Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Black Swan & Jaya Suprana

Pernah ingat tentang falsifikasi dan cara kerja ilmu pengetahuan? Nilai sebuah proposisi sebenarnya sangat tergantung sekali dari penemuan sebuah fallacy. Diktum yang terkenal, semua angsa adalah putih, sampai kita menemukan angsa berwarna hitam. Nilai kebenaran sesuatu bertahan secara relatif, hingga kita dapat menemukan antitesis darinya. Sebelum penemuan benua Australia, para ilmuwan masih tetap pada pendiriannya bahwa semua angsa itu putih, hingga kemudian ditemukanlah angsa hitam di benua kanguru tersebut dan secara otomatis pandangan semua angsa adalah putih menjadi gugur. Peristiwa eksklusi ini dinamakan dengan Black Swan, Angsa Hitam.

Dalam buku yang memiliki judul serupa, The Black Swan: The Impact of The Highly Improbable, karangan Nassim Nicholas Taleb, seorang Yunani Kristen kelahiran Lebanon, istilah Black Swan memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar keruntuhan epistemik belaka. Black Swan bisa berarti sebuah loncatan sejarah, dalam riwayat ilmu pengetahuan sama seperti yang digambarkan oleh Thomas Khun dengan retakan epistemologi, sebuah keterputusan antara paradigma baru dengan paradigma lama. Sebuah perubahan yang tidak dapat diantisapasi bahkan oleh ramalanramalan para ekonom paling hebat sedunia. Dalam bahasa Wittgenstein, ia berarti sebuah peneguhan bahwa das welt itu berbeda dengan weltanschauung. Dimana yang kedua hanya ada dalam pikiran kita belaka, sedangkan yang pertama merupakan realitas yang unpredictable.

Ambil contoh, peristiwa Sebelas September di New York. Siapa yang bisa sangka bahwa al-Qaedah yang sebelumnya merupakan mitra bisnis dan partner Amerika dalam melawan hegemoni Uni Soviet di Afghanistan dapat menjadi musuh bagi negara adidaya itu. Dalam konteks yang lebih luas, seorang pemikir abad kesembilan belas tidak akan pernah menyangka bahwa umat Islam dan Yahudi bisa masuk kedalam konflik yang begitu dalam. Karena dalam pola pikir abad kesembilan belas, konflik yang potensial muncul justru antara Kristen Fundamentalis dengan kalangan Yahudi, adapun dunia Islam tidak pernah menganggap mereka sebagai musuh, hingga pemberian protektorat Israel oleh Inggris seabad kemudian. Sejak itu hingga sekarang, umat Islam dan Yahudi itu seperti musuh bebuyutan. Dunia selalu memberi kejutan yang diluar prediksi para pakar.

Skeptisisme empirik

Apa dengan demikian, Black Swan menjadi sebuah anti-knowledge? Atau seperti yang digambarkan oleh sang pengarang dengan anti-library-nya Umberto Eco? Atau mungkinkah ia serupa dengan Blink-nya, Malcolm Gladwell, sebuah kemampuan berpikir tanpa berpikir? Well, saya tidak akan melangkah lebih jauh, karena baru seperempat isi buku yang saya jelajahi. Tapi kalau mau berhipotesis barang sejenak, untuk sekedar membunuh sang pengarang dari otak saya, apa mungkin Barat telah mengingkari rasionalitasnya sendiri?

Begini, semenjak era Aufklarung, pengetahuan telah menjadi begitu positivis dan empirik. Semenjak itu, hanya yang rasional saja yang menjadi paradigma pemikiran modern kontemporer. Mereka mengacuhkan what behind reason, seperti agama. Dalam khazanah filsafat, pola pikir itu berpuncak pada positivis logis yang bersifat skeptik empiris. Mereka hanya mau menerima halhal yang dapat dibuktikan secara empirik semata, di luar itu tidaklah dapat mereka terima. Tapi sepertinya keadaan tidak terlalu berpihak. Dua perang dunia yang dahsyat, sudah cukup membuat rasio menjadi buntu. Mungkin sebagian besar Barat masih ada yang menolak adanya Tuhan, tapi sebagian besar dari mereka akan beranggapan bahwa ternyata rasio itu tidaklah mencukupi. Kehancuran sistem ekonomi yang berulangulang, dan kebangkitan new emerging nation jelas merupakan sanggahan akan kredibilitas pemikiran mereka yang superior itu. Puncaknya adalah post-modernisme.

Dengan situasi dunia yang semakin flat, tapi juga jomplang, post-modernisme berarti sebuah jalan alternatif yang terus tumbuh. Dan meskipun ia masih berlandaskan tradisi ilmiah yang ketat, tapi logika jauh lebih penting di sini. Sebenarnya juga, melandaskan pemikiran pada logika tidak serta merta membuat pemikiran itu ilmiah. Kita masih membutuhkan verifikasi empiris. Karena itulah, sebuah pemikiran yang terlalu logis akan membentuk sebuah dunia baru yang terkadang menjauh dari batasbatas ilmiah. Yang saya katakan di sini adalah mistisisme, psikologi Freudian, bahkan post-modernisme. Mereka membentuk sebuah meta-ilmu, id, alam bawah sadar pengetahuan manusia. Dalam bahasa Taleb, menemukan sesuatu yang tidak signifikan tapi memiliki high impact dalam kehidupan seharihari.

Dalam pembacaan selanjutnya, saya pikir apa yang dimaksud oleh Taleb dengan Black Swan itu sama seperti yang telah saya kemukakan di atas tadi, ternyata saya salah. Ia merangkak lebih jauh kepada skeptisisme empirik macam Hume. Berbicara mengenai skeptisisme, kita selalu menduga bahwa orang yang skeptis itu cenderung pesimis dan tidak percaya diri. Dari penjelasan sang penulis, baru tahu, ternyata Hume itu tipikal orang terbuka dan optimis yang tentunya seorang yang percaya diri. Di sini, skeptisisme tidak ditujukan untuk membatalkan suatu pemikiran, tapi lebih kepada sebuah pencarian sejati akan kebenaran.

Sebuah pernyataan "karena 90% teroris adalah Muslim, maka kebanyakan Muslim adalah teroris" jelas merupakan sebuah kesalahan berpikir. Bahkan apabila proposisi pertama diterima, maka angka 90% dari populasi teroris yang katakanlah berjumlah 20 ribu orang masih terlalu kecil bagi populasi umat Islam yang lebih dari satu milyar itu untuk disebut bahwa kebanyakan umat Islam adalah teroris. Hal yang sama dengan nasib seekor kalkun. Bila selama lebih dari seribu satu hari ia hidup makmur, bukan berarti kita dapat menyimpulkan bahwa kehidupan kalkun itu makmur. Karena kita semua tahu bahwa suatu saat kalkun akan menjadi santapan di meja makan kita. Tak peduli seberapa lama waktu yang digunakan untuk bersenangsenang, cukup satu kejadian yang dapat merubah semua pendapat terbaik tadi. Peribahasa kita mengatakan, karena nila setitik susu sebelangga tercemar.

Sayang sekali, kita tidak dapat mengenali pola pikir yang mampu melihat kemunculan Black Swan ini. Oleh Taleb hal tersebut dikarenakan pikiran kita yang telah terpola untuk menerima segala hal dalam konteksnya yang normal. Dan sayangnya, dunia memang tidak memadai untuk ditafsirkan dalam konteks tersebut. Beberapa kesalahan penalaran juga menambah sebab kenapa kita tak mampu menangkap fenomena Black Swan.

Kelirumologi

Seminggu yang lalu, dalam meeting nasional perusahaan, hadir Jaya Suprana sebagai pembicara dalam sesi motivasi. Sebenarnya juga, setiap tahun akan ada sesi ini. Tiga tahun yang lalu di Surabaya Andri Wongso yang tampil, setahun kemudian di Kuta, James Gwee dan tahun ini di Yogyakarta, Jaya Suprana. Mereka dihadirkan dengan tujuan memacu semangat kerja para karyawan. Yang menarik di sini  adalah si pembicara, Jaya Suprana. Bila dibandingkan dengan dua orang lainnya, ia jelas bukan seorang motivator. Pendekatannya begitu kultural dan sangat informal, tidak sistematis, dan dalam beberapa poin irrelevan. Selama sesi motivasi ia hanya bercerita ngalorngidul saja, bahkan judul utama yang terpampang jelasjelas, mengenai enterpreneurship hampir tidak dibahas sama sekali. Saya sendiri tidak begitu mengerti alasan pemilihan beliau. Meskipun demikian, dibalik pemilihan yang tidak tepat dari seorang pembicara, sebenarnya ada untungnya mengetahui pola pikir orang dekat Gus Dur ini.

Pada mulanya, pembicaraan dibuka dengan membahas krisis ekonomi di Amerika yang membuat sejumlah besar perusahaan ikut kedalam pusaran badai keuangan global. Suprana, sangat memuji perusahaan kami karena ditengah bertambahnya PHK justru menambah personil marketingnya. Ia pun melanjutkan dengan membahas betapa langkah berani ini merupakan sebuah pola pikir yang sangat positif. Krisis tidak dipandang sebagai sebuah halangan tapi lebih kepada kesempatan. Dengan penuh guyonan ia menggambarkan betapa bangsa Indonesia itu sebenarnya merupakan bangsa yang sangat tangguh. Ia mampu melewati sejumlah rintangan dengan selamat.

Bila dibandingkan masyarakat Jerman yang segala suatu direncanakan dengan seksama, krisis moneter yang terjadi di Indonesia, dengan struktur masyarakat yang kacau balau, mampu dilewati karena kita memiliki sebuah sense of urgensi yang sangat hebat. Istilah yang diperkenalkan adalah kepepetisme. Sebuah reaksi spontan yang melecutkan tenaga statis menjadi begitu dinamis. Hal ini jelas menjadikan dunia di Indonesia sangat tidak unpredictable. Penuh humor digambarkan tentang sejumlah mitologi kuno macam Sangkuriang, Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, yang semuanya melibatkan pembangunan maha karya dalam waktu semalam sebagai bentuk kepepetisme masyarakat Indonesia. Dan mungkin karena itulah hanya bermodalkan bambu runcing kita mampu mengalahkan Belanda. Kata Jaya Suprana, itu karena kita tengah kepepet. Dan karena itulah ia juga percaya bahwa kenaikan target penjualan hingga 30% mampu dilewati dengan sukes, karena kita punya sense tersebut. :D

Yang menakjubkan, fenomena kepepetisme ini, ketika digunakan secara luas dimasyarakat juga menimbulkan banyak sekali kekeliruan. Yang paling lazim adalah kekeliruan penggunaan bahasa. Semacam penamaan air putih, dimana seharusnya air bening. Suprana mengakui hal ini sebagai sesuatu yang berwatak Indonesia, makanya ia menulis buku tentang kelirumologi yang bermaksud meluruskan halhal yang tidak lurus tersebut. Kalau saya perhatikan, inti dari kelirumologi adalah common sense sebagaimana yang diungkapkan oleh Russell. Dan memang dalam banyak sisi, saya melihat misi kelirumologi mirip sekali dengan citacita filsuf analitik di Inggris itu. Semua kembali ke akal sehat dan penggunaan logika formal yang baku. Dalam benak saya, apa mungkin Jaya Suprana tidak mengenal Saussure? Bukankah bahasa itu selalu memiliki dua buah kutub, kreativitas yang semenamena, arbritrary, dan kesepakatan sosial, conventional. Dalam kasus air putih tadi, jelas yang bekerja adalah sisi arbitrary bahasa baru kemudian masyarakat luas menerimanya sebagai sebuah penanda yang baku untuk H2o yang kita minum setiap hari itu.

Conscience

Kalau begitu, apa sih sebenarnya yang dituju oleh bang Jaya Suprana ini? Beberapa analisis kelirumologinya jelas tidak memiliki implikasi serius, bahkan saya malah memandangnya sebagai guyonan di warung kopi saja. Namun bila kita mendalami sejumlah analogi yang diketengahkan, tak pelak ia mengacu kepada sebuah pengetahuan yang lebih tinggi dari pengetahuan kita seharihari yang latah itu. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan conscience, dua science. Orang Jerman menamakannya verstehen, kesadaran. Sebuah pola pikir yang sadar diri dan mampu berpijak pada landasanlandasan logis yang dapat dipertanggungjawabkan. Bila kita hubungkan dengan fenomena Black Swan, apa mungkin, metode Suprana tadi merupakan ikhtiar yang dalam untuk memahami adanya Black Swan?

Entahlah, tapi bila kita melihat paparan Taleb mengenai anti-library-nya Eco, bisa kita simpulkan bahwa penyingkapan Black Swan sendiri bukanlah melalui caracara yang tidak ilmiah dan tidak logis, tapi kepada sebuah pengetahuan yang secara tidak sadar kita tinggalkan dan dalam banyak hal belum kita ketahui karena sifatnya yang telah tertutup corak pemikiran kita yang telah terpola begitu dalam. Dan disadari atau tidak, cara Jaya Suprana tadi berhasil menumbuhkan kesadaran ulang mengenai pentingnya berpikir logis. Sebuah syarat utama mengenai kesadaran akan Black Swan. Sebuah kebodohan Socratic, kecerdikan Nasyruddin Hoja, serta kisahkisah aneh Abu Nawas.

Posting Komentar untuk "Black Swan & Jaya Suprana"