran beliau adalah sebuah pengantar yang cerdas untuk memahami kedalaman makna al-Quran. 

Sebagai contoh, ketika al-Quran berbicara tentang thagut, secara harfiah berarti melampaui batas, Quraish Shihab berusaha memahami kata tersebut dari sudut pandang psiko-linguistik. Term 'menyembah thagut' biasanya dipahami sebagai menyembah berhala atau yang lebih kontemporer, memuja rezim kediktatoran yang represif dan otoriter. Namun, ketika kita memulangkan kata tadi ke makna harfiahnya, kita akan menemukan arti yang jauh lebih dalam dari kedua tafsir tersebut. Thagut bisa berarti sebuah situasi yang serba hyper, berlebihan dan melampaui batas. Menyembah thagut dengan demikian bisa dimaknai dengan sebuah keadaan untuk memuja segala suatu yang bersifat hyper dan berlebihan. Dalam konteks masyarakat modern, term menyembah thagut bisa berkaitan dengan gejala  hyper-konsumtif, hyper-media, idol kontest, super mega star, bahkan gila kerja. Benar-benar sebuah analisis yang menarik dan fleksibel.

Hal lain yang patut diperbincangkan adalah cara al-Quran menafsirkan teksnya sendiri. Kata munafik misalnya memiliki akar kata serupa dengan kata nafkah. Makna harfiah dari akar kata kedua term tadi adalah nafaqa yang berarti terowongan. Orang yang memberi nafkah itu bagaikan membuat terowongan dalam pundi-pundi uangnya, karena ia membiarkan uang tersebut mengalir bukan disimpan. Adapun orang-orang munafik adalah mereka yang tidak mau mengendapkan kebenaran yang disampaikan kepadanya. Mereka bagaikan orang yang mendengar kebenaran, masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Tidak ada yang berbekas sama sekali.

Dalam hal keimanan, model penafsiran Quraish Shihab bahkan mampu menguak nuansa dari kata tersebut. Misalnya cara beliau menafsirkan kata kafir. Kata ini biasanya dipahami sebagai sebuah domain di luar kata iman. Orang-orang kafir sebagaimana yang kita pahami adalah mereka yang tidak beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Itu benar, tapi al-Quran juga menggunakan kata tersebut bagi orang yang berbuat dosa, termasuk di dalamnya umat Islam sendiri jika ia berdosa maka orang tersebut juga dinamakan orang kafir. Di lain pihak, kata ini juga dialamatkan kepada entitas di luar Islam yang melakukan agresi kepada komunitas Islam dan bukan kepada mereka yang tidak melakukan agresi meskipun berada di luar komunitas Islam. Keberagaman kata kafir ini tentu sangat berguna untuk menolak klaim kebenaran absolut tanpa harus jatuh sedikit pun kepada relativitas beragama.

Terkadang, cara pikir kita sering terpola kepada konsep digital, benar – salah secara makro. Al-Quran juga menggunakan konsep ini dalam ayat-ayatnya. Yang berbeda, pembagian benar – salah dalam al-Quran itu bersifat kasuistik. Maksudnya, ia memberi penegasan dalam konteks yang berbeda-beda dengan level yang beraneka. Setiap kondisi, baik fisik maupun psikologis, memiliki tuntunannya tersendiri yang jika dibawa ke dalam konteks yang lebih umum membuat kita paham bahwa selalu terdapat nuansa dalam setiap keputusan yang diambil. Dan ustadz Quraish mampu menerangkan hal tersebut dengan gamblang serta dapat menyampaikannya dalam bahasa orang awam.

Pada akhirnya, kenapa saya lebih menyukai gaya pengajian agama model Quraish Shihab adalah karena beliau memegang al-Quran serta membuatnya 'berbicara' kepada kita dan bukan sebaliknya. Sebuah bukti otentik yang tidak mampu saya tolak kebenarannya. Sebuah gugus pikiran yang sampai saat ini masih terus saya pelajari dan saya percaya, serta sebuah mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW dan kitab petunjuk dan rahmat bagi semesta alam.

* gambar al-Quran saya ambil dari  http://navedz.files.wordpress.com

5 komentar untuk "Aku & al-Quran"

  1. Saya orang awam, tapi saya juga sangat cocok dg pola tafsir ala Pak Quraisy. Membiarkan Qur'an berbicara sendiri.

    BalasHapus
  2. gak sempet nonton....
    [ngantux plus garing nonton sendirian].....

    BalasHapus
  3. Setuju Bro.
    Gaya Mr Q sangat cool.
    Dia membuka kata2 yang sudah menjadi istilah dari segi lughotan, sehingga makna nya menjadi sangat luas.
    Btw, teteup, karena kemaleman jadinya belum bangun. Hi hi hi...
    Btw, ustadz2 populer memang selalu menyampaikan yang ringan2. Sekali mereka menyampaikan yang berat2, pasti jamaahnya pada kabur tuh. Kagak ngarti...

    BalasHapus
  4. Btw, Dewi kok nonton sendirian? Rebutan sama yang lain pada nonton PPT?

    BalasHapus
  5. Satu lagi yang saya suka dari beliau adalah tidak membacakan ayat alquran dengan irama yang mendayu-dayu. beliau cukup membacakan dengan biasa saja, namun sangat jelas tekanannya...

    BalasHapus